BERNASNEWS.COM — Pasal 1 dalam Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 menyebutkan bahwa kelompok penyandang disabilitas adalah, “setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental/intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial”. Namun secara lebih ramah kelompok tersebut biasa disapa dengan nama kaum difabel. Dalam realitas sehari-hari, kerap kali kita menepikan keberadaan kelompok difabel sebagai bagian dari kelompok marginal atas keterbatasan yang dimilikinya.
Meskipun disisi lain, sebenarnya ada banyak juga dari mereka yang mempunyai potensi serta keterampilan yang dapat dikembangkan bahkan secara lebih mandiri. Berbagai permasalahan pun sangat sulit dihindari oleh kelompok difabel, terutama dalam melakukan fungsi sosial di masyarakat karena sampai saat ini fasilitas untuk para penyandang difabel masih relatif sangat terbatas.
Padahal kelompok difabel juga menjadi bagian yang layak untuk mendapatkan kesetaraan, hak, kewajiban dan kedudukan yang sama sebagai Warga Negara Indonesia seperti informasi yang tertuang di dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2016. Sama halnya dengan pendekatan psikologi humanistik Abraham Maslow (dalam Minderop, 2011: 49) secara sederhananya teori ini menjunjung tinggi nilai “Memanusiakan Manusia” yang tentu saja berpegang pada aspek kepantasan dan keadilan.
Menyoroti beberapa sistem pemberdayaan khususnya terhadap segmentasi para penyandang difabel dengan latar belakang pendidikan rendah yang rutin diberikan oleh pemerintah setiap tahunnya seperti : program menjahit, memasak, ataupun beternak ternyata cukup menimbulkan dilematis “apakah kegiatan yang dilaksanakan sudah bersifat konstruktif dengan kebijakan yang ada untuk dapat mensejahterakan hidup kelompok difabel ? atau bahkan hanya menjadi sebuah kegiatan monoton yang belum membuat kelompok difabel itu sendiri keluar dari zonanya masing-masing. alih-alih justru diharapkan juga mereka dapat memberdayakan antar sesamanya”.
Selain itu, trend gagasan terhadap kawasan inklusif, baik desa inklusif maupun kota inklusif yang sudah mulai banyak diusung oleh setiap daerah, pada praktiknya pun belum begitu memadai dalam memenuhi kebutuhan para penyandang difabel, karena terlihat masih sangat minim sekali sarana, penataan, bantuan serta edukasi yang memudahkan kelompok difabel beraktifitas di ruang publik (misal di : transportasi umum, pom bensin, tempat ibadah / objek wisata).
Padahal konsep inklusif di Indonesia lebih mengarah kepada isu-isu difabel berdasarkan instrumen penilaian Unesco (2017), sehingga menjadi tantangan terhadap regulasi penunjang yang perlu dioptimalkan dengan berbagai program terkait. Secara keseluruhan menciptakan layanan ramah difabel yang aman dan nyaman di tanah air, terutama dari aksesbilitas dan mobilitas memang harus dirasakan oleh kelompok tersebut sesegera mungkin.
Pemberdayaan Kelompok Difabel
Di masa pandemi, percepatan penggunaan teknologi sejatinya harus dikuasai oleh setiap orang, termasuk bagi para penyandang difabel. Inovasi pemberdayaan terhadap kelompok difabel salah satunya dapat saja dilakukan melalui pemanfaatan digitalisasi yang harus diwujudkan sebagai cara signifikan untuk menghasilkan individu yang berkualitas dan berdaya saing terutama yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.
Terutama dengan adanya keberadaan difabel milenial di industri 4.0 yang memang sudah jarang tersentuh peran serta-nya. Atau justru sebaliknya, ternyata masih belum maksimal kontribusi dan pelayanan pemerintah yang dapat meregenerasi para penyandang difabel khususnya sebagai start-up yang sukses dan mandiri di era sekarang ini.
Sehingga ke depan mampu memberdayakan antar sesama diantara mereka, yang mana kondisi itupun selaras dengan dasar pemikiran Activity Interaction Sentimeny Theory / teori AIS dari Homans (dalam Zulkarnain, 2013:18) “rasa kebersamaan yang kuat dari suatu kelompok dapat dikembangkan dari sebuah aktivitas dan interaksi yang terus dilakukan oleh para anggotanya”. Yang kemudian juga dapat mematahkan stigma negatif serta diskriminasi kelompok difabel ditengah masyarakat.
Peningkatkan program pemberdayaan oleh pemerintah sudah seharusnya dapat dilakukan dengan mempusatkan kebutuhan sosial kelompok difabel tersebut yang juga merupakan sebagai bagian dari langkah keberhasilan akan kawasan inklusif.
Misalnya saja dengan adanya advokasi atau pelatihan yang berbau virtual, sehingga prospek wirausaha pun dapat menjadi alternatif pekerjaan yang tetap mengedepankan nilai humanis untuk dapat bertahan hidup di tengah himpitan perekonomian yang semakin memburuk di samping dari beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh para penyandang difabel itu sendiri. (Dyaloka Puspita Ningrum,SI Kom, MI Kom, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta)