Opini  

NgD SDISK Sultan HB II Dua Kali Dilengserkan, Tiga Kali Naik Tahta

BERNASNEWS.COM – Kekhkawatiran Sultan Hamengku Buwono (HB) I atau Sultan Mangkubumi terhadap stabilitas politik pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pasca kepemimpinannya, terbukti. Sebelum wafat, raja yang juga dikenal dengan sebutan Sinuwun Swarga itu sempat mengumpulkan putra dan putrinya, serta semua pejabat tinggi kerajaan. Mereka diminta menyatakan sumpah setia mendukung kepemimpinan putra mahkota Gusti Raden Mas (GRM) Sundoro.

Setelah bertakhta dan kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono II, masa pemerintahan Sundoro diwarnai instabilitas politik berkepanjangan. Raja muda ini terlibat serangkaian konflik politik dengan sejumlah elite kerajaan. Di antaranya dengan saudara tirinya, Pangeran Notokusumo, pepatih dalem Danoeredjo II dan pejabat kerajaan lainnya. Bahkan dengan putranya sendiri, GRM Surojo juga berseberangan politik dengan ayahanda .

Guru-guru yang tergabung dalam MGMP Sejarah SMA se-Kabupaten Sleman saat berada di situs Pesanggrahan Wonocatur/Gua Siluman bersama BPCB DIY dipimpin dan dikoordinir oleh Dra Chatarina Etty SH MPd M.Si dan Drs Sigit Susilo, Rabu (11/12/2019). Foto : Rina Katarina

GRM Surojo yang lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedaton itu tidak cukup disenangi oleh HB II. Hubungan ayah dengan anak itu boleh dibilang buruk. Rasa cinta raja justru lebih tercurah pada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Mangkudiningrat. Dia merupakan putra HB II yang lahir dari permaisuri GKR Hemas.

GKR Hemas ini merupakan cucu Susuhunan Paku Buwono II, raja Kerajaan Mataram terakhir sebelum pecah menjadi dua Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Ibunda Ratu Hemas ini adalah GKR Alit, putri sulung Paku Buwono II.

Kecintaan Sultan HB II terhadap KGPA Mangkudiningrat ini terlukis dalam buku Kuasa Ramalan karya Peter Carey. KGPA.Mangkudiningrat inilah yang disebut-sebut dihendaki Sultan HB II menjadi calon penggantinya dibandingkan GRM Surojo.

KGPA Mangkudiningrat ini menjadi Pangeran yang setia mendampingi sultan kelak saat dibuang pemerintah Inggris ke Penang dan Ambon. Makam Mangkudiningrat juga bersebelahan dengan nisan Sultan HB II di makam Astana Kotagede. Sultan HB II satu-satunya raja Ngayogyakarta yang jazadnya tidak dikebumikan di makam Imogiri karena tidak mau berdekatan dengan makam Sultan HB III puteranya yangmeninggal lebih dahulu yang dianggap berkianat pada beliau

Rina Katarina (kiri) bersama rekannya di situs Pesanggrahan Wonocatur/Gua Siluman, Rabu (11/12/2019). Foto : Istimewa

Buruknya hubungan antara Sultan HB II dengan GRM Surojo itu mencapai puncaknya saat Sultan terlibat konflik dengan Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels pada 1810. Kala itu, Sultan HB II menolak aturan-aturan yang diterapkan Daendels, terutama menyangkut protokoler raja-raja Jawa terhadap minister atau residen di zaman kekuasan Daendels. Raja yang dikenal punya sikap keras ini menolak aturan tersebut. Dia beralasan aturan tersebut merendahkan kewibawaannya sebagai raja.

Ketegangan itu berdampak terjadinya kegaduhan. Apalagi sultan juga memecat pepatih dalem Kanjeng Pangeran Adipati Aryo (KPAA) Danoeredjo II, cucu dari Patih Danoeredjo I. Meski Danoeredjo merupakan pilihan langsung HB II, dalam perkembangannya Danoeredjo lebih pro terhadap Daendels ketimbang kepada sultan yang mengangkatnya. Danoeredjo II kemudian dipocot (dipecat) dari kalenggahan (kedudukan) sebagai pepatih dalem oleh Sultan HB II.

Posisi patih kemudian digantikan menantu Sultan, yakni Raden Tumenggung (RT) Natadiningrat, putra Pangeran Notokusumo, saudara Sultan yang lahir dari lain ibu/dari salah satu satu Garwo Ampeyan Sultan HB I, Notokusumo ini kelak bergelar Paku Alam I.

Kegaduhan lain muncul gara-gara Sultan HB II dituduh merestui pemberontakan Raden Rangga Prawiradirdja III, bupati wedana Madiun. Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Rangga itu. Daendels mencurigai HB II ikut terlibat dalam makar tersebut.

Apalagi dari surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga, ditemukan cap berlogo kasultanan. Ini menyebabkan konflik antara HB II dengan Daendels semakin terbuka. Menghadapi serangan itu, sultan menolak tuduhan tersebut. Alasannya, cap kesultanan sehari-hari berada di kepatihan bukan di kasultanan.

Di pihak lain, saat hubungan Sultan HB II dengan Belanda tak akur, muncul koalisi politik di dalam keraton. Yakni Patih Danoredjo II dengan GRM.Surojo yang disokong ibundanya GKR Kedaton, salah satu permaisuri HB II. GKR Kedaton inilah yang mendorong Patih Danoredjo agar mengadakan lobi-lobi politik dengan Belanda agar GRM.Surojo, putra nya secepatnya dinobatkan sebagai raja/Sultan.

Konflik politik keluarga kerajaan itu rupanya dibaca oleh Daendels. Gubernur Jenderal Belanda pertama pasca kebangkutan VOC akibat korupsi itu memutuskan menyerbu Keraton Ngayogyakarta pada Desember 1810. Kali ini, gantian Sultan HB II yang harus dipocot dari kedudukannya sebagai Sultan. Untuk pertama kali dalam sejarah Dinasti Mataram, seorang raja dipaksa lengser di tengah jalan. Daendels kemudian mengukuhkan GRM Surojo sebagai Sultan Hamengku Buwono III.

Obsesi ibundanya agar sang putra naik takhta akhirnya terealisasi. Bertepatan dengan itu, Patih Danoeredjo II dikembalikan pada kedudukannya sebagai patih. RT Natadiningrat dan Pangeran Notokusumo ditangkap dan dibuang ke Cirebon, Surabaya, dan Semarang.

Kendati SultanHB II sudah dilengserkan, raja yang terkenal dengan sebutan Sinuwun Sepuh itu tetap bermukim di dalam kedaton namun dia tinggal di luar keraton. Dengan demikian, pada tahun 1810 itu ada dua raja yang ada di Keraton Jogja. Yakni SultanHB II, dan anaknya yang bergelar Sultan HB III.

Kondisi itu membuat situasi politik di keraton mengalami gonjang-ganjing. Setahun kemudian, tahun 1811, Pemerintah Belanda yang ada di bawah kekuasaan Kekaisaran Prancis takluk dengan Kerajaan Inggris. Wilayah nusantara termasuk pecahan Mataram, Surakarta, dan Jogjakarta jatuh ke Inggris.

Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raflles mengambil sikap politik berbeda dengan Belanda. Sultan HB II dikembalikan pada kedudukannya sebagai raja. RT Natadiningrat dan ayahnya Pangeran Notokusumo dibebaskan dari pengasingan. Sebaliknya, Sultan HB III harus kembali pada posisi sebagai pangeran biasa. Praktis takhta Sultan HB III ini hanya berlangsung sekitar setahun. Untuk kali kedua Sultan HB II naik takhta sebagai Sultan.

Memasuki 1812, Sultan HB II kembali berkuasa. Namun lagi-lagi bulan madu politik antara Sultan HB II dengan Inggris tak berlangsung lama. Hubungan keduanya kembali memanas. Raflles memutuskan menyerbu istana Sultan HB II karena dianggap membangkang.

Pasukan Inggris didukung tentara Sepoy dari India plus Legiun Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta membuat benteng pertahanan Sultan HB II jatuh. Mudahnya Inggris menyerbu keraton itu berkat adanya informasi yang diberikan Pangeran Notokusumo.

Kompensasi dari peran itu, Notokusumo kemudian diangkat menjadi Pangeran mardiko (merdeka) dan tanah seluas 4.000 cacah. Notokusumo kemudian naik takhta sebagai KGPAA Paku Alam I berdasarkan politik kontrak dengan Inggris 17 Maret 1813.

Sebelumnya pada 28 Juni 1812,GRM.Surojo untuk kali kedua dinobatkan menjadi Sultan HB III. Penobatan pertama oleh Daendels (Belanda) dan kedua dilakukan Raffles dari Inggris. Nasib Sultan HB II kemudian dibuang ke Penang sebelum akhirnya dipindahkan ke Ternate, Maluku Utara.

Sultan HB III yang tak lain ayahanda Pangeran Diponegoro tak lama bertakhta. Dua tahun setelah berkuasa, dia meninggal tahun 1814. Penggantinya HB IV jumeneng atau naik takhta saat usianya masih belia sehingga dibentuk Dewan Perwalian. HB IV atau GRM Ibnu Djarot menggantikan ayahnya ketika umurnya baru 9 tahun. Kekuasaan juga tak lama karena wafat dalam usia relatif sangat muda 19 tahun. Lagi-lagi, raja kelima atau Sultan HB V, penerus takhta Sultan HB IV dikukuhkan pada 1822 ketika usianya baru 3 tahun. Namanya GRM Gatot Menol. Usia 3 tahun ini bila zaman sekarang masih kategori pendidikan anak usia dini (PAUD). Sama seperti saat ayahnya naik takhta, era Sultan HB V Belanda kembali membentuk Dewan Perwalian.

Tiga tahun setelah Sinuwun Gatot Menol dinobatkan, pecah perang Diponegoro atau perang Jawa. Sultan HB II yang berada di pengasingan di Ambon oleh Belanda dibebaskan. Untuk ketiga kalinya Sultan HB II dinobatkan sebagai raja, menggeser posisi cucu buyutnya Sultan HB V. Penobatan dilakukan dalam upacara besar-besaran di Istana Bogor 1826. Tujuan penobatan Sultan HB II ini dalam rangka meredam perang Diponegoro. Sejarah kembali terulang. Keraton Jogja punya dua raja. Sultan HB II dan Sultan HB V. Ini mengulang konflik politik Sultan HB II melawan putranya SulranHB III.

Takhta ketiga Sultan HB II tak berlangsung lama. Beliau wafat dua tahun sebelum perang Jawa berakhir. Sinuwun Sepuh ini meninggal pada 1828 dalam usia 77 tahun. Dia dimakamkan di Pesarean nDalem Astana Kitho Ageng Kotagede Ngayogyakarta Takhta HB II berlangsung tiga kali 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828. ((Sumber: Melacak Jejak Suksesi Raja Jogja/Rina Katarina)