bernasnews — Bertambahnya penduduk di Indonesia dari waktu ke waktu menyebabkan permintaan bahan pangan terus meningkat terutama beras. Banyak teknologi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya terus meningkatkan kebutuhan beras nasional, salah satunya dengan budidaya padi sistem Salibu.
Budidaya padi sistem Salibu merupakan modifikasi budidaya padi sistem ratun (ratoon) dan pernah dikembangkan ke beberapa daerah di Indonesia. Budidaya padi sistem salibu dapat menghasilkan produksi gabah sekitar 60% hasil tanaman induk. Teknologi budidaya padi sistem Salibu secara nyata dapat meningkatkan produktivitas lahan per tahun.
Padi sistem Salibu memiliki keunggulan yaitu umur panen relatif lebih pendek, kebutuhan air lebih sedikit, dan biaya produksi rendah (low cost). Biaya produksi dapat ditekan sekitar 45% dibandingkan budidaya sistem tanam pindah (transplanting), karena tidak ada lagi biaya untuk pengolahan tanah, pesemaian, dan penananam sehingga pendapatan petani meningkat. Namun, budidaya padi sistem Salibu belum banyak mendapat perhatian untuk dibudidayakan oleh masyarakat petani di Indonesia.
Budidaya padi sistem Salibu merupakan budidaya padi dari mata tunas yang tumbuh dari batang sisa setelah dipotong saat panen. Tunas muncul dari buku yang ada di dekat permukaan tanah dan berakar. Selanjutnya, perakaran baru dari tunas anakan berfungsi menyerap hara dari sekitarnya sehingga suplai unsur hara tidak tergantung lagi pada batang tanaman induk sebelumnya. Tunas anakan baru segera membentuk anakan seperti padi tanaman tanam pindah (Juanda, 2016).
Teknologi budidaya padi sistem Salibu merupakan salah satu teknologi berbasis kearifan lokal yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan bahan pangan, serta membantu dalam mendorong ketahanan dan keamanan pangan di Indonesia. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka banyak faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil padi sistem Salibu, diantaranya yaitu tinggi pemotongan batang tanaman induk setelah panen dan varietas yang digunakan.
Penggunaan padi varietas unggul yang berproduksi tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, serta toleran terhadap masalah abiotik dapat digunakan sebagai tanaman induk. Cakrabuana Agritan memiliki karakter agak tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 1, 2, dan 3. Agak tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III, namun rentan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VIII.
Cakarabuana Agritan tahan penyakit blas ras 033, dan 173 serta agak tahan penyakit Tungro inokulum Purwakarta (Sasmita et al., 2019). Penggunaan padi varietas unggul sebagai tanaman induk pada teknologi budidaya padi sistem Salibu diharapkan dapat menurunkan sifat genetik yang genjah dan berproduksi tinggi.
Sebaiknya, jarak tanam yang digunakan yaitu 25 cm x 25 cm. Dosis pupuk digunakan sebesar 300 kg ha-1 urea dan 200 kg ha-1 NPK Phonska. Aplikasi pupuk urea dan NPK dilakukan dua tahap. Tahap pertama diberikan 40% dari dosis masing-masing pupuk dan diberikan pada umur 2 minggu setelah tanam (MST). Tahap kedua diaplikasikan sebanyak 60% dari dosis anjuran pada umur 5 MST.
Hasil optimal pada jumlah anakan produktif, jumlah biji per malai dan produktivitas padi diperoleh dari batang induk sisa panen yang dipotong pada ketinggian 3-5 cm di atas permukaan tanah dan dilakukan pada umur 7-8 hari setelah panen (Fitri et al., 2019). Hasil penelitian terhadap padi Inpari varietas Ciherang menunjukkan bahwa hasil tertinggi dicapai pada pemotongan batang pada ketinggian 3 cm di atas permukaan tanah dengan hasil gabah 3,54 ton/ha (Nuzul et al., 2018).
Komponen pertumbuhan dan hasil padi ratun tertinggi dicapai pada pemotongan batang yang dilakukan saat panen dengan ketinggian 3 cm di atas permukaan tanah (Nuzul et al., 2018). Budidaya padi sistem Salibu memungkinkan dapat memanen padi sebanyak 3-4 kali per tahun. Manfaat budidaya padi sistem Salibu semakin besar karena dapat memperpendek periode panen tanaman, menghemat berbagai sumber daya seperti air, tenaga kerja, pembibitan dan persiapan lahan serta periode pertumbuhan tanaman yang pendek (Yamaoka et al., 2017).
Waktu pemotongan batang pada saat panen fisiologis (95% biji pada malai telah menguning) deapat memberikan hasil tunas padi sistem Salibu yang terbaik (Daliri et al., 2009). Hasil panen padi sistem Salibu sebanding dengan jumlah anakan baru yang terbentuk. Pemotongan batang yang terlambat dapat berpengaruh pada jumlah anakan baru semakin rendah (Oda et al. 2019).
Tinggi pemotongan batang dapat berpengaruh terhadap tinggi tanaman, dan jumlah biji hampa maupun biji berisi. Hasil penelitian Fitri et al. (2019) menunjukkan bahwa hasil optimal untuk jumlah anakan produktif, jumlah biji berisi, dan produktivitas padi diperoleh ketika batang yang tersisa dipotong pada ketinggian 3-5 cm di atas permukaan tanah, dan dilakukan pada usia 7-8 hari setelah panen tanaman induk (HSP).
Sebaiknya, saat panen tanaman induk dilakukan pemotongan batang setinggi 5 cm dari permukaan tanah (Dong et al., 2020). Sisa batang yang tidak terpotong dapat menyediakan karbohidrat yang diperlukan untuk menjaga aktivitas metabolisme pertumbuhan awal. Batang padi yang tersisa memberikan energi untuk pertumbuhan tunas baru setelah pemotongan batang, dan selanjutnya tumbuh segera menjadi anakan baru (Lardi et al., 2018). Hasil tertinggi padi sistem Salibu pada varietas Ciherang dicapai saat panen dengan tinggi pemotongan batang setinggi 3 cm dari atas permukaan tanah (Nuzul et al., 2018).
Pernyataan selanjutnya, pemotongan batang setinggi 2-3 cm dari permukaan tanah menyebabkan tunas baru yang berkecambah dapat membentuk anakan baru berikutnya. Variasi genotipe anakan setelah panen terkait dengan tingkat karbohidrat yang tersisa pada batang setelah panen (Torres et al., 2020). Belum banyak kajian hasil penelitian terkait teknologi budidaya padi sistem Salibu, terutama yang membahas respon pertumbuhan dan hasil padi Salibu terhadap tinggi pemotongan batang tanaman induk setelah panen dari varietas yang berbeda. (Dr. Ir. Paiman, M.P, Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Yogyakarta)