bersama nas
Opini  

Urun Rembug Perihal Klitih

Hj Dra. Sri Haryani, MM, Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Sleman, Fraksi PDIP (Foto: Dok. Pribadi)

BERNASNEWS.COM — Menyoal viralnya tagar ‘Jogja Darurat Klitih’ beberapa waktu lalu kiranya perlu ditanggapi dengan bijaksana, tidak perlu ‘baper’ akan merusak citra Jogja sebagai daerah tujuan wisata. Peristiwa klitih atau  kriminal jalanan dari tahun ke tahun masih saja terulang. Agar tidak terulang, permasalahan ini  harus menjadi keprihatinan bersama dan diantisipasi dengan semangat kebersamaan.

Sebutan klitih sebagai kriminal jalanan menggambarkan tindakan sadis, bahkan kadang kesadisannya melebihi  penjahat jalanan  seperti jambret dan begal. Lebih disayangkan lagi pelaku klitih yang tertangkap pihak berwajib kebanyakan usianya masih belia, usia emas untuk menumbuhkembangkan sikap dan perilaku suka menolong, rendah hati, menghargai perbedaan, jujur, dan dermawan.

Mengutip apa yang dikatakan oleh para pakar pendidikan maupun pakar psikologi perkembangan anak, usia belia atau remaja adalah usia dimana anak-anak sedang mencari identitas untuk eksitensi dirinya agar dapat diakui oleh lingkungan.  Dalam proses mencari identitas perlu peran orang tua untuk mengarahkan pada pencarian identitas yang benar, yang sejalan dengan bakat dan minat anak dan bermanfaat bagi masa depannya.  Orang tua tidak cukup dengan menyerahkan saja pada  sekolah.

Materi budi pekerti yang saat ini di dunia pendidikan  maupun masyarakat cenderung ditinggalkan dan diganti dengan materi soft skill perlu terus ditambah porsinya sehingga seimbang  dengan materi hard skill.  Penguasaan   soft skill membantu meningkatkan kecerdasan  emosional, sosial, serta kemampuan berkomunikasi dan beradaptasi lingkungan.  Seseorang dengan  soft skill yang baik akan mampu untuk menyelesaikan konflik, bekerja sama dengan orang lain, dan mampu bertahan dalam situasi tekanan. Penambahan materi soft skill  juga harus berdasar prinsip taksonomi bloom yang digagas oleh Benyamin S Bloom, bahwa para pendidik harus memahami adanya perbedaan kemampuan  anak didiknya, baik dalam domain kognitif, akfektif dan psikomotorik yang tentunya sudah sangat dipahami oleh pendidik.

Ada yang menarik dari sisi otoritas sekolah, dari pengakuan  pelaku klitih yang tergabung dalam kelompok geng bahwa mereka membentuk geng dan melakukan tindakan kurang terpuji dikarenakan pengaruh dari para alumni di atasnya. Para alumni merekrut dan memberikan ‘tongkat estafet’ pada yuniornya.  Masalahnya proses ini diluar sistem sekolah, sehingga perlu kewaspadaan sekolah untuk mendeteksi dan membentengi para siswanya. Mengingat bahwa pengelolaan pendidikan tingkat SLTA   ada di tingkat Propinsi, maka Dinas Pendidikan Propinsi perlu menyusun sistem yang  menjangkau seluruh SLTA yang ada di propinsi. Jika perlu,  disusun satgas di setiap kabupaten maupun kapanewon.

Sekali lagi, mengingat rata-rata pelaku  di bawah umur maka dalam mengantisipasi klitih dapat ditarik benang merahnya yaitu, peran orang tua dan keluarga dalam pengawasan serta penanaman budi pekerti terhadap putra putrinya. Otoritas  sekolah harus  memutus rantai perilaku negative  dari alumni dan senior kepada  siswa yang masih aktif sekolah. Terakhir adalah lingkungan, peran dari pengurus RT/ RW/ dukuh  dalam ‘pengawasan’ warga sangat diperlukan. Antisipasi klithih juga dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, misal melalui  WAG  (whatsapp grup)  RT, RW, padukuhan maupun dengan pemasangan CCTV. (Hj Dra. Sri Haryani, MM, Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Sleman, Fraksi PDIP)