Opini  

Peran Politik Domestik AS dalam Polarisasi Liberalisasi Perdagangan Global

Ranti Yulia Wardani, Dosen Hubungan Internasional President University. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Kebijakan perdagangan adalah arena di mana teori ekonomi dan politik memiliki sudut pandang yang berbeda. Mengapa kebijakan negara begitu sering berbeda dari nasihat ekonomi yang baik? Secara keseluruhan, negara-negara memperoleh keuntungan dari perdagangan yang terbuka. Namun, keuntungan tersebut tidak terdistribusikan secara merata di antara kelompok-kelompok sosial.

Ketidakseimbangan ini menyebabkan bias organisasi yang berpihak pada mereka yang merasa dirugikan oleh perdagangan bebas. Kepentingan proteksionis terkonsentrasi dan sangat termotivasi sementara oleh kepentingan perdagangan bebas tersebar dan rentan terhadap masalah ‘penumpang gelap’. Hasil dari ekonomi politik pada khususnya adalah representasi berlebihan dari kepentingan proteksionis dan tekanan pada pemerintah untuk memilih kebijakan protektsionisme.

Seperti yang dijelaskan oleh Judith Goldstein dalam salah satu bab di buku The Oxford Handbook On: The World Trade Organization, kecenderungan terhadap kebijakan pro-proteksionis ini khususnya terlihat jelas dalam rezim demokrasi di Amerika, yang sering didukung oleh partai republik.

Dengan tidak adanya mekanisme kelembagaan untuk meredakan kelompok pro-proteksionis atau mengatasi hambatan terhadap tindakan kolektif dihadapi oleh mereka yang akan memperoleh keuntungan dari perdagangan bebas, faktor politik akan menyulitkan politisi untuk secara konsisten mendukung untuk perdagangan bebas. Sederhananya, faktor politik mengalahkan rasionalitas ekonomi.

Evolusi dinamis kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) mencerminkan prinsip-prinsip politik keterkaitan, khususnya interaksi antara faktor-faktor politik domestik dan strategi perdagangan internasional. Seiring berjalannya waktu, kebijakan perdagangan AS telah dibentuk oleh pergeseran struktur politik domestik, kondisi ekonomi, dan prioritas kepemimpinan.

Faktor-faktor ini juga memengaruhi hubungan AS dengan negara lain, khususnya China, dan kompleksitas inisiatif seperti liberalisasi perjanjian perdagangan bebas, menimbulkan skeptisisme tentang efektivitas dan kelangsungannya dalam jangka panjang. Sejarah kebijakan perdagangan di AS menggambarkan masalah teoritis yang lebih umum tentang mengapa pembuatan kebijakan perdagangan bebas bermasalah dalam negara demokrasi.

Contoh yang paling sering dikutip di AS adalah Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley, secara resmi Undang-Undang Tarif Amerika Serikat tahun 1930, juga disebut Undang-Undang Tarif Hawley-Smoot, undang-undang AS (17 Juni 1930) yang menaikkan bea masuk untuk melindungi bisnis dan petani Amerika, menambah tekanan yang cukup besar pada iklim ekonomi internasional “Great Depression. ”

Ini adalah undang-undang tarif terakhir di mana kongres menetapkan tarif produk per produk, dan hasil akhirnya adalah tingkat tarif tertinggi pada abad tersebut. Disahkannya Undang-Undang Tarif ini sering dikutip sebagai sinyal kurangnya komitmen Amerika untuk menjaga pasarnya tetap terbuka.

Pengalaman Smoot-Hawley mungkin ekstrem, tetapi konsisten dengan politik di Amerika. Di AS, di mana kondisi ekonomi umumnya paling buruk, produksi industri antara tahun 1929 dan 1933 turun hampir 47 persen, Produk Domestik Bruto (PDB) turun hingga 30 persen, dan pengangguran mencapai lebih dari 20 persen.

Perang dagang pecah ketika mitra dagang melakukan tindakan balasan khusus terhadap AS sebagai tanggapan atas tindakan tarif Smoot-Hawley. RUU proteksionisme Amerika yang memperburuk “Great Depression.” Pelajaran dari kasus AS adalah, ketika AS mengaktifkan kebijakan proteksionis, jika hal-hal lain sama, negara-negara lain akan merasa lebih sulit untuk membangun konsensus seputar perjanjian liberalisasi baru.

Literatur tentang politik dalam negeri dan liberalisasi perdagangan mengasumsikan bahwa kelompok-kelompok memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana mereka akan terpengaruh oleh perdagangan bebas. Jadi, mereka memiliki kepentingan intrinsik yang bervariasi dan sering kali berbeda mengenai kebijakan perdagangan tertentu.

Seperti perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) akan mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya antara 12 negara termasuk AS yang ditandatangani pada tahun 2016, kemudian oleh ditandangani oleh Presiden Trump untuk AS menarik diri dari perjanjian tersebut pada tahun 2017.

Bagaimana dengan arah hubungan perdagangan Indonesia dalam menavigasi di tengah gejolak ketidakpastiaan geopolitik dunia?

Saat ini, ada kesepakatan umum bahwa kebijakan perdagangan yang digerakkan oleh pasar jauh lebih efisien daripada kebijakan yang pro-proteksi. Pada saat ini, politisi sebaiknya semakin menerima prediksi dan saran ekonom tentang hubungan antara perdagangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kesepakatan dengan para mitra ekonomi Indonesia akan menjadi landasan penting dalam perkuatan ekonomi yang lebih stabil.

Mitra ekonomi dan dagang yang penting bagi Indonesia seperti Jepang, Tiongkok, Singapura, AS, Korea, India, dan Malaysia adalah lima mitra ekspor terbesar Indonesia 2012-2021. Hal ini menunjukkan bahwa India, Tiongkok, Jepang, dan AS secara konsisten menjadi bagian dari lima mitra ekspor terbesar bagi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Ekspor Indonesia ke Tiongkok telah meningkat dalam tujuh tahun terakhir. Kelima mitra ekspor terbesar bagi Indonesia ini sebagian besar merupakan bagian dari negara-negara anggota ASEAN dan  Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) kecuali AS dan India. Indonesia memiliki FTA dengan India di bawah ASEAN-India FTA yang telah ditandatangani pada 8 Oktober 2003.

Beberapa mitra dagang AS yang menjadi sekutu AS seperti Korea dan Jepang kemudian berupaya memperkuat kerjasama dengan Tiongkok dalam mengatasi tarif global. Uni Eropa (UE) juga mempererat kerjasama dengan Tiongkok dalam melawan proteksionisme untuk menjaga sistem perdagangan multilateral.

Kerjasama investasi seimbang diantara UE dan Tiongkok mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Hal tersebut semakin menguatkan posisi Tiongkok dalam kerjasama ekonomi dengan beberapa negara-negara yang penting dalam peningkatan ekonomi global. Kerjasama Indonesia dengan negara-negara tersebut menjadi penting untuk menjadi fokus penguatan kerjasama ekonomi.

Indonesia berupaya cukup aktif untuk memperkuat kerja sama ekonomi yang akan meningkatkan kapasitas dan kemampuannya untuk berproduksi dan mengekspor dengan mitra dagangnya. Hal ini bisa menjadi fokus Indonesia dalam kerjasama perdagangan internasional di tengah kebijakan perdagangan “reciprocal tariffs” Presiden Trump. Beberapa perjanjian kerjasama perdagangan di mana Indonesia juga terlibat seperti RCEP dan European Free Trade Association (EFTA) – Indonesia Comprehensive Economic Partnership (CEPA) menjadi penting untuk diperkuat.

Perjanjian RCEP telah dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memperkuat kerja samanya di kawasan Asia-Pasifik yang lebih stabil. RCEP mempromosikan penguatan perdagangan regional dari implikasi geopolitik dengan memungkinkan negara-negara anggota untuk mengurangi guncangan ekonomi eksternal seperti perang dagang AS-Tiongkok. EU adalah salah satu mitra ekonomi penting bagi Indonesia.

Di kawasan Eropa, Indonesia telah menandatangani EFTA-CEPA yang terdiri dari Swiss, Norwegia, Liechtenstein dan Islandia. Selain itu Indonesia mengejar kemitraan ekonominya dengan UE dengan mengusahakan kemungkinan FTA UE-Indonesia. Indonesia telah meluncurkan negosiasi FTA dengan UE pada bulan Juli 2016 dan telah mengadakan negosiasi putaran ke-19 pada tahun 2024.

Indonesia sebagai bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dan RCEP sebagai mega trade deal merupakan kerja sama ekonomi yang penting di tengah meningkatnya proteksionisme. ASEAN menjaga kerja sama di tingkat regional dalam kerangka liberalisasi untuk menjaga sentralitas dan kekuatan sentripetalnya dengan memperdalam dan mempercepat integrasinya.  ASEAN juga mempertahankan hubungannya dengan beberapa mitra lain seperti UE.

Kemitraan strategis ASEAN-UE telah diperbarui, yang disebut rencana aksi untuk 2023-2027 yang mencakup politik dan keamanan, kerja sama ekonomi, kerja sama sosial budaya dan kerja sama lintas pilar. Tingkat kesepakatan ekonomi bervariasi tergantung pada masing-masing pihak, yang memiliki tingkat keunggulan kompetitif ekonomi dan situasi politik dalam negeri yang berbeda. Indonesia dapat memanfaatkan agenda bilateral, multilateral, dan regional yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia untuk meningkatkan pembangunan kapasitas industri nasional.

Kebijakan perdagangan selalu, dan akan selalu, menjadi sandera politik dalam negeri. Para pemimpin ingin negara mereka mendapatkan keuntungan dari perdagangan dengan negara lain, tetapi mereka juga harus memiliki ‘perangkat’ solusi bagi kelompok yang menderita karena persaingan asing.

Menemukan keseimbangan antara kebutuhan untuk menenangkan kelompok yang kuat dan insentif ekonomi untuk berdagang secara luas sering kali sulit bagi para politisi. Dukungan untuk liberalisasi akan bervariasi tergantung pada bagaimana para pemimpin memilih untuk menyeimbangkan kedua faktor ini. (Ranti Yulia Wardani, Dosen Hubungan Internasional President University)