Opini  

Euforia Semu Kemenangan CPO

Jonathan Ersten Herawan, Analis PP ISEI & Wakakomtap III Kajian Kebijakan Publik KADIN. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Laporan terbaru dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengungkapkan bahwa kebijakan Uni Eropa yang menghambat produk sawit Indonesia terbukti diskriminatif. Dalam sengketa yang teregistrasi dengan nomor DS593, Indonesia mengajukan gugatan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation milik Uni Eropa.

Hasil akhirnya, panel WTO menyatakan bahwa kebijakan Uni Eropa yang mengklasifikasikan minyak sawit sebagai produk tidak berkelanjutan melanggar prinsip perdagangan internasional.  Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam perjuangan Indonesia melawan diskriminasi terhadap produk unggulannya.

Namun, di tengah kemenangan ini, kita harus waspada terhadap gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia, yang berpotensi membawa dampak lebih besar bagi perekonomian nasional. 

Peran Strategis Sawit dan Nikel bagi Indonesia 

Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, dengan total produksi mencapai sekitar 50 juta ton per tahun. Uni Eropa merupakan salah satu pasar utama dengan volume ekspor sawit mencapai 3,7 juta ton pada 2022, atau sekitar 12% dari total ekspor minyak sawit Indonesia. Kebijakan diskriminatif Uni Eropa terhadap sawit jelas mengancam sumber devisa dan mata pencaharian jutaan petani kecil di Indonesia. 

Selain sawit, nikel juga menjadi komoditas strategis yang menentukan masa depan ekonomi Indonesia. Hilirisasi nikel telah menghasilkan nilai tambah yang signifikan. Misalnya, pada 2022, nilai ekspor produk nikel tercatat sebesar USD 33,8 Milyar, melonjak dibandingkan ekspor nikel mentah yang hanya USD 3 Milyar sebelum larangan ekspor diterapkan pada 2020. 

Indonesia tengah menjalankan grand plan besar dengan membangun ekosistem kendaraan listrik berbasis bahan baku dalam negeri. Pemerintah berencana memperluas kapasitas smelter untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, seperti baterai kendaraan listrik. Langkah ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia di sektor strategis.

Transformasi energi berbasis minyak sawit juga menjadi langkah strategis Indonesia. Pemerintah menargetkan implementasi bahan bakar campuran biodiesel 40% (B40) pada 2025. Proyek ini diharapkan mampu menyerap lebih banyak produksi minyak sawit domestik sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor. Dengan implementasi B40, Indonesia tidak hanya mendukung pengurangan emisi karbon global tetapi juga memperkuat kemandirian energi nasional. 

Kekhawatiran atas Gugatan Banned Nikel 

Setelah kekalahan Uni Eropa di sengketa sawit, gugatan mereka terhadap larangan ekspor nikel Indonesia di WTO (nomor DS 592) harus menjadi sorotan. Jika gugatan ini dikabulkan, dampaknya bisa sangat merugikan Indonesia. Larangan ekspor nikel mentah bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga strategi besar untuk mendorong hilirisasi dan industrialisasi. 

Kekalahan Indonesia di WTO dalam kasus ini akan memaksa pemerintah membuka kembali keran ekspor bijih nikel mentah. Akibatnya, Indonesia tidak hanya kehilangan potensi nilai tambah dari proses hilirisasi tetapi juga menghadapi ancaman deindustrialisasi di sektor strategis. Ekosistem kendaraan listrik yang tengah dibangun bisa terganggu karena pasokan bahan baku yang tidak terkendali. 

Kemenangan Indonesia atas diskriminasi sawit menunjukkan bahwa pendekatan hukum yang kuat dan konsolidasi internal mampu melawan ketidakadilan dalam perdagangan internasional. Namun, menghadapi gugatan ban nikel, Indonesia harus lebih strategis. Diplomasi perdagangan perlu diperkuat untuk memperjuangkan hak-hak Indonesia di forum global. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempercepat pembangunan ekosistem industri nikel dan kendaraan listrik. Diversifikasi pasar ekspor juga menjadi keharusan agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada pasar tertentu yang rentan terhadap tekanan politik. 

Jika gugatan ban nikel dikabulkan, dampak ekonominya akan jauh lebih besar daripada sengketa sawit. Hilangnya potensi nilai tambah dari hilirisasi nikel dapat merugikan Indonesia hingga miliaran dolar. Padahal, nikel merupakan komponen penting dalam transisi energi global, terutama untuk baterai kendaraan listrik. 

Kekalahan ini juga dapat menciptakan preseden buruk, di mana negara-negara maju semakin leluasa mengintervensi kebijakan domestik negara berkembang yang bertujuan membangun kemandirian ekonomi. 

Penutup

Laporan WTO mengenai diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit Indonesia menjadi bukti nyata bahwa kepentingan negara berkembang sering terabaikan dalam sistem perdagangan global. Namun, perjuangan ini belum selesai. Gugatan banned nikel oleh Uni Eropa adalah ancaman besar yang harus dihadapi dengan strategi matang. 

Indonesia harus memanfaatkan momentum ini untuk menguatkan posisi tawarnya di perdagangan internasional. Langkah konsisten dalam hilirisasi dan transformasi energi harus terus dijalankan. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya mampu melindungi kepentingan ekonominya tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara berkembang bisa menjadi pemain utama dalam transisi ekonomi global yang berkeadilan. (Jonathan Ersten Herawan, Analis PP ISEI & Wakakomtap III Kajian Kebijakan Publik KADIN)