BERNASNEWS.COM – Ada satu penyakit di tengah masyarakat bahwa seseorang yang jago berkoar dianggap sosok yang hebat. Bahkan diekspektasikan sebagai seorang jenius yang mampu memecahkan masalah. Persepsi ini mesti diluruskan agar ke depan bangsa kita lebih obyektif dan kritis menentukan parameter ketokohan atau pun kepemimpinan, apalagi menyangkut rakyat banyak dan masa depan suatu bangsa.
Saya ingat sebuah kisah perdebatan antara 1 orang bisu dengan 5 orang buta. Kala itu, mereka tengah duduk-duduk santai. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara gajah yang menggetarkan. Lima orang buta itu menerka, itu pasti suara binatang bertubuh besar. Karena 5 orang buta tersebut tidak melihat bentuknya, mereka lalu mendatangi gajah itu. Tanpa mampu mengingatkan saudara-saudaranya, si bisu hanya bisa berdiri termangu tak berani mendekat karena melihat besarnya gajah itu.
Lima saudara buta itu ingin memastikan suara binatang yang didengar. Maka, kelimanya berupaya meraba untuk memahaminya. Ada yang memegang belalai, telinga, perut, kaki dan ekor. Mereka lalu mendefinisikan sesuai obyek yang ditangkapnya.
Ujung cerita, mereka berdebat sengit perihal pemahamannya tentang gajah. Masing-masing mempertahankan kebenaran sesuai pemahamannya dan menyalahkan pihak lain. Yang memegang belalai, menganggap ia laksana selang pipa air besar. Yang memegang telinga, menganggap ia laksana kipas. Begitu seterusnya, hingga perdebatan tiada menemukan titik kesamaan.
Si bisu sendiri tidak mampu menengahi pertengkaran. Lim orang buta tersebut sibuk dengan persepsi masing-masing yang parsial. Bahkan ketika ada orang normal menyatakan bahwa gajah tidak seperti yang mereka definisikan, mereka menganggap orang itu justru gila dan mengada-ada.
Erick Thohir memang bukan seorang yang jago berkoar atau berpidato penuh retorika. Dia berlatarbelakang pengusaha bukan politisi. Maka ketika Presiden Jokowi memilih Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, itu adalah pilihan yang sangat tepat. Erick Thohir adalah sosok pebisnis kelas dunia dan memiliki networking global serta memiliki insting bisnis yang tajam. Tidak ada satupun orang yang meragukan kemampuannya.
Lucunya, terdengar kabar ada seorang politisi menantang Erick Thohir untuk debat terbuka soal BUMN. Sementara penantang tersebut memandang secara parsial. Selain itu, dia bukanlah seseorang yang memiliki kapasitas, baik sebagai seorang pengusaha, ekonom ataupun ahli keuangan.
Belum pernah saya lihat rekam jejak penantang debat tersebut memiliki latar belakang sebagai seorang pebisnis. Juga tidak ada satupun pembuktian diri bahwa dia pernah mengelola perusahaan berskala nasional, apalagi menggawangi perusahaan yang sudah Go Publik.
Mungkin dia kira dengan modal koar yang dimiliki, maka merasa dirinya pantas berdebat dengan Erick Thohir. Dengan bermodal retorika seakan-akan bisa menguasai dunia bisnis dan mampu mengelola ratusan perusahaan BUMN yang memiliki nilai kapitalisasi aset sebesar Rp 8 ribu triliun.
BUMN bergerak di berbagai core bisnis (bidang energi, pertambangan, telekomunikasi, konstruksi, transportasi, alutsista, farmasi, agrobisnis dana lain-lain) diperlukan seseorang dengan jam terbang tinggi untuk mengelola bisnis yang begitu complicated, beragam dan besar secara kapitalisasi aset. Ini perlu sudut pandang yang komprehensif bukan hanya parsial.
Geli juga mendengarnya. Malah saya ragu! Jangan-jangan si “Raja Koar” membaca neraca saja, dia sudah gugup. Kalau seperti Chairul Tanjung atau Antoni Salim menantang Erick Thohir berdebat tentang pengelolaan dan kiat memajukan perusahaan-perusahaan BUMN, masih pantas. Jadi si penantang debat tersebut bukan apple to apple. Bukan kapasitas dia untuk berdebat tentang tata kelola bisnis BUMN dengan Erick Thohir.
Jika topik perdebatan hanya membahas rangkap jabatan terlalu naif untuk bung Erick terima tantangan debat terbuka tersebut. Bukan kapasitas Erick Thohir untuk berdebat tentang perundang-undangan. Dia hanya pelaksana (eksekutif) dari perintah Undang-undang. Tidak ada undang-undang yang dilanggar tentang rangkap jabatan. Sampai saat ini belum ada undang-undang yang melarang hal itu.
Guru Besar Ilmu Hukum UI Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa sudah merupakan kebutuhan terjadinya jabatan rangkap para pejabat instansi pemerintah di BUMN sebagai Komisaris. Karena keberadaan para pejabat instansi pemerintah dibutuhkan mengingat BUMN adalah milik negara. Untuk mewakili kepentingan negara maka ditunjuk para pejabat yang berasal dari instansi pemerintah.
Jadi tidak perlu Erick Thohir menyikapinya dan berdebat tentang hal itu. Seandainya, kita berkeinginan supaya tidak ada lagi rangkap jabatan, maka harus ada peraturan tegas dan jelas, yang tidak memperbolehkan hal tersebut. Saya sepakat diadakannya undang-undang untuk mengatur pelarangan rangkap jabatan tersebut.
Hal mengenai utang BUMN yang dituding bahwa semasa kepemimpinan Erick Thohir terjadi kenaikan sebesar Rp 5.600 triliun dan lalu mendramatisir dengan membuat perbandingan utang luar negeri pemerintah Malaysia yang hanya Rp 3.500 triliun, adalah hal yang ngawur dan menyesatkan.
Apakah logis Erick Thohir yang baru menjabat 8 bulan sebagai Menteri BUMN ujug-ujug punya utang Rp 5.600 triliun? Dimana logikanya? Apalagi ditambah kondisi dunia sejak awal tahun 2020 sampai sekarang, dimana ekonomi dunia terpuruk atas bencana pandemi Covid-19.
Namun si “Raja Koar” dengan tega melemparkan data yang menyesatkan. Cara yang dilakukannya tak ubahnya seperti provokator agar terjadi kebencian pada Erick Thohir.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia tercatat bahwa total utang BUMN RI pada Maret 2020 mencapai USD 55,4 miliar, jika meggunakan kurs referensi BI (JISDOR) hari ini di level Rp 14.909/USD maka nilai utang BUMN setara dengan Rp 825,97 triliun. Merujuk data dari kementerian BUMN, total utang BUMN mencapai Rp 1.600 triliun atau setara dengan USD 98 miliar pada kuartal ke III/2020.
Oleh karena itu, melayani si “Raja Koar” berdebat hanya menghabiskan waktu dan energi percuma. Tidak konstruktif, tidak kredibel dan tidak akan memberi kontribusi positif. Sama seperti ilustrasi perdebatan 5 orang buta yang saya analogikan di atas.
Meski mulut Erick Thohir berbuih-buih menjelaskan tentang kondisi financial statement (neraca, profit and loss statement, laporan perubahan modal dan cash flow), strategi taktis pengembangan BUMN agar menjadi global player dan seterusnya, belum tentu juga nyambung, seperti Jaka Sembung pakai golok. Karena si “Raja Koar” penantang debat tersebut tidak memiliki pengalaman dan insting bisnis yang cukup, bahkan dia tidak pernah memiliki jam terbang bisnis.
Jangankan berpengalaman pernah mengelola ratusan perusahaan besar, untuk satu perusahaan saja, si “Raja Koar” belum ada pembuktian diri. Apalagi membawa perusahaan-perusahan BUMN ekspansi ke pasar global.
Saya mendukung sikap Erick Thohir tidak meng-counter koar si “Raja Koar”, apalagi menerima tantangan debat terbuka. Jangan sampai ikut membenarkan seseorang yang jago berkoar dianggap sosok yang sudah piawai, sementara tukang olah.
Sampai detik ini saya yakin, Bung Erick tetap mendapat tempat di hati rakyat untuk tetap menjaga BUMN agar tidak dijarah mafia dan tidak diganggu dengan serangan isu yang diproduksi oleh gerombolan penganut politik ala yahudi. (Aznil Tan, Barikade 98)