Opini  

“Drama” Harga Beras

Dr. Y. Sri Susilo. Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY, Pengurus Pusat ISEI dan Pengurus KADIN DIY. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Harga beras yang mulai naik sejak akhir tahun lalu sampai saat ini belum turun. Pemerintah mulai dari Presiden, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan) Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Badan Urusan Logistik (Bulog) telah memberikan penjelasan penyebab kenaikan harga beras tersebut.

Untuk diketahui, Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah lewat Perbadan No.7/2023 sebesar Rp10.900 – Rp11.800 per kilogram untuk beras medium, dan Rp13.900 – Rp14.800 per kilogram untuk beras premium. Kenyataan di lapangan, harga masih di atas HET yaitu Rp16.680 untuk beras premium dan Rp14.570 untuk beras medium per awal Maret 2024.

Semetara dalam empat bulan terakhir, harga pernah mencapai Rp14.000 per kg untuk beras medium dan Rp18.000 per kg untuk beras premium. Harga tersebut menjadi yang “tertinggi” dalam sejarah harga beras di Indonesia.

Kenaikan harga barang dan jasa, termasuk beras, dapat dijelaskan secara  sederhana dengan analisis permintaan dan penawaran. Kemungkinan harga barang dan jasa mengalami kenaikan disebabkan : (1) jika permintaaan (demand) naik namun penawaran (supply) atau pasokan barang di pasar tetap maka harga barang akan naik. (2) Jika permintaan tetap namun penawaran barang di pasar menurun maka harga akan melonjak. Dalam kasus harga Beras saat ini lebih disebabkan karena menurunnya penawaran atau pasokan di pasar.

Dari penjelasan berbagai pihak, baik Pemerintah  dan Non-Pemerintah, penyebab kenaikan harga beras sebagai berikut. Pertama, turunnya hasil produksi Gabah yang berdampak pada turunnya pasokan Beras di pasar. Kondisi tersebut disebabkan masa panen raya yang seharusnya di bulan Januari-Februari 2024 namun akan mundur di bulan Maret-April 2024 karena dampak perubahan iklim El Nino). Mundurnya masa panen tersebut menyebabkan stok beras nasional defisit 2,8 juta ton (Bapanas, 2024).

Penyebab lain beberapa sentra produksi gabah mengalami penurunan produksi. Data Bulog (2024), sejak tahun 2023 lalu terjadi penurunan produksi di sentra-sentra produksi sampai 2,05persen. Pada tahun 2022 produksi mencapai 31,54 juta ton kemudian turun menjadi 30,90 juta di tahun 2023. Kondisi tersebut dipicu efek kemarau ekstrem akibat fenomena iklim El Nino.

Kedua, turunnya hasil produksi Panen tersebut menjadi harga Gabah Kering Giling (GKG) melonjak. Data Bapanas (2024) harga GKG mencapai sekitar Rp 7.000,00 s/d Rp 8.000,00 per kg dan bahkan pernah mencapai Rp 8.600,00 s/d Rp 8.700,00 per kg. Harga beras biasanya dua kali lipat harga GKG, sehingga harga beras menjadi Rp 14.000,00 s/d Rp 16.000,00 lebih.

Pada panen raya bulan Maret-April 2024 diharapkan harga GKG akan menurun sampai Rp 6.500,00 per kg sehingga akan berdampak pada penurunan harga beras menjadi Rp 13.000,00 per kg.

Ketiga, kondisi ekonomi beras secara global yaitu India pernah melarang ekspor Beras di bulan Juli 2023. Beberapa negara pengekspor Beras lain juga memberlakukan kebijakan pembatasan ekspor, seperti misalnya Bangladesh. Kondisi ini menjadikan impor Indonesia mengalami hambatan dan dapat  berpengaruh pada stok beras.

Penyebab lain yang turut mendorong kenaikan harga beras yakni kebijakan pemerintah yang masif menggelontorkan bantuan sosial (bansos) saat masa kampanye Pilpres. Sebagian beras premium dicampur dengan beras medium untuk dijadikan bansos. Kondisi tersebut pasokan beras premium di pasar berkurang dan memicu kenaikan harga beras tersebut. Selanjutnya hal tersebut, konsumen beras premium akan bergeser mengonsumsi beras medium dan pada akhirnya harga beras medium ikut terkerek naik.

Penyebab lain dimungkinkan kenaikan biaya produksi, seperti misalnya kenaikan harga pupuk. Harga pupuk meningkat akibat perang Rusia dan Ukrania yang masih berkepanjangan. Perang tersebut menjadikan pasokan pupuk di pasar dunia menurun dan berujung dengan kenaikan harga pupuk. Kenaikan GKG yang berujung naiknya harga beras dapat disebabkan karena biaya pascapanen dan rantai distribusi yang belum efisien. Hal tersebut juga dapat mendongkrak harga beras.

Pemerintah harus menjadi motor penggerak untuk menurunkan harga beras di pasar. Harga beras akan turun jika pasokan pasar ditambah atau ditingkatkan. Dalam jangka pendek, panen raya bulan Maret-April 2024 diharapkan akan menambah pasokan beras di pasar. Operasi pasar beras murah dapat dilanjutkan dengan prioritas untuk wilayah-wilayah yang harga beras relatif paling tinggi.

Selanjutnya operasi tersebut  seharusnya dilakukan dengan menghindari antrian panjang, Antrian panjang ditemui pada saat operasi pasar murah di kota Bandung, Sumedang, Ende, Pasuruan dan beberapa kota lainnya. Upaya merealisasikan tambahan impor beras harus dilaksanakan untuk menjamin pasokan sehingga dapat menutup defisit stok beras.

Dalam jangka panjang, kebijakan “Diversifikasi Pangan Non-Beras” harus dilaksanakan dengan lebih serius dan intensif. Hal tersebut dapat dimulai dari rumah tangga dengan cara mengonsumsi pangan non-beras sebagai makanan  pokok. Indonesia cukup kaya dengan sumber pangan karbohidrat non-beras, seperti ubi-ubian, tepung terigu, sagu, sorgum, kentang dan sebagainya. Sosialisasi kegiatan diversifikasi tersebut juga dapat dimulai dari sekolah (TK, SD dan SMP). Mereka sejak dini sudah diperkenalkan dan mengonsumsi makanan pokok non-beras.

Pemerintah Pusat harus lebih serius mengordinasi ketersediaan  stok dan distribusi beras. Sampai saat ini masih terlihat belum rapinya koordinasi antar lembaga (Kemendag, Kementan, Bapanas dan Bulog) dalam menyiapkan stok Beras Nasional. Salah satu indikasinya adalah masing-masing lembaga mempunyai data yang berbeda, misalnya dalam jumlah produksi, stok dan kebutuhan beras.

“Satu Sumber Data” yang valid  salah satu kunci keberhasilan dalam menyeimbangkan keseimbangan antara stok dan kebutuhan   konsumsi beras. Jika hal tersebut dapat direalisasikan maka “drama” kenaikan harga beras yang “berkepenjangan” dapat dihindari. Artinya kenaikan harga beras hanya bersifat “siklikal” saja, yaitu harga turun pada saat panen raya dan harga  pada saat belum panen raya. (Dr. Y. Sri Susilo. Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY, Pengurus Pusat ISEI dan Pengurus KADIN DIY)