Opini  

Potret Kemiskinan Jawa Tengah

BERNASNEWS.COM – Dalam sepuluh tahun terakhir, kinerja penanggulangan kemiskinan Jawa Tengah mengalami pasang surut dengan kemiskinan perdesaan masih mendominasi.  Jumlah penduduk miskin perdesaan hampir dua kali lipat daripada jumlah penduduk miskin perkotaan.

Kondisi terkini Maret 2019 di masa pre pandemi Covid-19, kemiskinan Jawa Tengah tercatat sebesar 3.743,23 ribu orang. Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sebanyak 75,6 ribu orang. Sementara di daerah perdesaan juga mengalami penurunan sebanyak 48,6 ribu orang . Jumlah penduduk miskin perdesaan turun -0,71 persen per tahun sepanjang 2011-2016. Lebih cepat daripada penurunan penduduk miskin perkotaan yang hanya -0,66 persen per tahun.

Dari gambar potret kemiskinan yang diuraikan di atas seolah-olah terdapat tendensi kebijakan ekonomi Ganjar Pranowo yang lebih ramah terhadap penduduk miskin perkotaan dibandingkan penduduk miskin perdesaan. Pada Maret 2015, penduduk miskin perdesaan meningkat 569 ribu jiwa, di perkotaan meningkat 296 ribu jiwa. Pada Maret 2016, penduduk miskin perdesaan hanya turun 275 ribu jiwa, sedangkan penduduk miskin perkotaan turun 313 ribu jiwa.

Kebijakan ekonomi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang bias ke penduduk miskin perkotaan terkonfirmasi lebih lanjut oleh tren indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pasca Maret 2015, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perkotaan menunjukkan tren menurun. Pada saat yang sama, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perdesaan justru menunjukkan tren meningkat signifikan.

Selain itu, disagregasi analisis kemiskinan ke tingkat daerah memberikan informasi yang sangat menarik yaitu kantong kemiskinan tak banyak berubah. Penduduk miskin terkonsentrasi di lima kabupaten, yaitu Brebes, Purbalingga, Blora. Ketiga kabupaten ini menjadi rumah bagi sebagian penduduk miskin Jawa Tengah. Selebihnya penduduk miskin tersebar di luar Kota Semarang dan Kota Solo, dua kota yang melegenda.

Analisis lebih jauh terhadap kantong kemiskinan Jawa Tengah menunjukkan keterkaitan antara aglomerasi, pertumbuhan kawasan agropolitan, dan kemiskinan. Kawasan agropolitan, selain menciptakan kemiskinan kota, juga menciptakan kantong kemiskinan di wilayah sekitarnya, seperti Kabupaten Wonogiri di Kawasan Wonosraten (Kota Surakarta Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten).

Demikian pula Kabupaten Grobogan di Kawasan Kedungsepur (Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak. Selain itu, Kabupaten Wonosobo di Kawasan Purwomanggung (Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupten Magelang, Kota Magelang, dan Kabupaten Temanggung).

Sedangkan Kabupaten Purbalingga di Kawasan Barlingmascakeb (Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupatem Banyumas, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Kebumen). Dan Kabupaten Blora di Kawasan Wanarakutibanglor (Juwana, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora). Hal yang serupa juga Kabupten Brebes di Kawasan Tangkallangkabregas (Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kajen ibukota Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Brebes, Kota Tegal, dan Slawi ibukota Kabupaten Tegal).   

Ada pola daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung memiliki indeks kedalaman kemiskinan yang juga tinggi. Dan daerah dengan indeks kedalaman kemiskinan tinggi cenderung memiliki indeks keparahan kemiskinan yang juga tinggi. Pola di daerah perkotaan juga menunjukkan arah yang sama. Dengan demikian, agenda penanggulangan kemiskinan memiliki dua dimensi spasial yang harus diperhatikan, yaitu kantong kemiskinan yang sangat terkonsentrasi di wilayah perdesaan di kabupaten yang telah disebutkan tadi. (Ir Laeli Sugiyono, Statistisi Madya pada BPS Provinsi Jawa Tengah).