bernasnews – Kadang kita melihat ke sekeliling kelas dan mencoba menerka siapa yang nantinya akan menjadi penulis, wartawan dan guru. Kita tidak selalu tahu siapa yang dapat menyerap apa yang kita ucapkan. (Harriet Paul Jonquiere, Guru Teladan Tahun Ini dari New York).
Tantangan terbesar bagi dunia pendidikan adalah membuat anak-anak mau membaca. Mereka dibombardir oleh gambar. Itulah sebabnya para guru perlu terus menerus berbicara tentang buku dan menjelaskan mengapa buku begitu menarik. Arti buku bagi ahli sejarah adalah bagaikan tabung percobaan bagi ilmuwan. (Philip Bigler, Guru Teladan Nasional Tahun Ini dari Virginia).
Dua kutipan dari 400 item di dalam buku “Guru Teladan Tahun Ini” tentang pandangan, inspirasi dan motivasi dari guru-guru terbaik karya wartawan Frank Sennett (2003) ini seolah mewakili judul tulisan ini dan sekaligus menggambarkan dunia pendidikan di manapun, termasuk di Indonesia.
Pada momentum Hari Guru Nasional (HGN) 25 November, selalu menjadi kesempatan istimewa bagi para guru, pendidik atau pembelajar sepanjang hayat untuk merefleksikan makna seorang guru dan pendidikan sebagai wadah untuk menggodok anak-anak didik penerus peradaban. Memang merefleksikan hal itu tidak hanya pada saat HGN, namun sebaiknya setiap hari, baik sebelum maupun sesudah kegiatan belajar mengajar (KBM). Harapannya supaya semangat atau benang merah roh pendidik tidak putus di tengah jalan.
Seandainya penulis adalah siswa di kelas Harriet, saya akan dengan suka cita mengangkat tangan dan mengatakan bahwa saya adalah satu satu siswa yang (kini) menjadi penulis, wartawan dan guru. Bahwa terutama profesi guru adalah satu-satunya ladang pengabdian kemanusiaan dan peradaban yang dapat menciptakan profesi apapun bagi siswa didik di kemudian hari. Dengan kata lain, tiada profesi tanpa melalui guru.
Lalu bagaimana dengan penulis dan wartawan? Sebenarnya mereka pun boleh disebut sebagai guru di luar kelas. Karena melalui tulisan mereka di berbagai macam platform media, siapa pun dapat memperoleh informasi, inspirasi, pendidikan, kritik sosial dan hiburan. Di sisi lain, di antara penulis dan wartawan ada yang memang juga adalah guru atau menjadi guru. Sebuah perpaduan profesi yang luar biasa dalam membimbing insan-insan pembelajar untuk berkembang.
Sesuai dengan judul tulisan ini, “Guru itu Buku, Buku itu Guru”, adalah posisi satu paket yang saling melengkapi antara sosok figur dan produk budayanya. Bahwa seorang guru ibarat sebuah buku pengetahuan yang kalau dibaca, dipelajari dan dimaknai secara baik oleh pembaca atau siswa didik akan memberikan pembelajaran bermakna. Bahwa buku juga ibarat guru, karena isi buku memberikan pengajaran dan pendidikan bagi pembaca atau siswa didik.
Pada hakikatnya, bagi guru mengajar secara lisan di kelas dan secara tertulis melalui media atau buku dapat jadi satu paket. Atau idealnya memang satu paket. Alangkah indahnya kalau seorang guru juga sekaligus seorang penulis. Dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta peluang dan ancaman yang ada, idealnya guru masih memiliki kesadaran dan motivasi diri yang kuat untuk berbagi ilmu secara tertulis.
Bagaimana kenyataan di lapangan? Apakah para guru selain mengajar dan mendidik tentunya, juga mau dan mampu mengalokasikan waktu untuk menulis? Mulai dari yang sederhana sampai karya ilmiah. Atau dibalik, mulai dari karya ilmiah sampai hal-hal sederhana namun bermanfaat? Apakah “me time” para guru sesekali dapat didedikasikan untuk kegiatan literasi diri. Literasi diri itu artinya membaca dan menulis untuk kepentingan diri sendiri dulu, baru kemudian untuk orang lain.
Penulis tidak akan menyajikan fakta seberapa banyak guru kita yang senang dan akhirnya tekun atau konsisten menulis tentang diri sendiri, ilmu yang diajarkan, lingkup terbatss, sampai lingkup yang lebih luas. Yang penting adalah, secara faktual, sudah banyak karya buku dari para guru di “kota literasi” Yogyakarta. Namun apakah banyaknya kartya buku itu sudah sebanding dengan banyaknya guru atau dosen yang ada di wilayah ini, biarlah masing-masing pribadi yang menjawab.
Dari sebagian dokumentasi buku karya guru yang menjadi ilustrasi tulisan ini, sengaja dipilih yang judulnya mengandung unsur kata guru. Artinya, sosok guru menjadi pelaku atau penulis buku itu secara kolaborasi dengan berbagai macam topik. Keragaman topik buku ini menunjukkan bahwa pintu masuk ide atau gagasan tulisan sangat beragam dan terbuka. Tinggal kejelian penulis atau komunitas penulis dalam memantik ide tulisan yang dikembangkan.
Lihat saja ada pengalaman empiris mengajar di dalam dan di luar kelas, kebanggaan dan kebahagiaan sebagai guru, perlunya guru terus belajar, guru perlu mulai menulis, menulis best practice, menulis surat kepada para tokoh, hakikat keluarga dan kota sebagai guru, kompetensi pendidik, karakter guru dan siswa didik, warisan pendidikan, guru hebat dan siswa cerdas, guru idola sampai roh Sang Guru.
Ksrena berbagai macam beban tugas, kesibukan, dan terbatasnya waktu, masih banyak guru yang belum sempat menulis, khususnya menulis buku. Kondisi ini memunculkan pertanyaan : mengapa guru harus menulis atau mana sempat menulis? Namun ketika sudah purna tugas, muncul pertanyaan lagi, apakah masih perlu menulis buku?
Kembali ke hakikat untuk kepentingan diri sendiri. Guru sebaiknya memiliki tekad untuk “mengikat” atau membukukan ilmu yang diajarkan dan pengalaman empiris mengajarnya. Tujuannya adalah supaya siswa tidak hanya mengenang jasa-jasa guru di masa lalu, namun juga masih dapat menikmati warisan ilmu atau nilai-nilai keutamaan hidup dari gurunya. Selamat Hari Guru Nasional 2024. Salam literasi. (Y.B. Margantoro, Wartawan dan Pegiat Literasi)