bernasnews — Rabu 14 Februari 2024 yang lalu menjadi hari bersejarah bagi Indonesia, perayaan 5 tahunan yang mampu menyedot perhatian dua ratusan juta penduduk Indonesia untuk menggunakan kesempatan dalam memberikan suaranya, dalam kontestasi pemilihan umum yang melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari Presiden hingga Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota. Kegiatan ini tentunya bukan hanya pada hari tersebut saja, proses panjang yang telah melewati berbagai tahapan, mulai dari pencalonan, kampanye, pemungutan suara, perhitungan hasil, hingga nantinya penetapan.
Pemilu menjadi ajang beragam partai politik dan calon bersaing untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Namun, selain menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang sah, pemilu juga meninggalkan jejak yang tidak dapat diabaikan, salah satunya adalah masalah sampah, limbah dan emisi yang dihasilkan dari material kampanye, alat pemungutan suara serta alat pelengkap lainnya.
Contohnya saja bagaimana perlengkapan tersebut didistribusikan ke berbagai penjuru di Indonesia, berapa banyak emisi yang dikeluarkan, belum lagi berbicara Alat Peraga Kampanye (APK) yang dipasang di pohon, di sembarang tempat hingga menjadi sampah karena melewati masa kampanye. Dalam konteks ini, penting untuk memahami dampak lingkungan dan sosial dari pemilu serta mencari solusi yang berkelanjutan untuk mengelola dan meminimalkan dampak negatifnya.
Seperti yang kita ketahui, permasalahan sampah di Indonesia telah menjadi salah satu tantangan utama yang mengancam lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Dengan populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, negara ini menghasilkan sekitar 64 juta ton sampah setiap tahunnya. Pulau Jawa, sebagai pulau terpadat di Indonesia, menjadi pusat perhatian dalam masalah ini. Diperkirakan sekitar 40 persen dari total sampah yang dihasilkan di Indonesia berasal dari Pulau Jawa, dengan laju pertumbuhan sampah yang mencemaskan.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menjadi pendorong utama dari masalah ini, di mana infrastruktur pengelolaan sampah yang kurang memadai dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah secara bijak menjadi faktor pendorong masalah. Tidak terkecuali untuk Yogyakarta, sebagai salah satu kota dengan destinasi wisata terkemuka di Indonesia, tidak luput dari permasalahan serupa.
Meskipun memiliki upaya-upaya pengelolaan sampah, terutama pengelolaan sampah di sumber dan berbasis masyarakat, Yogyakarta masih menghadapi tantangan serius dalam mengelola sampahnya, terutama saat TPST Piyungan tidak lagi mampu menampung sampah yang dihasilkan. Dengan meningkatnya jumlah wisatawan setiap tahunnya, terutama setelah pandemi, provinsi ini dihadapkan pada tekanan tambahan dalam hal pengelolaan sampah, termasuk sampah plastik dari industri pariwisata.
Oleh karena itu, di tengah peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati setiap 21 Februari, penting bagi pemerintah, masyarakat dan berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran akan tantangan pengelolaan sampah yang berkelanjutan, mengimplementasikan kebijakan yang lebih ketat terkait daur ulang dan pengurangan sampah, serta memperkuat infrastruktur pengelolaan sampah di seluruh negeri. Upaya bersama ini diperlukan untuk melindungi lingkungan, kesehatan masyarakat, dan menjaga keindahan alam Indonesia untuk generasi mendatang.
Pemilu dan HPSN sama-sama berada di dalam bulan Februari, ternyata pemilu juga berkontribusi menambah rumitnya permasalahan sampah, seperti yang telah dipantik di atas, Pemilu menjadi pemicu dalam “percepatan” produksi sampah, terutama sampah plastik. Bagaimana tidak? sebagian besar APK yang digunakan ternyata berbahan dasar plastik yang sangat sulit untuk didaur ulang. Memang sejak 31 Januari 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 3 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Sampah yang Timbul dari Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, berisikan tentang tata cara pengelolaan APK yang dihasilkan agar tidak berdampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Seluruh peserta Pemilu diminta untuk membersikan APK, dilanjutkan OPD urusan lingkungan dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Kab/Kota untuk mengumpulkan APK secara terpilah, dimanfaatkan, diolah dan tidak dibuang ke TPA. Sejauh mana pengelolaannya, sepertinya hingga peringatan HPSN tahun ini belum ada laporan dan progres yang disampaikan oleh instansi terkait. Jika dibuang atau dimusnahkan dengan cara yang tidak ramah, maka lagi-lagi kesehatan masyarakat dan lingkungan yang akan menjadi taruhannya.
Sampah plastik merupakan ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan manusia karena keberlangsungannya yang sangat lambat dan memiliki dampak negatifnya terhadap ekosistem yang begitu besar, baik di darat maupun di laut tergantung dimana ia akan berakhir. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Indonesia memang telah menerapkan sejumlah solusi, termasuk larangan/ pembatasan penggunaan kantong plastik di beberapa daerah, kampanye kesadaran publik dalam ranah pembatasan jumlah sampah untuk dihasilkan (sebagai bentuk pencegahan), dan upaya-upaya untuk meningkatkan infrastruktur daur ulang (sebagai bentuk pengolahan).
Namun, evaluasi singkat menunjukkan bahwa meskipun langkah-langkah ini telah memberikan beberapa dampak positif dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan meningkatkan kesadaran masyarakat, namun tantangan masih terus ada, salah satunya “gelombang” sampah pemilu yang sedang berada di depan mata.
Kedepan tentunya tidak hanya sekedar himbauan berupa tanggung jawab setelah sampah tercipta (atau dikenal dengan konsep End of Pipe), tetapi juga perlu diikuti dengan pengetatan aturan sebelum kampanye dimulai. Diawali dengan ketentuan bahan dan jenis APK yang diperbolehkan, teknik pemasangan dan pencopotan hingga pendataan serta perizinan yang perlu dimiliki. Kan tidak seru juga, kalau masa kampanye hanya 2,5 bulan tetapi menghasilkan sampah APK yang membutuhkan waktu 100 hingga 250 tahun agar dapat terurai oleh alam, atau bahkan tidak terurai sama sekali. Kalaupun Calegnya terpilih dan bekerja selama 5 tahun, ternyata sampah APK yang dihasilkan belum terurai oleh alam dalam waktu tersebut.
Belum lagi potensi sampah APK menjadi mikroplastik dalam ukuran yang sangat kecil, masuk ke dalam tanah, perairan, tubuh mikroorganisme, ikan, dan hewan konsumsi lainnya, yang dapat mengancam keberlanjutan dan kesehatan makhluk hidup, termasuk manusia. Kampanye yang ramah lingkungan, modern, kreatif dan inovatif sangat dibutuhkan di masa digital seperti saat ini, dalam rangka meminimalkan penggunaan sumber daya yang berpotensi menjadi sampah dan limbah. Sampah bukan hanya sekedar halaman belakang sebuah rumah, yang dikelola seadanya dan minim perhatian, tetapi bagaimana perlakuan dan pengelolaannya menjadi cerminan bagi calon pemimpin masa depan yang mendukung keberlanjutan. (Dr. Ir. Hijrah Purnama Putra, Dosen Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia/ Ketua Jejaring Pengelola Sampah Mandiri (JPSM) Sleman)