bernasnews — Pendidikan merupakan adalah sebuah metode transfer skill maupun pengetahuan (knowledge) yang terjadi melalui proses kegiatan belajar dan mengajar di lingkungan sekolah dasar, menengah, pendidikan tinggi maupun di lingkungan lain yang menyerupai sekolah. Pendidikan menjadi salah satu alat yang dapat menjadikan manusia menjadi berbudi, berdaya, berkarakter, oleh karena itu mendapatkan pendidikan yang layak menjadi salah satu dari hak asasi manusia.
Hak asasi manusia dalam bidang pendidikan memberikan kebebasan pada seseorang untuk lebih leluasa dalam membangun dan menemukan potensi yang ada dalam dirinya yang kemudian dapat dikembangkan sebagai manusia seutuhnya. Berdasarkan hal tersebut maka setiap orang berhak untuk menempuh jalur pendidikan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Hak untuk mendapatkan pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia, dan melihat manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh di dalam eksistensinya. Pendidikan memiliki peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara serta merupakan sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.
Gejolak demonstrasi mahasiswa di sejumlah Perguruan Tinggi (PT) terkait dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) maupun uang pangkal untuk jalur mandiri mewarnai ramainya pemberitaan dan menjadi hangat di seluruh media di Indonesia. Ekspektasi yang tidak sama antara masyarakat dan pemerintah mencuatkan beragam pendapat dan pandangan yang menciptakan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Disatu sisi bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia, hal ini tertuang dalam Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Selanjutnya dikuatkan lagi di dalam Pasal 31 UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan sesuai dengan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam alinea keempat, yaitu pemerintah negara Indonesia antara lain berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Lebih lanjut amanat UUD 1945 terkait dengan hak pendidikan dikuatkan lagi dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pemaknaan kata pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskrimintaif menunjukan bahwa negara harus berperan dan bertanggung jawab untuk mewujudkannya, karena hal tersebut merupakan hak asasi manusia. Tingginya UKT di perguruan tinggi nampaknya belum selaras dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003.
Kewajiban pemenuhan hak pendidikan merupakan kewajiban Negara dan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan pada perkembangan sepenuhnya atas kepribadian manusia dan martabatnya, dan akan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki.
Kenaikan UKT di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri sebagai dampak dijadikannya PTN sebagai Badan Hukum. Namun demikian seharusnya keberadaan lembaga pendidikan sebagai badan hukum bukan berarti negara melakukan pembiaran dan tidak melakukan kontrol terhadap PTN yang melakukan perubahan kenaikan UKT maupun uang pangkal tanpa memperhatikan nilai-nilai keadilan yang ada pada masyarakat.
Walaupun Negara sudah sudah memberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk mahasiswa tidak mampu tetapi kenaikan UKT sangat dirasakan oleh masyarakat yang tidak memenuhi sebagai mahasiswa KIP dan jumlahnya jauh lebih besar. Hal ini dirasakan bertentangan dengan konstitusi bahwa pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang layak untuk setiap warga negara tidak peduli apakah kaya atau miskin.
Alasan yang diberikan oleh Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Tjitjik Sri Tjahjandarie PhD yang menyatakan bahwa PTN sebenarnya tidak menaikkan biaya UKT melainkan menambahkan kelompok UKT menjadi lebih banyak karena untuk memberikan fasilitas pada mahasiswa dari keluarga yang mampu[1] sebagai alasan kamuflase, karena tidak berimbangnya antara jumlah KIP dengan jumlah non KIP, juga penilaian terhadap kemampuan dan golongan UKT juga sangat sumir, subjektif dan tidak transparan sehingga dirasakan sangat membebani.
Kenaikan UKT pada Perguruan Tinggi Negeri pada dasarnya imbas dijadikannya Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum (PTBH) karena bagi PTBH diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri biaya perkuliahan dengan berbasis dengan kebutuhan PT. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan PTN berbondong-bondong untuk menaikan UKTnya. Pengamat kebijakan pendidikan,
Prof Cecep Darmawan mengungkapkan, penerapan iuran pengembangan institusi (IPI) atau uang pangkal untuk mahasiswa jalur mandiri adalah sebuah dilema bagi perguruan tinggi negeri (PTN).[2] Perguruan tinggi pada dasarnya tidak mau membebankan biaya mahal kepada mahasiswanya, namun pada kenyataannya, pemerintah sebagai sumber dana primer perguruan tinggi hanya memberikan anggaran yang terbatas.
Berdasarkan hal tersebut semakin menguatkan Isu yang beredar bahwa naiknya UKT karena campur tangan pemerintah, sebagai jalan keluar karena pemerintah tidak lagi menggelontarkan anggaran pendidikan yang cukup tinggi.
Pada dasarnya dijadikannya Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum yang diberikan kewenangan mengelola dan menggali sumber keuangan tidak menjadi masalah, tetapi menjadi problem ketika sumber keuangan hanya dibebankan kepada mahasiswa, karena perguruan tinggi tidak mampu berinovasi atau mencari alternatif untuk menciptakan sumber pendanaan sendiri selain masukan dari uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa maupun uang pangkal untuk jalur mandiri.
Hal ini patut disayangkan, karena mahasiswa menjadi korban dan orang tua semakin menjerit dengan beban ekonomi yang semakin berat. Jalur mandiri bisa dikatakan cerminan pendidikan berkasta dan ini menjadikan adanya diskriminatif dalam pendidikan, padahal pendidikan merupakan hak asasi yang tidak seharusnya disubsitusikan dengan kekayaan.
Dengan adanya jalur mandiri maka bagi mereka yang kaya dapat di terima di PTN dan bagi mahasiswa yang menengah atau miskin harus menerima diskriminasi itu sebagai bagian dari nasibnya yang tidak beruntung. Sungguh ironi.
Perguruan Tinggi Negeri yang nota benenya dibangun dan didirikan oleh negara juga tidak memberikan panutan karena semestinya menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri harus jauh lebih terjangkau dibanding berkuliah di kampus yang dikelola swasta karena di di PTN tanah dan seluruh aset bangunan telah disediakan oleh pemerintah.
Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 2024 mengatur bahwa Tata cara penetapan tarif UKT dan uang kuliah setiap Program Studi pada program pendidikan tinggi ditetapkan oleh pemimpin PTN. Adanya UU Nomor 2 Tahun 2024 mengatur tentang Standar Satuan Biaya Operasional Tinggi Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang diserahkan seluruhnya kepada PT merupakan kemunduran dan negara tidak serius mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaaa UUD 1945.
Padahal negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Negara juga memiliki otoritas untuk mendesak terciptanya perlindungan hukum terhadap hak asasi setiap warga negara khususnya untuk mendapatkan pendidikan
Disamping itu hadirnya seleksi mandiri, tidak disadari juga sangat berdampak pada keberlangsungan Perguruan Tinggi Swasta, karena semua sudah dimonopoli oleh Perguruan Tinggi Negeri sehingga dari tahun ke tahun penerimaan mahasiwa haru di PTS semakin merosot. Pemerintah perlu segera tanggap terhadap kondisi riel yang ada saat ini karena tingginya UKT dan dibukanya jalur mandiri menyangkut hak pendidikan dan sensifitas strata sosial serta hilangnya peluang PTS mendapatkan pasar mahasiswa.
Pemerintah harus menyadari bahwa Perguruan tinggi negeri menjadi pilihan karena murah dan terjangkau oleh masyarakat, karena memang ada peran negara untuk melaksanakan kewajiban memberikan pendidikan kepada rakyatnya. Pemerintah harus berani membiayai secara optimal dan seharusnya bekerja keras untuk membiayai Perguruan Tinggi karena. Perguruan tinggi masuk ranah publik, sehingga sudah sewajarnya pemerintah tidak boleh lepas tangan, terlebih juga pendidikan sebagai investasi pembangunan SDM penerus bangsa ini..
Di samping itu adanya pernyataan petinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang menyebut bahwa kuliah bersifat tersier justru tidak menyelesaiakan masalah dan semakin menunjukan bahwa negara lepas tangan terhadap hak atas pendidikan dan semakin memperpanjang polemik di masyarakat. Menurut pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Tjahjandarie, menyatakan bahwa pendidikan tinggi hanya ditujukan untuk lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah yang berkeinginan mendalami suatu ilmu secara lebih lanjut dan bersifat pilihan karena sifatnya adalah tersiery education.
Pernyataan itu sangat antinomi dengan kenyataan yang ada bahwa tuntutan pendidikan tinggi semakin penting dan dibutuhkan, terbukti bahwa penerimaan formasi PNS maupun swasta membuat standar Sarjana S1 atau bahkan beberapa instansi atau perusahaan membuat standar Pasca Sarjana (S2 maupun S3).
Pernyataan tersebut justru melukai hati masyarakat karena seolah pemerintah lupa bahwa pemerintah memiliki tugas untuk memenuhi pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. Walaupun secara normatif wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah atas tetapi negara tetap mempunyai kewajiban untuk memberikan hak pendidikan bagi warganya dan sudah selayaknya pemerintah justru menyambut baik atas keinginan masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Apabila seseorang yang mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan maka akan mampu meraih kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang sehingga taraf hidupnya akan meningkat dan ia juga akan menjadi manusia yang sukses, dengan demikian negara telah mampu mewujudkan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sungguh ironi, di negara lain berlomba untuk menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas dan gratis bagi setiap warganya, tetapa di negeri ini yang nota benenya berlandaskan filosofi pancasila dan kerakyatan justru marak melakukan komersialisasi pendidikan. (Erna Tri Rusmala Ratnawati, SH, MHUm, Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram)