BERNASNEWS.COM — Pidato presiden Joko Widodo pada pembukaan Konferensi Forum Rektor Indonesia pada bulan Juli 2021 ada sebuah harapan tentang sistem pembelajaran yang komprehensif menggunakan pendekatan dari beberapa disiplin ilmu (hybrid knowledge and skill). “Jangan memagari disiplin ilmu terlalu kaku”. Berangkat dari harapan itulah tulisan ini dibuat sebagai usaha melihat kemungkinan digabungkannya beberapa bidang ilmu ke dalam sebuah konteks yaitu perusahaan/organisasi/negara.
Ketika sebuah perusahaan sudah memiliki usia puluhan tahun maka secara otomatis dan inheren di sana sudah ada sejarah, budaya maupun seni. Rasanya menjadi tidak relevan kalau kita pertanyakan tentang peran sejarah, budaya maupun seni dalam perkembangan sebuah perusahaan/organiasi maupun negara yang sudah mencapai usia lebih dari 10 tahun. Soal sejarahnya kelam, budayanya korup dan seni mengelolanya sarat dengan nilai-nilai yang menyimpang menurut ukuran norma masyarakat itu hal yang lain lagi.
Setiap organisasi yang memiliki usia akan bisa bercerita tentang sejarahnya. Mengapa didirikan, kapan didirikan, dan siapa saja yang ikut andil dalam pendiriannya dan bagaimana proses yang dialami semasa hidupnya? Apakah ada istilah lain untuk menyebutkan rangkaian kejadian dari saat berdirinya hingga usia tertentu bagi suatu organisasi/perusahaan selain kata sejarah?
Organisasi/perusahaan didirikan pasti memiliki misi tertentu. Apa alasan didirikannya sebuah organisasi dalam istilah manjemen bisa disebut dengan misi. Misi pendirian akan mewarnai nilai-nilai yang akan dihidupi oleh organisasi tersebut dalam menjalankan aktivitas dan proses manajemen. Nilai-nilai yang dihidupi sekian lama itulah yang nantinya akan membentuk apa yang disebut sebagai budaya organisasi, budaya perusahaan atau secara lebih sempit bisa juga disebut sebagai budaya kerja. Lalu masih relevankan kita mengatakan bahwa sebuah negara tidak menghidupi budaya? Lepas dari budaya yang dihidupi baik atau buruk menurut norma masyarakat, tidaklah bisa lalu dikatakan bahwa negara dan para pejabatnya tidak berbudaya. Mereka berbudaya, masalahnya budaya apa yang mereka hidupi?
Proses mengelola sebuah organisasi apalagi yang sudah punya sejarah panjang tidaklah mungkin tanpa ada seni di dalamnya. Secara teoritis seni tidak bisa diajarkan tapi bisa diwujudkan. Artinya seni akan mewujud ketika dia menemukan konteks (ruang untuk hidup). Tanpa konteks seni yang diajarkan pastilah bukan seni tetapi lebih pada pengajaran dan pendidikan tentang teknik-teknik.
Bisa kita cermati di kelas-kelas kesenian seperti batik, sungging, pahat, lukis, pedalangan dan tari. Yang diajarkan adalah teknik membatik, melukis, memahat, ukir, suluk dan teknik menggerakkan tubuh. Sebelum praktek membatik, melukis, memahat, mendalang, dan menari maka art belumlah muncul. Seni memadu-padankan berbagai teknik akan menghasilnya karya yang berbeda.
Semakin menyentuh konteks yang dihadapai masyarakatnya biasanya sebuah karya seni akan semakin bernilai. Demikian juga dalam proses manajemen sebuah perusahaan. Seni muncul ketika seorang manajer memadu-padankan berbagai teori yang dipelajari di bidang manajemen untuk memecahkan atau mengatasi sebuah masalah. Seni mulai muncul di sana. Seni memadu-padankan berbagai alat/teori manajemen yang paling pas dengan kontekslah yang akan membawa seorang manajer sukses, biasa saja atau bahkan gagal. Itulah kenapa definisi manajemen dari Marry Parker Follet mengatakan bahwa manajemen adalah ilmu dan seni.
Sebagai penutup, tulisan ini mencoba melihat bagaimana sejarah, budaya dan seni sebagai sesuatu yang bersifat netral berada dalam sebuah organisasi. Artinya dia bisa dinilai baik atau buruk tergantung nilai-nilai yang dihidupi oleh organisasi/pelakunya serta persepsi orang yang memaknainya. Nilai-nilai itulah yang akan menjadi nyawa dan roh penggerak bagi penggunaan ketiga hal tersebut. Sama dengan semua temuan manusia di bumi ini. Dia adalah alat untuk mencapai hidup dan kehidupan yang lebih baik. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sebagian orang yang memanfaatkan dengan memilih nilai-nilai yang tidak selaras dengan tujuan awal diciptakannya sebuah teori/alat. ‘Man behind the gun’. (Diah Utari BR, Dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma)