Opini  

Penanganan Pandemi Covid-19 dan Kegemasan Publik

BERNASNEWS.COM – Banyak orang marah, panik, tak berdaya hingga meregang nyawa akibat pandemi Covid-19. Berbagai intervensi kebijakan telah dibuat, bahkan hingga berlvel-level. Namun, corona tak jera. Negara tetap saja gagal mengatasi.

Kegagalan negara tentu bisa kita periksa bersama. Saya memulainya dari sikap negara di awal pandemi yang anti pengetahuan. Hal ini ditunjukkan oleh pemerintah melalui pernyataan pejabat publik yang kontra produktif.

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, misalnya, berkelakar bahwa corona susah masuk ke Indonesia, karena masyarakat sering makan nasi kucing. Pernyataan lain diucapkan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahwa corona susah masuk karena izin yang berbelit-belit.

Hal ini diperparah juga dengan sikap Menteri Kesehatan saat itu Terawan. Terawan menolak hasil studi ahli Marc Lipsicth dari Harvard TH Chan School of Public Health terkait adanya indikasi Indonesia telah terpapar corona mengingat negara tetangga di Asia Tenggara sudah banyak terinfeksi. Apalagi Indonesia adalah negara yang begitu terbuka secara fisik perihal mobilitas manusianya. 

Kebijakan yang Buntung

Hari-hari ini, kita merasakan betul imbasnya. Tidak hanya karena penyakitnya yang mematikan, tetapi juga dari berbagai pilihan kebijakan penanggulangan yang ada. Mulai dari PSBB hingga PPKM yang berlevel-level. Beragam kebijakan tersebut telah memberi kebuntungan baik secara ekonomi maupun sosial.

Bagi warga negara yang “mantab” (makan-tabungan) ada, mungkin disuruh untuk tinggal di rumah tidak terlalu menjadi soal. Mereka masih bisa hidup dan bertahan. Atau seorang yang bergaji tetap, seperti ASN, aparat kepolisian atau komisaris BUMN. Tetapi tidak dengan mereka yang bekerja harian untuk hidup harian pula. Bansos Rp 300 ribu per bulan tentu tidak banyak membantu. Apalagi dengan harga pangan yang kian naik dan tak terkontrol.

Lebih ironis lagi, masyarakat harus berhadapan dengan tindakan arogan dan over acting yang dilakukan oleh petugas keamanan. Di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, seorang ibu pemilik kafe yang sedang hamil harus mendapatkan perlakuan kekerasan dari anggota Satpol PP hingga mengalami kontraksi. Hal serupa tentu terjadi juga di tempat lain, bahkan petugas keamanan sampai mengangkut kursi, meja dan alat-alat masak para pedagang.

Tidaklah mengherankan jika warga melakukan protes. Misal yang dilakukan oleh salah satu pemilik kafe yang memberikan big promo untuk ASN dan aparat dengan membayar harga tiga kali lebih mahal dari harga biasa. Aksi yang epik ini menjadi viral di media sosial, meski kabarnya promo ini tidak terlalu berhasil. Protes serupa juga terjadi dimana-mana, ada yang melalui media dengan menggalang petisi tolak PPKM, bahkan hingga turun ke jalan dengan melakukan aksi teatrikal dan demonstrasi.

Pandemi sesungguhnya telah menciptakan ketegangan, kecurigaan, hingga pada ketidakpercayaan pada otoritas, khususnya otoritas politik sebagai decision making. Padahal di tengah situasi yang serba sulit ini, kita membutuhkan peranan pembuat kebijakan yang memiliki kepekaan terhadap krisis. Bukan malah membicarakan 3 periode jabatan Presiden, menggantikan warna pesawat kenegaraan, ataupun menebarkan baliho di mana-mana. Tetapi pandemic telah membuka sisi terlemah bangsa ini. Bahwa kapal tua Indonesia tengah kehilangan nahkoda. Ia tak hanya dilanda krisis kesehatan tetapi juga krisis kepemimpinan yang besar.

Lemahnya Koordinasi

Melihat tumbuhnya solidaritas sosial di tengah pandemi, kita sedikit menaruh rasa bangga. Sejak awal pandemi, kita menyaksikan masyarakat secara spontan menyediakan berbagai mekanisme perlindungan diri dari bahaya Covid-19.  Mulai dari charity sampai dengan jaminan sosial warga, berupa bantuan makanan, subsidi kelompok rentan, dan solidaritas lain untuk membantu sesama saudara yang terdampak.

Gerakan solidaritas tersebut dibangun dengan basis individu, komunitas bahkan hingga terbentuk di level partai politik. Misalnya yang dilakukan oleh DPD Partai Demokrat DIY yang selalu memberikan bantuan baik berupa pakaian maupun sembako bagi anak yatim selama pandemi. Hanya memang, potensi solidaritas yang dimiliki masyarakat ini tidak dikoordinasikan dengan baik oleh pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari ketiadaan sistem yang memungkinkan sumber daya solidaritas sosial ini bisa dikonsolidasikan.

Lemahnya koordinasi ditandai juga dengan komunikasi krisis pemerintah yang gagal dan malah membuat kita menjadi hopeless dan frustrasi. Di antara para pejabat publik tampak saling sikut dalam menyampaikan pesan kepada publik, sehingga kesannya kita menerima banyak informasi tentang hal yang sama. Diperkeruh dengan membeludaknya informasi dari sumber yang bervariasi dengan kualitas informasi yang tidak sepenuhya bisa diverifikasi kebenarannya. Padahal mengelola arus informasi adalah salah satu bagian penting dari praktik good governance. Melakukannya pun sesungguhnya bisa dengan saling berkoordinasi dengan media atau pemangku kepentingan lain.

Kerumunan informasi hanya akan menambah kepanikan, kekacauan dan menjadikan krisis kesehatan publik ini makin panjang. Karena itu, Pemerintah harus menyediakan informasi yang akurat dan disampaikan cukup oleh satu orang yang memiliki kapabilitas personal, knowledge, dan punya penguasaan terhadap hal-hal teknikal, sehingga tidak perlu banyak mulut yang berbicara.

Sejak awal, penanganan pandemic covid-19 telah mengalami kegagalan di banyak hal. Tidak hanya sinergi kelembagaan antara kementerian yang lemah, di level Pemerintah Daerah, inisiatif-inisiatif penangan pandemic seringkali bernuansa kontestatif dengan otoritas nasional.

Semua itu, tentu mengudang kegemasan publik. Namun, wabah ini akan sirna jika kita atasi bersama. Selain saling berbenah, pemerintah, masyarakat, media dan berbagai kelompok kepentingan lain tetap bekerja menjaga kewarasan bersama. (Astra Tandang S.IP, Alumni STPMD)