bernasnews – Sejak sebelum Indonesia merdeka, dunia jurnalistik telah menjadi medan perjuangan bagi banyak perempuan. Mereka tidak sekadar menulis, tetapi juga mengadvokasi perubahan sosial. Di tengah keterbatasan akses pendidikan dan tekanan budaya yang membatasi peran perempuan di ruang publik, mereka berani menentang arus, menyuarakan kepentingan perempuan tertindas, dan membuka jalan bagi generasi jurnalis perempuan berikutnya.
Pada peringatan International Women’s Day 8 Maret 2025, tak berlebihan jika kita kembali menyoroti dua tokoh perempuan pers Indonesia, Roehana Koeddoes dan SK Trimurti. Melalui pena mereka, dunia menjadi lebih inklusif bagi perempuan.
Tulisan ini akan menelusuri jejak perjuangan mereka dalam membangun kesadaran kebangsaan, memperjuangkan hak-hak perempuan, dan melawan kolonialisme melalui jurnalistik. Dari kisah mereka, kita dapat memahami bukan hanya perjalanan pribadi mereka, tetapi juga kontribusi besar mereka dalam sejarah pers dan gerakan sosial di Indonesia.
SITI ROEHANA KOEDDOES: PEREMPUAN PELOPOR PERS
Siti Roehana Koeddoes bukan perempuan biasa. Ia lahir pada di Koto Gadang, Minangkabau, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 dari pasangan Rasjad Maharadja Soetan, seorang kepala jaksa di pemerintahan Hindia Belanda, dan Kiam, ibunya. Roehana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia, serta memiliki pertalian darah dengan H. Agus Salim, diplomat dan politisi ulung. Ia juga merupakan bibi dari Chairil Anwar, penyair legendaris yang dikenal dengan julukan “Si Binatang Jalang”.
Sejak kecil, Roehana sudah menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap dunia literasi. Tanpa menempuh pendidikan formal, ia belajar membaca dan menulis secara otodidak, termasuk juga belajar membuat kerajinan sulam terawang. Ayahnya sering membacakan sastra untuknya dan teman-teman sebayanya, yang kemudian menginspirasi Roehana untuk mendirikan sekolah sendiri. Ia menjadi guru bagi teman-teman sebayanya maupun yang lebih tua. Di usia 24 tahun, setelah menikah dengan Abdoel Koeddoes, Roehana tetap melanjutkan aktivitas mengajarnya. Didampingi suaminya – seorang ahli hukum dan aktivis pergerakan yang memilih menjadi notaris independen – lantaran tak ingin bekerja pada pemerintah Belanda – Roehana semakin semangat menulis. Suaminyalah yang kelak mengoreksi tulisan-tulisan Roehana.
Namun, perjuangannya tidak selalu mulus. Ia mendapat banyak kritik dari masyarakat yang khawatir bahwa perempuan yang dapat membaca dan menulis hanya akan menggunakan kepandaiannya untuk bersurat dengan sinyo-sinyo Belanda. Ada juga tuduhan bahwa suaminya yang dikenal berani menulis kritik terhadap pemerintah kolonial akan melibatkan murid-murid Roehana dalam politik. Akibat tekanan ini, ia sempat meninggalkan Koto Gadang, tetapi tiga tahun kemudian, pada 1911, ia kembali dengan gagasan baru: mendirikan Perkumpulan Kerajinan Amai Setia, tempat perempuan belajar menyulam, menjahit, dan mengembangkan keterampilan ekonomi mandiri.
Roehana percaya bahwa perubahan dimulai dari pikiran, dan salah satu cara paling ampuh untuk menyebarkan ide adalah melalui tulisan. Saat itu, di Sumatera Barat, banyak surat kabar telah terbit, tetapi belum ada yang secara khusus menyuarakan kepentingan perempuan. Dengan keyakinan bahwa membaca surat kabar seperti meminum air laut — semakin banyak diminum, semakin haus ilmu, ia pun mengirim surat kepada redaksi “Oetoesan Melajoe”, mengusulkan pendirian surat kabar perempuan.
Gagasannya langsung disambut baik oleh Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi “Oetoesan Melajoe”, dan pada 1912, lahirlah “Soenting Melajoe”, surat kabar pertama yang dipelopori dan dipimpin oleh perempuan. Roehana mencari dan membina para penulis perempuan agar “Soenting Melajoe” benar-benar menjadi corong suara perempuan. Tak hanya beredar di Sumatera Barat, surat kabar ini juga tersebar hingga ke Jawa dan mendapat banyak kiriman tulisan dari perempuan di berbagai daerah—baik berupa artikel, puisi, sejarah, hingga biografi tokoh perempuan.
Di “Soenting Melajoe”, Roehana dengan berani menulis tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, mengkritik adat yang membatasi peran perempuan, serta mengecam praktek pergundikan, di mana perempuan Indonesia dijadikan selir oleh pria Belanda. Tulisannya yang tajam sering menuai kritik, tetapi ia tak gentar. Dengan cara mirip R.A. Kartini, yang merupakan sahabat korespondensinya, Roehana terus menyuarakan gagasan-gagasannya melalui tulisan.
Sayangnya, setelah sembilan tahun, “Soenting Melajoe” berhenti terbit karena kesibukan jajaran redaksinya, termasuk Roehana yang juga aktif di surat kabar “Saudara Hindia”, yang bersegmentasi lebih luas untuk pembaca umum. Namun, semangat jurnalistiknya tak pernah padam. Saat merantau ke Medan, ia menulis untuk surat kabar “Perempuan Bergerak”, sebuah surat kabar yang terhubung dengan gerakan feminisme di Eropa.
Kini, warisan Roehana tetap hidup. “Soenting Melajoe” tersimpan dalam bentuk mikrofilm di Perpustakaan Nasional, sementara Perkumpulan Kerajinan Amai Setia masih berdiri hingga kini. Roehana meninggal pada 17 Agustus 1972 di usia 85 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta. Dua tahun setelah wafat, pemerintah Sumatera Barat memberinya penghargaan sebagai wartawati pertama Indonesia, mengakui perannya yang luar biasa dalam dunia pers.
SK TRIMURTI: JURNALIS PEJUANG YANG TAK KENAL LELAH
Soerastri Karma Trimurti lahir di Boyolali, Surakarta, 11 Mei 1912 dari pasangan R. Ng. Salim Banjaransari Mangunsuromo dan R. Ayu Saparinten Mangunbisomo. Nama “Soerastri” adalah nama lahirnya, sementara “Karma” dan “Trimurti” adalah nama samaran yang kemudian lebih dikenal, terutama dalam dunia jurnalistik.
Sejak kecil, Soerastri mengenyam pendidikan di Sekolah Ongko Loro, lalu melanjutkan ke Sekolah Guru. Setelah lulus, ia mengajar di Sekolah Dasar Khusus Putri di Banyumas sambil aktif dalam dunia jurnalistik.
Namun, hasratnya terhadap perjuangan politik sama kuat. Ia meninggalkan profesi guru dan pindah ke Bandung, memulai babak baru sebagai aktivis. Pidato-pidato Soekarno yang berapi-api tentang perlawanannya terhadap imperialisme dan kolonialisme menginspirasi Soerastri untuk bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo). Di Partindo cabang Bandung, ia kerap bertemu dengan Soekarno, yang kemudian mendorongnya untuk menulis di surat kabar “Fikiran Rakjat”. Sejak saat itu, Soerastri aktif menulis di berbagai surat kabar, termasuk “Suluh Indonesia Muda”.
Tidak hanya berjuang melalui tulisan, Soerastri juga mendirikan Perguruan Rakyat Pasirkaliki di Bandung bersama sastrawan Sanusi Pane. Sekolah ini banyak diisi oleh anak-anak pejuang, tempat Soerastri menanamkan semangat cinta tanah air dan harga diri, serta menanamkan sikap menolak penjajahan. Sikapnya yang dinilai radikal terhadap pemerintah kolonial menyebabkan ia dilarang mengajar. Namun, larangan itu tidak menyurutkan semangatnya. Ia justru semakin berani berpidato dalam rapat-rapat umum Partindo, yang membuat pemerintah Belanda geram.
Ketajaman tulisannya menjadi ancaman bagi penjajah. Ketika “Fikiran Rakjat” dibredel seiring dengan diasingkannya Soekarno ke Boven Digul, Soerastri kembali ke rumah orang tuanya dan terus menulis. Beberapa tulisannya dimuat dalam surat kabar “Berdjoeang” yang terbit di Surabaya. Keahliannya dalam jurnalistik semakin terasah, hingga akhirnya ia menerbitkan surat kabar “Bedoeg” di Solo, yang berbahasa Jawa. Sayangnya, karena kendala bahasa, minat pembaca menurun, sehingga “Bedoeg” pun berhenti terbit. Sebagai gantinya, Soerastri menerbitkan “Terompet”, sebuah surat kabar berbahasa Indonesia yang penuh dengan seruan perjuangan.
Dari Solo, Soerastri kemudian hijrah ke Yogyakarta dan kembali bergelut di dunia jurnalistik. Ia menerbitkan majalah “Marhaeni”, sebuah penghormatan terhadap gagasan Soekarno tentang kaum perempuan pekerja. Baginya, Soekarno adalah sumber energi perjuangan. Ia bahkan berani menyebarkan pamflet-pamflet berisi kritik terhadap pemerintah Belanda, yang akhirnya membuatnya ditangkap dan dipenjara.
Semangatnya tak pernah surut. Setelah keluar dari penjara, Soerastri kembali menerbitkan surat kabar “Penyebar Semangat” dan kemudian bergabung dengan “Sinar Selatan”, surat kabar yang dikelola oleh Jepang. Di “Sinar Selatan”, ia bertemu dengan Muhammad Ibnu Sayuti, yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik—wartawan kritis yang kelak mengetik naskah proklamasi. Karena tulisannya yang mengkritik Jepang dan Belanda sebagai imperialis, Soerastri kembali dijebloskan ke penjara, sementara Sayuti Melik diasingkan ke Boven Digul. Tak lama setelah dibebaskan keduanya menikah pada tahun 1938.
Bagi Soerastri, pena dan kertas adalah senjata. Ia dan suaminya terus menulis dan mengelola surat kabar “Pesat” dan “Sinar Baroe”. Namun, aktivitas jurnalistiknya kembali membawanya ke penjara. Kali ini, perlakuan yang diterimanya sangat kejam—ia dipukuli hingga giginya goyah dan terpaksa melahirkan anak sulungnya di dalam penjara. Selama empat tahun (1939 – 1943), ia menderita di balik jeruji besi, hingga akhirnya Soekarno, yang sudah lebih dulu bebas, membantu membebaskannya.
Di era kemerdekaan, Soerastri—yang kemudian dikenal sebagai SK Trimurti—menduduki berbagai posisi penting. Ia menjadi Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia yang pertama (1947-1948) dalam kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi perempuan mendorongnya untuk melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hingga lulus pada tahun 1960.
Pada tahun 1962, SK Trimurti diutus pemerintah Indonesia ke Yugoslavia dan beberapa negara sosialis Eropa lainnya untuk mempelajari worker’s management. Hingga tahun 1994, ia terus aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk menjadi anggota Dewan Pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Atas jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, pemerintah menganugerahinya Bintang Mahaputera, yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno.
Meskipun rumah tangganya dengan Sayuti Melik berakhir pada tahun 1969, karena ia menolak dipoligami, SK Trimurti tetap teguh pada prinsipnya. Ia terus menulis bahkan kemudian mendirikan majalah “Mawas Diri”, yang membahas etika, moral, dan aliran kepercayaan.
Perjuangan panjangnya berakhir pada 20 Mei 2008, ketika ia menghembuskan napas terakhirnya. SK Trimurti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, meninggalkan jejak panjang sebagai jurnalis, pejuang, dan perempuan yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Bak pena yang mengubah dunia, kisah Roehana Koeddoes dan SK Trimurti adalah bukti bahwa jurnalistik bukan sekadar profesi, tetapi juga alat perjuangan. Melalui tulisan, mereka tidak hanya mencerdaskan perempuan, tetapi juga menantang struktur sosial yang menindas mereka, dan memperjuangkan kemerdekaan.
Di era digital saat ini, semangat Roehana dan SK Trimurti tetap relevan. Perempuan masih harus memperjuangkan suara mereka, baik di media konvensional maupun digital. Dengan teknologi yang semakin maju, perempuan kini punya lebih banyak ruang untuk menulis, bersuara, dan mengubah dunia—sesuatu yang dulu diperjuangkan Roehana dan SK Trimurti dengan pena dan kertas.
Hari ini, kita tidak hanya mengenang perjuangannya, tetapi melanjutkan jejaknya. Selamat Hari Perempuan Internasional. (mar/Atiek Mariati, Pegiat Lingkungan Hidup di Kulon Progo DIY dan Wartawan MALIGU)