Opini  

Dilema Pembelajaran Dalam Jaringan (Daring) Pada Masa Pandemi Covid-19

BERNASNEWS.COM – Pandemi Covid-19 melanda seantero dunia saat ini. Banyak negara yang mempunyai kasus positif atas wabah tersebut. Dilaporkan dari portal World Healt Organisation (WHO) (https://covid19.who.int/), bahwa hingga Kamis, 23 April 2020, sebanyak 2.549.632 kasus positif dan 175.825 kasus kematian.

Sementara di Indonesia, pandemi ini telah menyebabkan 8.607 orang positif, 1.042 orang sembuh dan 720 orang meninggal (https://www.covid19.go.id/). Begitu cepatnya penyebaran dan pertumbuhan wabah ini sehingga semua negara di dunia melakukan berbagai upaya baik preventif, kuratif dan promotif kepada warganya.

Berbagai upaya yang dilakukan berbagai negara atas penyebaran wabah Covid-19 juga merambah dalam bidang pendidikan. Hampir sebagian besar negara yang terpapar virus tersebut meliburkan dan memindahkan aktivitas belajar siswa sekolah ke rumah. Siswa melakukan aktivitas belajar dari rumah sebagai pengganti siswa tidak dapat belajar di sekolah. Hal ini dilakukan sebagai jalan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan aktivitas menjaga jarak sosial (sosial distancing).

Kebijakan belajar dari rumah di tengah pandemi Covid-19 juga dilakukan sekolah-sekolah di Indonesia. Kebijakan ini didasarkan pada Surat Edaran (SE) Mendikbud No 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Salah satu isi SE tersebut adalah memberikan himbauan untuk belajar dari rumah melalui pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh.

Praktik Belajar dari Rumah di Indonesia

Adanya SE tersebut direspon pihak sekolah untuk menerapkan pembelajaran daring. Guru melaksanakan pembelajaran meski tanpa bertatap muka langsung. Melalui berbagai platform semisal grup Whatsapp, email, google Classroom, atau media yang lain, guru berusaha menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Umumnya, langkah yang dilakukan guru mulai dari menyiapkan konten materi pelajaran yang disampaikan pada setiap pertemuan lantas diunggah di media daring. Berikutnya, siswa mempelajari materi dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sementara guru memonitoring pelaksanaan proses yang dilakukan siswa termasuk juga menjawab pertanyaan dan memberikan umpan balik proses pembelajaran.

Pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, pembelajaran daring merupakan suatu pilihan strategi pembelajaran yang lazim dijadikan pilihan. Pembelajaran daring mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh strategi pembelajaran yang lain. Karena pembelajaran daring tidak terikat dengan ruang dan waktu. Artinya, kapan saja dan di mana saja, siswa dapat mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Siswa tidak perlu datang pagi-pagi ke sekolah dan pulang sore dari sekolah. Siswa bisa juga melakukan aktivitas belajar sambil ditemani orang tua di rumah.

Problematika

Proses pembelajaran daring sebenarnya tidak mudah diberlakukan di Indonesia. Dalam proses pelaksanaannya, banyak keterbatasan dan permasalahan yang terjadi di lapangan. Menurut pengamatan dan refleksi penulis dari berbagai sumber, ada beberapa kendala dalam melaksanakan pembelajaran daring di Indonesia.

Pertama, masih banyak guru yang mempunyai keterbatasan dari sisi akses maupun pemanfaatan gawai yang dimiliki. Tidak semua guru punya kemampuan untuk mengoperasikan dan memanfaatkan gawai canggihnya. Bagi guru yang melek teknologi, tentu hal ini tidak menjadi masalah. Sebaliknya, bagi guru yang masih gagap teknologi, hal ini menjadi masalah. Padahal, pembelajaran daring memerlukan kreativitas dalam proses pembelajarannya. Kreativitas ini tidak hanya dari sisi pembuatan konten materi yang menarik, tetapi juga kreativitas dalam memanfaatkan kelebihan media daring yang digunakan. Artinya, guru harus pintar mengkreasi materi pelajaran agar mudah dipahami oleh siswa dengan memanfaatkan media daring yang ada.

Kedua, kemandirian belajar siswa di rumah tidak dapat sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik. Kemandirian belajar menjadi tuntutan yang harus dipenuhi dalam pembelajaran daring. Keterbatasan untuk bertatap muka langsung dengan guru, membuat siswa harus mandiri dalam memahami materi dan mengerjakan tugas yang ada. Siswa harus memahami dengan baik materi yang disajikan. Kemudian, menyelesaikan tugas yang diberikan guru termasuk juga melaporkannya. Dalam memahami materi dan mengerjakan tugas tersebut, tentu proses aktivitas belajar siswa tidak semulus dan semudah yang dibayangkan. Ketidakpahaman atau miskonsepsi suatu materi mungkin saja terjadi. Apalagi jika materi yang diberikan, butuh penjelasan yang lebih detail dan mendalam. Atau siswa tidak memahami materi yang disajikan dan harus segera memperoleh penjelasan dari guru. Tentu, pembelajaran daring tidak dapat segera mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karenanya, pendampingan dari orang tua diperlukan dalam proses pembelajaran daring. Meskipun hal ini tidak mudah, karena orangtua siswa juga harus dapat berperan selayaknya seorang guru pengampu materi pelajaran. Jika orang tua dapat berperan dengan baik dalam mendampingi anaknya, permasalahan tersebut dapat terselesaikan. Namun sebaliknya, jika orangtua juga mempunyai keterbatasan (misalnya, gagap teknologi/gaptek, latar belakang pendidikan rendah), permasalahan yang muncul akan memberikan masalah yang baru lainnya.

Ketiga, tugas dan pekerjaan rumah yang diberikan guru membebani siswa. Pembelajaran daring selayaknya tidak membebani siswa dalam belajar. Siswa harusnya mempunyai kebebasan dalam aktivitas belajarnya. Tidak tertekan dengan banyaknya tugas dan waktu penugasan yang pendek. Termasuk juga dikejar-kejar dengan deadline pengumpulan tugas yang diberikan oleh guru. Artinya, materi dan jenis penugasan selayaknya diberikan waktu yang bijak dan sebisa mungkin terkait dengan kesadaran bahaya wabah Covid-19.

Keempat, tidak semua siswa mempunyai gawai (handphone). Gawai merupakan alat utama yang digunakan untuk pembelajaran daring. Tetapi, tidak semua siswa mempunyai alat komunikasi ini. Mungkin, bisa saja gawai menjadi barang mewah bagi siswa dari kalangan ekonomi tidak mampu. Akibatnya, siswa tidak punya fasilitas pembelajaran daring.

Kelima, pembelajaan daring terkendala dengan signal internet yang tidak stabil dan pulsa (kuota data) yang mahal. Kita tahu, bahwa Indonesia mempunyai kondisi geografis yang beragam. Keragaman kondisi letak geografis rumah siswa yang beragam menjadi masalah terutama terkait kestabilan signal internet. Rumah siswa ada yang di dataran rendah, seperti dataran biasa dan tepi laut. Ada juga siswa yang tinggal di dataran tinggi, seperti di pegunungan atau lereng gunung. Ada yang tinggal di kota. Dan, ada pula siswa yang tinggal di desa. Kestabilan signal internet diperlukan agar dalam proses pembelajaran tidak terganggu sehingga siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Akan tetapi tidak hanya signal, pulsa (kuota data) internet juga harus cukup tersedia. Padahal pembelian pulsa (kuota) data memerlukan biaya yang tidak murah.

Dilema

Pembelajaran daring memang menjadi dilema bagi guru dan siswa. Di satu sisi, proses pembelajaran harus berjalan. Dan, di sisi lain, pelbagai problematika mengiringi proses pelaksanaannya. Song, dkk. (2004) menyatakan bahwa kesulitan-kesulitan (problems) yang muncul dalam pembelajaran daring adalah suatu tantangan (challenge).Oleh karena itu, seluruh stakeholders seperti pemangku kebijakan (Kemendikbud), kepala sekolah, guru, orangtua, dan siswa harus saling bekerja sama untuk mensuksekan pelaksanaan pembelajaran daring. Alternatif solusi untuk mengatasi tersebut harus diberikan dan disepakati untuk dilaksanakan secara bersama-sama.

Alternatif Solusi

Pembelajaran daring dalam masa pandemi Covid-19 seperti saat ini adalah suatu keniscayaan. Dengan dalih untuk mengurangi kerumuman massa dan menegakkan aturan menjaga jarak sosial (social distancing), pembelajaran daring menjadi pilihan. Problematika yang muncul dalam pelaksanaannya seperti yang disebutkan di depan tentu tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Perlu langkah-langkah strategis dan bijak yang diambil oleh seluruh stakeholders untuk melaksanakan kebijakan ini.

Pertama, guru perlu belajar untuk terus mengasah kemampuan dan kreativitasnya dalam menyajikan konten pelajaran yang bermutu dan memikat daya tarik serta memberikan pemahaman bagi siswa. Tidak harus dengan membeli buku atau kursus dengan biaya yang mahal, guru dapat belajar dari konten-konten menarik yang disajikan dan bertebaran di media daring, seperti youtube, grup facebook, grup WhatsApp, atau media yang lain tentang bagaimana mengkreasi konten materi pelajaran dan memanfaatkan media daring dalam pembelajaran. Saat ini, Kemendikbud juga sudah meluncurkan suatu platform Guru Berbagi di mana guru-guru di Indonesia dapat saling berbagi pengalaman tentang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran daring.

Kedua, pekerjaan rumah dan penugasan sebisa mungkin tidak membebani siswa sehingga tidak mengganggu kesehatan fisik dan psikis siswa. Perlu dicatat, bahwa siswa kita tidak hanya mengerjakan satu tugas dari satu mata pelajaran, tetapi juga banyak mengerjakan pekerjaan rumah dan penugasan mata pelajaran yang lain. Jangan sampai di masa pandemik ini, siswa dibuat tertekan dan kelelahan akibat banyak mengerjakan tugas yang diberikan gurunya. Sehingga berdampak negatif pada kondisi fisik dan psikisnya. Maka dari itu, pihak kepala sekolah selayaknya dapat berperan untuk memonitor dan mengevaluasi tugas guru selama pelaksanaan pembelajaran daring untuk tidak membebani siswa dengan tugas yang berlebihan.

Ketiga, orangtua harus mengalokasikan kesediaan waktu untuk mendampingi putra-putrinya selama belajar di rumah. Keterbatasan yang ada, misalnya ketidakpahaman materi pelajaran yang ditanyakan oleh putra-putrinya, seharusnya tidak menjadi masalah. Orangtua dapat membuka dan mempelajari kembali materi yang “mungkin” dulu pernah dipelajarinya menggunakan fasilitas lewat portal tertentu yang menyediakan konten pelajaran terkait misalnya, atau media yang lain. Pendampingan orangtua pada putra-putrinya sangat diperlukan, agar mereka dapat lebih termotivasi dalam belajar sekaligus merasa diperhatikan oleh orangtuanya.

Keempat, siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran daring karena tidak punya gawai atau signal yang tidak stabil, perlu solusi yang bijak agar mempunyai hak yang sama untuk belajar seperti teman-temannya yang lain dengan kekhususan. Pihak sekolah atau guru dapat memberikan akses fasilitas misalnya dengan memberikan/meminjamkan gawai atau media yang lain dari sekolah (jika tersedia dan jumlahnya mencukupi), atau mendatangi rumah mereka sekali tempo waktu dengan memberikan buku aktivitas terkait materi pelajaran yang ada di sekolah, atau usaha lainnya yang dapat memberikan fasilitas belajar bagi siswa. Sebenarnya hal ini sudah diantisipasi dalam SE Mendikbud yang disebutkan di atas, bahwa guru dapat memberikan aktivitas dan tugas pembelajaran belajar dari rumah yang bervariasi sesuai dengan minat dan kondisi masing-masing siswa.

Kelima, bagi siswa yang terkendala dengan pulsa (kuota) data yang mahal, maka pihak sekolah dapat memfasilitasinya dengan skema pemberian pulsa dari dana subsidi tertentu. Untuk pembelajaran daring di masa wabah Covid-19 ini, sebenarnya Mendikbud Nadiem Makarim sudah memberikan opsi kepada sekolah membelajakan dana BOS (bantuan operasional sekolah) untuk keperluan pembelian pulsa kuota internet bagi guru dan siswa. Dalam pelaksanaannya nanti, akan diperkuat dengan Permendikbud yang mengatur tentang pemanfaatan dana BOS tersebut.

Pelbagai alternatif di atas selayaknya bisa dijadikan inspirasi dan masukan berharga untuk kita semua, terutama sekolah, guru, orangtua dan pemangku kebijakan. Dilema yang terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran daring tidak terus menurus menjadi hambatan untuk mensukseskan kebijakan belajar dari rumah. Tugas guru untuk mencerdaskan siswa-siswa tetap ditunaikan meski tidak dapat bersua secara langsung. Dengan demikian, siswa-siswa di Indonesia tetap memperoleh haknya untuk belajar dan mengasah kemampuan dalam berpikir, bertutur, dan bertindak di tengah adanya pendemi Covid-19 ini. Semoga pandemi ini cepat berakhir dan berlalu. Dan, kita diberikan kesehatan lahir dan batin. Semoga. (Abdul Aziz Saefudin MPd, Dosen Program Studi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Yogyakarta (UPY) dan Mahasiswa Pascasarjana S3 Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta)