Kepala KPwBI DIY: Outlook Perekonomian DIY 2025

Kepala KPwBI DIY Ibrahim (Kiri nomor 2) beserta narasumber diskusi yang lain dan moderator. (Foto: Istimewa)

bernasnews — Perekonomian DIY diprakirakan tetap kuat dengan berada pada kisaran 4,8%-5,6% pada tahun 2024 dan kisaran 4,7% – 5,5% pada tahun 2025 (year on year-yoy). Sejalan dengan perekonomian nasional, pertumbuhan ekonomi DIY didorong oleh masih kuatnya permintaan domestik disertai kunjungan wisawatan.

Namun, demikian terdapat beberapa potensi risiko yang perlu diwaspadai lantaran memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi DIY. Hal itu dikemukakan oleh Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY (KPwBI DIY) Ibrahim, dalam Forum Diskusi Ekonomi yang diselenggarakan oleh KPwBI DIY, yang didukung oleh ISEI Cabang Yogyakarta, KADIN DIY, BAPPERIDA DIY dan Bank BPD DIY, Selasa, 14 April 2025.

Dalam forum diskusi tersebut juga hadir selaku narasumber dan pembahas Santosa Rochmad, Dirut Bank BPD DIY; Imam Budidharma dan Sri Giyanti, dari BAPPERIDA DIY; Dian Aria Ani dan Y. Sri Susilo, dari KADIN DIY, serta Gumilang AS dan Rudy Badrudin, dari ISEI Cabang Yogyakarta). Bertindal selaku moderator Ronny Sugiantoro, Humas ISEI Cabang Yogyakarta.

Dalam diskusi tersebut, Ibrahim mengatakan, bahwa ada faktor pendorong dan faktor penahan pertumbuhan ekonomi DIY pada tahun 2025. Faktor pendorong termaksud adalah: (1) Aktivitas domestik yang masih terjaga seiring dengan konsumsi Masyarakatyang masih tetap kuat disertai dengan kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5%. (2) Penguatan interkoneksi antarwilayah Jogja, Solo, Semarang (Joglo-Semar).

“Hal ini dapat mempermudah dalam distribusi barang dan jasa ke dan dari DIY. Selain itu, potensi peningkatan wisatwan juga semakin besar. (3) Permintaan ekspor dari negara mitra dagang utama yang meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi,” imbuhnya.

Selanjutnya, terang Ibrahim, faktor penahan adalah: (1) Biaya bahan baku dan energi yang diprakirakan masih tinggi seiring dengan ketidakpastian geopolitik. (2) Daya saing investasi DIY yang belum optimal dan masih terpusat pada lapangan usaha tertentu. (3)  Potensi risiko kenaikan harga barang dan jasa akibat inflasi dan disrupsi rantai pasok global seiring dengan kebijakan negara mitra dagang utama  (Amerika Serikat).

“Sepanjang tahun 2024, DIY mengalami deflasi bulanan sebanyak lima kali, yakni pada bulan Januari, Mei, Juni, Juli, dan September,” ungkap dia. Kemudian Ibrahim menjelaskan menurut disagregasinya, deflasi terutama didorong oleh kelompok volatile food yang mencatatkan 7 kali deflasi sepanjang tahun 2024 dan administered price yang mengalami deflasi sebanyak 4 kali.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY (KPw BI DIY) Ibrahim. (Foto: Istimewa)

Bagaimana dengan outlook Inflasi DIY? Tekanan inflasi DIY tahun 2024 dan 2025 diprakirakan lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2023, dengan prasyarat kecukupan bahan pangan pokok strategis. Menurut Ibrahim, sinergi kebijakan yang lebih kuat antara pemerintah baik pusat dan daerah, serta Bank Indonesia melalui implementasi GNPIP dan optimalisasi pemanfaatan anggaran pemerintah untuk pengendalian inflasi pangan, diharapkan dapat mengarahkan inflasi dalam sasaran inflasi 2,5±1%.

“Terdapat faktor penahan dan pemicu inflasi DIY pada tahun 2025,” tegas Ibrahim, yang mempunyai hobby bersepada.

Faktor penahan termaksud: (1) Diversifikasi alternatif moda transportasi seiring beroperasinya Jalan Tol Jogja – Bawen dan Jogja – Solo – YIA yang ditargetkan selesai pada tahun 2025 sehingga menahan tekanan permintaan angkutan udara lebih tinggi. (2)  Prakiraan inflasi pangan yang lebih terkendali seiring cuaca yang lebih kondusif (menuju netral di tahun 2025). (3) Indikasi daya beli masyarakat terhadap barang sekunder maupun tersier yang lebih rendah sehingga menahan inflasi inti.

“Berikutnya untuk faktor pemicu inflasi DIY 2025 adalah: (1) Berlanjutnya kondisi ketidakpastian global yang berdampak pada tingginya potensi imported inflation. (2) Penyesuaian harga jual industri barang-barang pokok di mana pada tahun sebelumnya, pelaku usaha masih menahan kenaikan harga. (3) Kenaikan harga BBM seiring volatilitas harga minyak dunia dan kondisi defisit APBN berlebih,” ujar Ibrahim. (*/ ted)