bernasnews — Pilkada serentak 2024 tinggal menghitung bulan, tetapi nampak jelas partai politik seperti belum siap menentukan kandidat siapa yang akan diusung. Masyarakat pun timbul rasa penasaran siapa kiranya kandidat yang akan diusung oleh masing-masing partai, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pilkada sebenarnya momentum terbaik bagi partai politik untuk mengusung figur andalannya guna memenangi kompetisi politik. Sejauh yang dapat ditangkap partai politik masih bermanuver agar figur yang diusung benar-benar tepat.
Dari pengalaman partai selama ini, memang menentukan (kandidasi) diwarnai dengan proses yang tidak mudah sehingga sejumlah partai baru benar-benar dapat memastikannya ketika batas waktu makin mendekati masa batas pendaftaran. Pencalonan sebenarnya bisa menggambarkan bagaimana pengelolaan organisasi partai yang di dalamnya mencerminkan implementasi demokrasi internal.
Dari berbagai nama yang beredar di media off line dan media on line (hingga Agustus 2023), bagaimana potret bakal calon kepala daerah di DIY khususnya masih misteri? Dalam kandidasi, tujuan yang diinginkan partai adalah memunculkan kandidat yang kompeten, berintegritas, diterima publik, dan mampu menerjemahkan platform (ideologi) partai dalam berbagai kebijakan.
Melalui kandidatnya diharapkan kinerja gemilang partai ikut terangkat, mengapa? Karena selama ini kiprah partai politik dipandang secara pesimistis tidak akan membawa harapan perbaikan. Bahkan, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, citra partai dinilai kian memburuk.
Bukti Partai Belum Siap
Kandidat kepala daerah terutama yang berasal dari internal nampaknya sulit terwujud. Atas dasar itulah, maka semua partai membuka kesempatan kepada pihak eksternal untuk didominasikan. Melalui pencalonan figur di luar kader partai sebagai opsi, maka balon (bakal calon) dimudahkan. Persyaratan, seperti berapa lama masa keanggotaan partai, tak dipersoalkan. Figur-figur dengan latar belakang militer, kepolisian, ormas, birokrat, selebritas, dosen, tokoh agama dan pengusaha kini berkesempatan menjadi balon.
Kemungkinan lain, dalam upaya memenangi Pilkada seringkali dihadapkan pada seberapa jauh kandidat memiliki peluang menang. Tidak jarang aspek ini dimiliki oleh figur dari eksternal karena sederet rekam jejak figur yang moncer ketika menjabat atau piawai di bidang masing-masing. Contoh, Anies Baswedan yang dicalonkan Nasdem, PKS dan Demokrat dalam konstetasi Presiden 2024 mendatang.
Memang ketika stok kader tidak tersedia dalam internal partai, upaya meminang figur eksternal adalah pilihan yang tak dapat dihindarkan.Tentu pilihan itu bukan tanpa resiko terutama nanti di saat setelah menang harus mampu menerjemahkan platform (ideologi) partai tadi.
Problem lain, penentuan dan pilihan siapa yang diusung menjadi nomor satu (kepala) atau dua (wakil) juga hal yang sangat menentukan dan dapat menimbulkan friksi yang dapat menajam. Oleh karena itu, yang perlu diantisipasi, saat ujung keputusan bagaimana sebetulnya kemauan konstituen sebagai penentu suara. Jika hal ini tidak diperhatikan dan ternyata tidak sesuai dengan harapan kader atau pemilih maka bisa berimplikasi munculnya kekecewaan dan eksodus besar-besaran. Sudah kita lihat, ada partai mengusung yang tidak sejalan dengan kader akhirnya kader memilih “kandidat” yang berbeda dengan yang diusung partai. Ada penggembosan suara partai disini.
Elit Penentu
Hiruk pikuk penentuan kandidat, di luar yang telah dikemukakan di atas sering juga memperlihatkan proses yang elitis. Dalam artian, keputusan mengenai figur yang diusung kadang-kadang hanya ditentukan oleh elit partai. Pemimpin partai dengan lingkaran elit pengurus khususnya di Indonesia memiliki pengaruh besar untuk memutuskan bakal calon (kandidat). Terlebih pada partai dengan pemimpin sentral atau sosok paling berpengaruh yang sangat menentukan.Kuatnya pengaruh figur pemimpin ini membuat penetapan bakal calon bisa tampak lebih mudah karena selera atau faktor kedekatan dengan elit partai.
Dalam kandidasi elitis tersebut tidak tertutup kemungkinan bisa melahirkan praktik politik uang atau transaksional, seperti dugaan adanya biaya politik bakal calon yang ingin diusung. Yang menjadi persoalan keputusan elit partai bisa juga menimbulkan persoalan karena tidak “terbuka” bagi anggota partai lain atau publik padahal salah satu wujud kedaulatan partai adalah terlibatnya anggota dalam sejumlah kebijakan partai, termasuk penentuan bakal calon.
Pelibatan dan partisipasi dari anggota partai diperlukan mengingat dalam kesempatan itu bisa digunakan untuk memastikan bahwa penentuan bakal calon dilakukan melalui makanisme yang transparan dan akuntabel. Termasuk nanti partai harus berkoalisi.
Akhirnya, sudah saatnya partai senafas dengan substansi demokrasi, yaitu bersifat transparan dan akuntabel bukan elitis. Partai memiliki peluang menempatkan seluruh komponennya mengikuti proses pencarian bakal calon kepala daerah yang diharapkan nanti bisa kompetitif. Wallahu ‘alam bissawab. (Sigit Handoko, Dosen PPKn, FKIP Universitas PGRI Yogyakarta)