Opini  

Opini: Merdeka Menulis

BERNASNEWS.COM – KENDATI ada kekagetan sejumlah pihak, terobosan Mendikbud tentang Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar serasa sangat tepat dan sevisioner Presdien Jokowi. Dan itu menjadi sangat relevan dan mendapatkan momentumnya saat Pandemi Covid-19 yang tengah mendera lembaga pendidikan kita.

Sayangnya, dalam penilaian kelembagaan perguruan tinggi, sorotan utama pada seberapa banyak publikasi dosen dalam scopus. Di dikdasmen, kenaikan pangkat guru juga mesnyaratkan penelitian tindakan kelas (PTK) dan menuliskannya dalam jurnal. Urgenkah bagi guru? Tidak ada prioritas lain?

Dalam Kongres V Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, di UGM, Profesor Johannes Gunawan (2/5/2021) menggugat pengagungan publikasi scopus dan mengingatkan untuk kembali kepada UUD 1945.

Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi: meningkatkan kualitas hidupnya; dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban; serta kesejahteraan umat manusia.

Gunawan tidak menafikan pentingnya publikasi scopus, tetapi ada yang lebih pantas menjadi prioritas: untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Dicontohkan bagaimana di tataran nasional bisa membuat penelitian yang bisa mengatasi masalah perbatasan negara, dan di DIY bisa membuat terobosan yang menyejahterakan masyarakat, sehingga kesenjangan (rasio gini) yang terlalu tinggi bisa ditekan.

Dengan demikian, tidak akan ada lagi hasil penelitian yang sekadar menumpuk di perpustakaan. Dosen dan para guru harus semakin jeli dan cerdas menemukan bahan kajian yang sungguh memberikan manfaat bagi kemanusiaan dan tidak terjebak pada formalisme-administratif-birokratis.  

Telikung Guru Menulis

Selaku guru SMA, saya mengalami begitu banyak kendala menulis yang serasa menyakitkan dan membuat frustrasi. Betapa tidak, untuk menulis laporan hasil penelitian saja sudah tidak mudah, dan ketika menilaikannya juga memerlukan pembiayaan penggandaan yang tidak sedikit. Namun, hasilnya: lebih banyak ditolak dengan berganti alasan tahunan (dan nilai nol) daripada apresiasi. Belum lagi kalau memerhatikan efek kenaikan penggajian karena kenaikan pangkat dimaksud. Tambah aneh lagi adanya potongan pajak (PPh) atas tunjangan profesi guru yang 10% untuk golongan III/d menjadi 15% bagi yang sudah IV/a. Dalam kaca mata ekonomi, ini sungguh absurd.

Dalam dunia publikasi karya tulis dalam majalah dan jurnal ilmiah dikenal istilah selingkung (gaya penulisan yang dipersyaratkan), tetapi saya justru mengalami sejumlah telikung dalam proses kreatif penulisan berikut. Pertama, ketika mengikuti suatu lomba karya tulis ilmiah dan mengkaji tentang praksis manajemen pendidikan di sekolah, maka oleh juri dikomentari sebagai “jeruk makan jeruk”. Tidak bolehkah guru mengkritisi dan memberi solusi untuk lingkungan manajerialnya?

Kedua, menilaikan artikel di surat kabar dan majalah masih diminta menulis ke Jurnal. Setelah menulis di Jurnal, belum bisa diakui karena belum ada surat keterangan origininalitas dari Kepala Sekolah. Tahun berikutnya ditambahkan juga belum memenuhi syarat. Dan ketiga, tahun 2020 diktat-diktat yang saya nilaikan tidak diakui (biasanya diakui), bahkan makalah hasil PTK, dibimbing Professor go to school yang sudah diseminarkan dan berbukti, dinilai nol juga. Yang merepotkan: betapa sulitnya untuk bertemu dengan Tim Penilai Angka Kredit Guru, demi memperoleh konfirmasi yang memadai. Dalam rangkaian hardiknas, hari buku nasional, dan harkitnas ini kiranya para guru dan dosen layak dimotivasi dan difasilitasi (dimerdekakan) untuk lebih berkontribusi bagi peradaban dan kesejahteraan, melalui karya tulis hasil studi yang sungguh relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat setempat. (Ignas Suryadi Sw., S.E., M.Pd., M.M. – Guru dan Kepala Perpustakaan Kalpawidya SMAN 1 Ngaglik Sleman)