BERNASNES.COM – Di tengah ujian pandemi Covid-19 yang mewabah bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali bangsa Indonesia mencakup Jawa Tengah, timbul pertanyaan bagaimana status ketahanan pangan Jawa Tengah? Ini sangat krusial, mengingat kondisi pandemi ini telah memporakporandaKAN perekonomian masyarakat secara luas ke berbagai lini strata ekonomi, tidak hanya penduduk kelas atas dan menengah, melainkan juga penduduk kelas bawah.
Apabila kondisi ketahanan pangan ini rapuh maka bukan tidak mungkin Indonesia mencakup Jawa Tengah akan mengalami badai krisis pangan berkepanjangan karena mendatangkan pangan dari impor juga tidak mudah, mengingat pada saat bersamaan negara lain juga membutuhkan persediaan pangan di masa pandemi ini, padahal pasar pangan merupakan pasar yang tipis.
Sektor pertanian memang bukan penopang utama perekonomian Jawa Tengah karena hingga 2020 kontribusi sektor ini hanya sebesar 13,44 persen, masih di bawah sektor industri pengolahan (34,44 persen). Akan tetapi sektor ini menjadi sektor andalan perekonomian Jawa Tengah karena pelaku usaha sektor ini tercatat 4,09 juta orang, terdiri dari petani 2,88 juta orang dan buruh tani 1,22 juta orang. Dan sumbangsihnya paling besar mencapai 23,48 persen dari total tenaga kerja di Jawa Tengah keadaan Agustus 2019.
Di samping itu penduduk Jawa Tengah tercatat 34,74 juta jiwa masih bertumpu pada beras sebagai sumber kalori untuk aktivitas kehidupan sehari-hari. Berdasarkan informasi terbatas tersebut timbul pertanyaan serupa seperti tersebut di atas adalah bagaimana status ketahanan pangan Jawa Tengah?
Mendiskusikan diskursus ketahanan pangan yang dewasa ini menjadi perbincangan ramai di media cetak maupun elektronik karena sengkarut sumber data, yang seolah-olah BPS terhakimi karena dianggap oleh masyarakat bahwa BPS merupakan lembaga yang dipercaya mengeluarkan data dan informasi statistik.
Memanasnya masalah perberasan ini karena berbagai pihak berkepentingan, misalnya pemangku stok beras, Bulog, mengakui data beras yang dilaporkan BPS untuk pengambilan keputusan perlu tidaknya impor beras. Apabila terjadi defisit karena produksi beras tidak mencukupi kebutuhan konuimsi masyarakat maka Bulog dalam pengadaan buffer stock diperoleh melalui sumber impor luar negeri.
Sedangkan Kementrian Pertanian sebagai agen tunggal penyedia program peningkatan produksi beras, adanya kenaikan produksi beras setiap tahun yang menjadi platform bukti kinerjanya berkeyakinan dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Sebaliknya Kementerian Perdagangan sebagai pemangku tersedianya distribusi beras di pasaran dari sumber dalam negeri dan luar negeri, bersikukuh perlu diadakan impor beras untuk menjaga ketersediaan beras di pasar agar tidak terjadi melambungnya harga karena kelangkaan beras.
Pemangku otoritas moneter, Bank Indonesi, berkepentingan untuk menjaga inflasi tetap terkendali di bawah dua digit, oleh karena itu untuk menahan lonjakan harga beras yang bisa memicu kenaikan inflasi tinggi karena diyakini bahwa nilai konsumsi beras adalah terbesar dari seluruh komoditas yang dicatat BPS dalam penghitungan inflasi. Implikasinya kenaikan harga beras menjadi penyumbang utama kenaikan inflasi.
Sebagai refleksi saya sampaikan deskripsi proses penyusunan indikator ketahanan pangan. Indikator ini dihitung dari model rasio antara produksi dan konsumsi beras. Jika nilai rasionya lebih dari satu maka ketahanan pangan aman bahkan bisa untuk menumpuk cadangan pangan di masa mendatang, sebaliknya jika nilai rasionya kurang dari satu, warning ketahanan pangan terganggu dan berisiko kekurangan pangan, kecuali jika ditambal dari sumber impor.
Penyusunan Data Produksi dan Konsumsi Beras.
Produksi beras diperoleh dari total produksi padi atau gabah dikalikan dengan konversi gabah ke beras. Produksi padi diperoleh dari hasil perkalian luas panen sawah (hektar) dengan produktivitas (kuintal per hektar).
Persoalan muncul terhadap angka produksi padi menyangkut keakuratan datanya. Ini diragukan karena persoalan luas panen yang diduga over estimate. Selama ini, pengumpulan data luas panen padi masih menggunakan metode konvensional dengan menggunakan daftar isian Statistik Pertanian (SP). Berdasarkan metode tersebut, pengumpulan data luas panen masih didasarkan pada hasil pandangan mata petugas pengumpul data (eye estimate).
Penggunaan metode tersebut masih memiliki kekurangan. Rendahnya akurasi dan waktu pengumpulan data yang cukup lama. Kegiatan pengumpulan data luas panen ini dilakukan oleh Manteri Pertanian sesuai Instruksi Bersama Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan Kepala BPS No I.HK.050.84.86/ 04110.0288 tanggal 17 Desember 1984 tentang Keseragaman Metode untuk Memperoleh Kesatuan Angka.
Sedangkan data produktivitas rata-rata produksi padi per hektar dilakukan dengan survei ubinan yaitu pengukuran timbangan gabah yang dipanen dari plot ubinan berukuran 2,5 meter x 2,5 meter di petak sawah petani sampel yang dilakukan oleh Manetri Statistik dan Manetri Tani dengan komposisi 50 persen – 50 persen pada sejumlah plot ubinan yang dipilih secara acak dari petani tanaman pangan yang terpilih di blok sensus sampel.
Data rata-rata produksi padi per hektar dihitung menurut kabupaten/kota, kemudian untuk mendapatkan angka produksi dikoleksi dari penghitungan produksi tingkat kabupaten/kota yang diagregasikan dalam satu provinsi. Angka produksi padi nasional diperoleh dari penjumlahan angka produksi seluruh provinsi di Indonesia.
Untuk merespon keraguan akurasi data produksi padi terutama luas panen BPS melakukan terobosan perbaikan metodologi pengumpulan data luas panen dengan metode Kerangka Sampling Area (KSA). BPS melakukan kerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk menyusun kerangka sampling area yang dimaksud dengan sistem pelaporan yang berbasis teknologi.
Pendataan statistik pertanian tanaman pangan yang terintegrasi dengan metode KSA telah dimulai sejak tahun 2015 dengan pelaksanaan uji coba di Kabupaten Indramayu dan Garut (Provinsi Jawa Barat). Pada tahun 2016, uji coba yang akan dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat tidak dapat terlaksana dan baru dapat terlaksana kembali tahun 2017 dengan sampel seluruh provinsi di Pulau Jawa, kecuali DKI Jakarta. Pada tahun 2018, KSA dilakukan di seluruh provinsi di Indonesia dengan jumlah sampel sebanyak 22.087 sampel segmen. Komoditas yang dicakup dalam kegiatan ini hanya padi.
Luas lahan baku sawah nasional tahun 2018 adalah sebesar 7.105.145 hektar. Untuk Jawa Tengah luas baku sawah tahun 2013 sebesar 1.103.774 hektar, sedangkan luas baku tahun 2018 Jawa Tengah sebesar 980.618 hektar.
Berdasarkan hasil survei KSA, luas panen padi di Jawa Tengah periode Januari-Desember 2018 sebesar 1.699,1 ribu hektar. Luas panen tertinggi terjadi pada periode Januari-April 2018 yaitu sebesar 741,2 ribu hektar, karena pada periode ini terjadi panen raya. Sementara itu, luas panen terendah terjadi pada periode September-Desember 2018 dengan luas panen sebesar 271,6 ribu hektar.
Luas panen menurut kabupaten/Kota, Lima terbesar terdapat di Kabupaten Grobogan sebesar 128.870 hekatar kemudian Kabupaten Cilacap tercatat 122.214 hektar, Kabupaten Blora 100.970 hektar, Kabupaten Sragen 100.241 hektar, dan Pati 93.763 hektar. Dan lima terkecil terdapat di Kota-kota, mulai dari Kota Surakarta (37 hektar), Kota Magelang (159 hektar), Kota Tegal (442 hektar), Kota Salatiga (818 hektar), Kota Pekalongan 1.626 hektar), dan Kota Semarang (4.529 hektar).
Dari luasan panen di Jawa Tengah sebesar 1.699,1 ribu hektar menghasilkan padi atau gabah sebesar 9.609.086 ton gabah kering giling (GKG). Berdasarkan konversi gabah ke beras yang tertera 63,84 persen artinya setiap 100 kg GKG dijadikan beras sebesar 63,84 kg beras. Maka produksi beras Jawa Tengah selama Januari-Desember 2018 tercatat sebesar 6.134.440 kg.
Sesuai Nerca Bahan Makanan (NBM) Jawa Tengah setiap orang secara rata-rata mengonsumsi beras setiap tahun sebesar 107,8 kg. Hasil proyeksi penduduk Jawa Tengah tahun 2018 tercatat sebesar 34.490.835 orang, maka konsumsi beras selama tahun 2018 tercatat sebesar 3.718.112 kg.
Indikator Ketahan Pangan.
Dari hitungan produksi dan konsumsi beras Jawa Tengah maka rasio indikator ketahanan pangan yang merupakan rasio perbandingan produksi dan konsumsi beras Jawa Tengah tahun 2018 tercatat sebesar 1,650. Di sini memberikan makna bahwa ketahanan pangan Jawa Tengah selama tahun 2018 sangat aman karena produksi beras dapat mencukupi konsumsi masyarakat dengan kelebihan produksi 65 persen dari total produksi tahun 2018.
Tetapi harus hati-hati dalam menyikapi indikator ini karena ketersediaan beras belum bisa dijamin setiap bulan ada karena padi tidak sepanjang tahun berproduksi, melainkan terbagi dalam tiga periode, bulan April adalah puncak panen raya, paceklik bulan Agustus dan bulan Desember.
Di samping itu ketersedian produksi menurut spasial kabupaten/kota juga tidak merata. Daerah kota pastilah selalu defisit beras yang tentunya dapat ditopang dari sub urban area yang mengellingi kota tersebut. Misalnya Kota Semarang, dapat ditopang dari surplus produksi di wilayah Demak, Kendal dan Ungaran. (Ir Laeli Sugiyono MSi, Statistisi Madya pada BPS Provinsi Jawa Tengah, email: [email protected])