Opini  

Layakkah Kita Merayakan Paskah di Tengah Keterbatasan?

Yohanes Sudarna, S.Pd, M.M, Guru SMP Marsudirini Maria Goretti Semarang. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Dalam satu pekan ini umat Katolik dan gereja – gereja tampak melakukan kegiatan keagamaan yang cukup padat baik yang bersifat liturgis, rohani, maupun sosial. Berbagai persiapan perayaan terasa sangat berbeda dari hari – hari biasa, seluruh umat katolik terlibat dalam berbagai kegiatan mempersiapkan diri secara lahir dan batin untuk merayakan Hari Raya Paskah.

Persiapan merayakan Hari  Raya Paskah terbagi menjadi dua tahapan yaitu Masa Prapaskah selama 40 hari dan Pekan Suci. Secara khusus umat katolik yang menjadi petugas liturgi misalnya koor, lektor, misdinar, pemasmur, prodiakon, atau petugas lain  jauh – jauh hari melakukan latihan, gladi bersih, dan puncaknya adalah melaksanakan tugas dalam peribadatan.

Gereja juga melakukan persiapan dengan mengatur dekorasi gereja maupun persiapan   sarana prasarana penunjang  agar jalannnya peribadatan bisa berjalan dengan lancar. Begitu pula  dengan  para Imam beserta para petugas pastoral lainnya melakukan berbagai kegiatan yang sangat sentral dalam menyambut perayaan paskah dengan memimpin, membimbing, dan mempersiapkan umat secara rohani maupun liturgis.

Masa Prapaskah (40 Hari Prapaskah)

Masa Prapaskah dimulai pada Rabu Abu dilanjutkan dengan rangakain kegiatan renungan APP (Aksi Puasa Pembangunan), doa dan ibadat jalan salib, dan pengakuan dosa (Sakramen Tobat), bisa juga dilakukan kegiatan  retret atau rekoleksi bagi kelompok – kelompok tertentu.  Masa Prapaskah dimulai dengan melakunan misa atau ibadat Rabu Abu untuk penerimaan abu.

Makna  penerimaan abu bagi umat katolik yang pertama adalah Tanda Pertobatan, abu melambangkan kerendahan hati dan pengakuan akan dosa. Kita diingatkan akan seruan “Ingatlah, engkau debu dan akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:19) dan  “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Markus 1:15).

Kedua seruan itu mengingatkan kita akan kefanaan hidup dan pentingnya kembali kepada Tuhan. Makna penerimaan abu yang kedua adalah  Simbol Kesediaan untuk Memulai Hidup Baru, abu adalah lambang dari sesuatu yang telah dibakar dan dimurnikan. Umat diajak untuk membakar dosa dan keduniawian, lalu memulai perjalanan pemurnian diri selama 40 hari.

Makna yang ketiga adalah Penanda Awal Masa Prapaskah, Rabu Abu membuka masa tobat selama empat puluh hari, meneladani Yesus yang berpuasa di padang gurun, Umat dipanggil untuk  berdoa lebih sungguh, berpuasa dan berpantang, serta beramal kasih (APP). Dan makna yang keempat Ungkapan Iman dan Kesetiaan kepada Kristus,  dengan menerima abu  umat menyatakan secara lahir bahwa mereka adalah pengikut Kristus yang siap untuk bertobat dan memperbaharui hidup.

Masa Prapaskah juga ditandai dengan kegitan puasa dan pantang, Aturan mengenai puasa dan pantang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (1249–1253), menetapkan kewajiban umat beriman untuk melakukan tobat melalui puasa dan pantang pada waktu-waktu tertentu. Puasa wajib dilakukan pada hari Rabu Abu sebagai tanggal  mengawali masa prapaskah dan Jumat Agung merupakan tanggal memperingati sengsara dan wafat Yesus Kristus, puasa  yang dilakuan merupakan bentuk pertobatan dan pengendalian diri yang dijalankan umat sebagai persiapan rohani.

Ketentuan umum puasa adalah makan kenyang satu kali dalam sehari, dengan dua kali makan ringan yang jika digabung tidak melebihi satu kali makan kenyang. Sedangkan pantang dilaksanakan setiap hari Jumat selama masa prapaskah. Aturan pantang adalah menghindari konsumsi makanan atau kebiasaan tertentu sebagai bentuk pengendalian diri.

Pantang bisa dilakukan dengan cara:  pantang makanan tertentu, seperti daging, gula, garam, makanan mewah, atau makanan favorit; pantang kebiasaan tertentu, seperti merokok, minuman beralkohol, atau hiburan berlebihan; dan pantang sikap negatif, seperti berkata kasar, bergosip, atau marah.

Di era budaya neoliberalisme ini godaan untuk melaksanakan puasa dan pantang bagi sebagian umat sangat berat. Budaya konsumenrisme, materialisme, dan budaya instan sulit terhindari jika tidak didasari oleh niat yang murni dan teguh. Dalam kegiatan renungan APP  yang dilaksanakan di lingkungan, sharing yang disampaikan umat untuk melaksanakan pantang terhadap kebiasan tertentu. Misalnya kebiasaan merokok,  melihat hiburan terutama melalui HP, maupun sikap negatif  marah, egois, malas, iri, atau sombong, serta mengkonsumsi makanan tertentu atau makanan cepat saji melalui “go food” sulit dihindari.

Sebagai bahan refleksi bersama bagi kita, puasa dan pantang bukan sekadar menahan diri dari makan atau kebiasaan tertentu, tetapi  apakah kegiatan puasa dan pantang kita telah mampu mendekatkan diri kepada Tuhan melalui doa dan pertobatan., mengendalikan hawa nafsu dan keinginan duniawi, dan menumbuhkan solidaritas dengan mereka yang menderita (KLMTD).

Kegiatan masa prapaskah yang lain adalah ibadat jalan salib serta pengakuan dosa (sakramen tobat). Menurut Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi nomor 134 menyatakan Jalan Salib adalah devosi yang terkait dengan sengsara Kristus. Namun harus diakhiri sedemikian rupa sehingga kaum beriman berada dalam harapan akan kebangkitan dalam iman dan pengharapan.

Ibadat jalan salib biasanya dilaksanakan setiap hari Jumat selama masa prapaskah, terutama pada Jumat Agung, sebagai bentuk partisipasi umat dalam mengenang sengsara dan wafat Kristus. Melalui ibadat ini, umat diajak untuk memperdalam iman, memperkuat harapan, dan memperbaharui kasih dalam kehidupan.  Sedangkan pengakuan dosa menurut Kitab Hukum Kanonik (989) menetapkan bahwa setiap umat Katolik yang telah mencapai usia akal budi wajib mengakukan dosa beratnya setidaknya sekali dalam setahun.

Sakramen Tobat bukan sekadar penghapusan dosa, tetapi juga menghasilkan buah – buah yaitu pemulihan  hubungan dengan Allah maupun manusia, Gereja, dan membantu umat dalam perjalanan pertobatan dan pembaruan hidup.(​jurnalsttn.ac.id).

Namun dalam  praktiknya umat katolik sering menghadapi berbagai hambatan yang dapat menghalangi mereka untuk mengaku dosa secara teratur misalnya rasa malu dan takut, kurangnya pemahaman tentang sakramen tobat, ketidaknyamanan, ketidaktahuan tentang prosedur, atau meremehkan dosa.

Pekan Suci – Tri Hari Suci

Perayaan pekan suci diawali dengan  Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci (Vigili Paskah), dan Hari Raya Paskah.  Minggu Palma diperingati pada hari Minggu sebelum Paskah untuk mengenang peristiwa Yesus memasuki Yerusalem dengan dielu-elukan oleh orang banyak yang melambai-lambaikan daun palma.

Makna perayaan Minggu Palma adalah Simbol Kemenangan dan Kerendahan Hati, daun palma melambangkan kemenangan Yesus atas maut, sekaligus mengingatkan umat akan kerendahan hati-Nya yang memilih jalan salib demi keselamatan manusia.

Perayaan  Kamis Putih untuk mengenang Perjamuan Terakhir Yesus bersama para murid-Nya. Makna perayaan Kamis Putih adalah: Institusi Sakramen Ekaristi, Yesus mempersembahkan roti dan anggur sebagai tubuh dan darah-Nya, menjadi dasar perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik; Teladan Pelayanan, pembasuhan kaki para murid oleh Yesus mengajarkan umat tentang kerendahan hati dan pelayanan tanpa syarat; Awal Triduum Suci, menandai dimulainya Triduum Suci, tiga hari suci yang puncaknya adalah perayaan Paskah.

Inti dari Tri Hari Suci dalam Gereja Katolik adalah Perayaan Jumat Agung, Vigili Paskah, dan Hari Raya Paskah. Dalam perayaan ini   umat diajak untuk merenungkan misteri sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus.  Jumat Agung diperingati pada hari Jumat sebelum Paskah, mengenang penyaliban dan wafat Yesus Kristus di Bukit Golgota.

Makna dari perayaan Jumat Agung adalah Pengorbanan Kristus, Yesus rela disalibkan untuk menebus dosa umat manusia, sebagai wujud kasih Allah yang tak terbatas dan Hari Berkabung dan Refleksi,  umat diajak untuk merenungkan penderitaan Kristus dan menyadari dampak dosa dalam kehidupan. Dalam perayaan ini umat diajak untuk penghormatan salib sebagai simbol kemenangan Kristus atas dosa dan kematian.

Vigili Paskah atau Malam Paskah dirayakan pada malam Sabtu Suci, sebagai perayaan resmi pertama untuk kebangkitan Yesus. Makna dari perayaan Vigili Paskah adalah merayakan Kebangkitan Kristus, menandai transisi dari kematian menuju kehidupan, dasar iman Kristiani dan memperoleh Harapan dan Pembaruan, umat diajak untuk memperbarui iman dan harapan dalam Kristus yang bangkit.

Inti liturgi perayaan paskah adalah: Upacara Cahaya, pemberkatan api baru dan penyalaan Lilin Paskah sebagai simbol Kristus terang dunia; Liturgi Sabda, pembacaan kisah keselamatan dari Perjanjian Lama hingga kebangkitan Kristus;  Liturgi Pembaptisan, pembaptisan katekumen dewasa dan pembaruan janji baptis oleh umat;  dan Liturgi Ekaristi sebagai puncak sukacita atas kebangkitan Kristus.​

Puncak perayaan pekan suci adalah Hari Raya  Paskah yang dirayakan pada hari Minggu setelah Vigili Paskah untuk  memperingati kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Makna utama perayaan Hari Raya Paskah adalah Kemenangan atas Dosa dan Kematian.

Kebangkitan Kristus menunjukkan bahwa maut telah dikalahkan, memberikan harapan akan kehidupan kekal bagi umat yang percaya dan  Puncak Iman Kristiani, peristiwa kebangkitan menjadi dasar utama iman dan pewartaan Gereja. ​Dalam tradisi liturgi perayaan Ekaristi Paskah dilaksanakan dengan sukacita, penuh nyanyian dan dekorasi bunga sebagai simbol kehidupan baru.​

Sebagai akhir dari permenungan kita bersama adalah Layakkah kita merayakan Paskah di tengah keterbatasan? Dalam perjalanan iman menuju Paskah, kita diundang untuk menyucikan diri melalui pantang, puasa, dan perayaan Tri Hari Suci.

Namun, sering kali kita merasa belum sempurna dalam menjalani semuanya entah karena kesibukan, kelemahan pribadi, atau situasi yang membatasi partisipasi kita secara utuh. Apakah kita tetap layak merayakan Paskah? Paskah bukanlah hadiah bagi yang sempurna, melainkan rahmat bagi yang mau membuka hati. Tuhan tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kesungguhan.

Mungkin kita belum mampu berpantang secara total, atau tidak mengikuti seluruh rangkaian Tri Hari Suci. Namun, bila ada kerinduan yang tulus untuk bertobat, untuk mencintai lebih dalam, dan untuk hidup dalam terang kebangkitan, maka itulah makna sejati Paskah.

Layak atau tidak bukan ditentukan oleh seberapa sempurna kita menjalankan ritus, tapi oleh seberapa besar kita mau membuka diri pada kasih dan pengampunan Tuhan. Paskah adalah undangan untuk bangkit bersama Kristus, walau dengan segala keterbatasan kita. “Selamat merayakah Hari Raya Paskah, Tuhan Yesus memberkati. Amin”. (Yohanes Sudarna, S.Pd, M.M, Guru SMP Marsudirini Maria Goretti Semarang)