BERNASNEWS.COM — Dewasa ini upaya dalam menciptakan organisasi yang lincah, gesit dan adaptif terhadap perubahan memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Hal utama yang mendasari adalah bahwa dunia bisnis saat ini sedang berada dalam era VUCA (Volatility (volatilitas),Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity (ambiguitas). Tidak berhenti di situ, sekarang juga sudah muncul istilah VUCAD, dengan menambahkan Disruption untuk semakin melengkapi tantangan dalam dunia bisnis.
Kehadiran pandemi Covid-19 seolah meng-amin-kan era VUCAD di atas. Semua pihak dalam level dunia dengan segala upayanya senantiasa berusaha untuk tetap bertahan dan berjuang menghadapi pandemi. Maka saat ini muncul istilah new normal atau tatanan hidup yang baru sebagai wujud perjuangan menghadapi pandemi yang memang sampai dengan saat ini belum dapat dikatakan selesai 100 persen.
New normal yang berlanjut pada next normal sarat dengan kondisi yang mudah berubah, penuh ketidakpastian, sangat kompleks, ambigu serta banyak cara-cara lama telah terdisrupsi oleh teknologi. Contoh konkretnya adalah maraknya meeting online, webinar, remote working dan sejenisnya. Berangkat dari fenomena ini, maka organisasi yang ingin berkembang dan berkelanjutan tidak dapat lagi menggunakan cara-cara lama yang identik dengan struktur organisasi panjang dan birokrasi yang berbelit. Organisasi harus berubah dan berbenah.
Perubahan bagi organisasi yang masih menggunakan cara-cara lama tersebut harus dilaksanakan secara radikal untuk menuju hasil lebih baik atau radically better. Salah satu hal penting dan utama yang harus dilakukan adalah memastikan pemimpin dalam organisasi yang merupakan nahkoda atau penentu arah organisasi memiliki pola pikir yang terbuka dan terbuka terhadap perubahan. Dengan demikian maka pemimpin tersebut dapat mengarahkan organisasi menjadi lebih agile sehingga terciptalah agilitas organisasi.
Pengertian agilitas organisasi merupakan organisasi yang terbentuk dari sekumpulan tim yang berorientasi pada nilai-nilai manusia yang menunjukkan proses pembelajaran dan pengambilan keputusan dengan cepat, memanfaatkan teknologi dan berbasis pada komitmen tujuan bersama untuk menciptakan nilai bagi stakeholders (Darino, Sieberer, Vos, & Williams, 2019). Pendekatan agilitas tidak hanya mampu mempercepat pertumbuhan yang benefisial bagi organisasi, tetapi juga menciptakan generasi baru yang potensial dan terampil. (Rigby, Sutherland, & Takeuchi, 2016).
Berangkat dari pengertian dan tujuan agilitas organisasi di atas, hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam menciptakan agilitas organisasi adalah sekumpulan individu yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, peran departemen sumber daya manusia menjadi sangat krusial kaitannya dengan pengelolaan individu-individu yang terlibat dalam organisasi tersebut. Individu dalam organisasi merupakan pemegang kunci dalam memperkuat identitas organisasi. Sudah saatnya organisasi memandang orang-orang yang bekerja di dalamnya sebagai aset yang harus dikelola dan diberdayakan melalui proses humanisasi yang sistematis dan strategis serta tidak hanya dinilai berdasarkan target dan angka.
Terdapat dua langkah konkret yang dapat dilakukan oleh organisasi dalam proses humanisasi seperti yang dimaksud dalam paragraf di atas. Pertama, dengan melakukan internalisasi tujuan dan nilai-nilai organisasi. Organisasi perlu melihat lagi apakah tujuan dan nilai-nilai yang diterapkan masih selaras dengan kondisi saat ini, jika tidak maka organisasi dalam hal ini top management perlu me-repurpose. Namun jika dirasa masih relevan, karyawan perlu diberikan penyegaran mengenai tujuan dan nilai-nilai yang dihidupi oleh organisasi. Lebih dari itu, pengelola organisasi perlu memastikan bahwa tujuan dan nilai yang dihidupi oleh organisasi selaras dengan tujuan, ini dapat dilakukan dengan berbagai metode pelatihan dan pengembangan bagi anggota organisasi.
Setelah memastikan bahwa masing-masing individu yang berada dalam organisasi tersebut menghidupi tujuan dan nilai yang selaras dengan organisasi, maka selanjutnya pengelola semua individu yang ada dalam organisasi perlu menyepakati komitmen bersama untuk terus bertumbuh dan berkembang. Contohnya pembuatan target dan rencana perusahaan melibatkan semua anggota organisasi (baik jajaran manajemen maupun karyawan) sehingga akan memunculkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap organisasi.
Dua langkah tersebut akan dapat menghasilkan karyawan yang terus mau belajar, loyal dan berdedikasi terhadap organisasi. Atmosfer positif yang sudah terbentuk perlu diimbangi dengan kecepatan organisasi dalam bertindak. Bentuk organisasi yang paling ideal untuk mendukung hal tersebut adalah dengan menggunakan struktur datar dan memangkas birokrasi yang dipandang tidak begitu penting, sehingga proses pengambilan keputusan dapat lebih cepat dan tepat.
Langkah-langkah yang telah dijelaskan di atas memang masih perlu penjabaran yang lebih detail. Jika program telah dijabarkan secara sistematis dan dijalankan dengan berkesinambungan, maka organisasi dapat berjalan dengan lebih lincah dan gesit. Hal tersebut dapat terjadi karena organisasi dapat dengan cepat merespon perubahan yang terjadi, lebih dari itu organisasi yang agile dan gesit juga dapat menangkap peluang baru yang muncul di tengah era VUCAD.
Dengan demikian maka proses menciptakan agilitas organisasi dengan pendekatan humanisme terhadap semua individu yang terlibat di dalamnya merupakan pilihan strategis untuk dapat tumbuh dan berkelanjutan di era kebiasaan baru ini. Salam Sehat, Cerdas dan Humanis. (Januari Ayu Fridayani, Dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)