bernasnews — Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, mengakibatkan penyerapan budaya lain pada tatanan sosial masyarakat Indonesia menjadi relatif mudah masuk. Proses globalisasi tentu sangat berperan aktif dalam penyerapan budaya – budaya Barat ke Indonesia diantaranya budaya konsumerisme.
Menurut Baudrillard (1989), kultur modern (Barat) kini telah mempresing budaya konsumerisme dan konsumsi tak terkecuali di Indonesia menjadi tak terbendung. Perilaku konsumtif dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme, yang menempatkan konsumsi sebagai titik pusat kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa. Bagaimana pun kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realita sosial, budaya bahkan politik (Kellner, 1994: 3).
Kehidupan masyarakat pada umumnya dikendalikan oleh kebiasaan yang tidak mendidik seperti menghambur-hamburkan harta, kerakusan dan kesia-siaan dalam segala sesuatu yang dikonsumsi demi kepuasan semata. Ambisi, kemewahan dan kebanggaan telah membuat masyarakat selalu terdorong untuk berperilaku konsumtif, terlebih pada momen keagamaan yang terjadi setiap tahun seperti menjelang hari raya Idul Fitri 1445 H ini atau momen Natal. Hal menarik ada “benturan nilai “ yaitu bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah, sekaligus menjadi kesempatan untuk memperbanyak amal dan ibadah__disisi lain harus berhadapan dengan fenomena konsumerisme itu.
Fenomena yang nampak bahwa budaya konsumtif dimulai sejak bulan Ramadan dan semakin menjadi-jadi menjelang hari raya Idul Fitri mendatang. Pada fenomena ini, sebagian besar masyarakat bergolongan ekonomi mapan seolah terus berlomba-lomba untuk memenuhi keinginannya secara berlebih-lebihan tanpa mementingkan nilai kegunaannya.
Membeli kebutuhan sandang seperti pakaian, alas kaki dan penutup kepala secara rakus dan menghambur-hamburkan harta demi barang-barang baru diluar kebutuhannya di hari raya. Sehingga esensi bulan Ramadhan, yang seharusnya memperbanyak ibadah dan amal nyaris nol besar; puasa hanya dimaknai sebatas menahan lapar dan haus saja. Bulan Ramadhan semestinya mendidik dan menyiapkan umat muslim menjadi pribadi yang sederhana dan bisa menahan diri dari perilaku konsumtif.
Idul Fitri menurut Quraish Shihab memiliki makna yang berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri. Secara etimologis kata “idul fitri” bermakna kembali ke fitrah. Sedang fitrah yang sering diartikan suci sebenarnya bermakna ‘kejadian’. Alquran dan hadis Nabi saw. mengisyaratkan bahwa kata fithrah bermakna asal kejadian manusia yang sejak dilahirkan dibekali dengan berbagai potensi dasar seperti ruh, akal, penglihatan, pendengaran, insting, hati, nafsu, serta agama (Q.S. al-Rum [30]: 30).
Nabi Muhammad, SAW bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Semua potensi tersebut menjadi bekal berharga bagi manusia untuk menjalankan fungsinya di muka bumi ini baik sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah [2]: 30) maupun sebagai ‘abdullah (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56).
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang bagus setiap (kalian memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebihan, sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih – lebihan.” (al – A’raf : 31).
Memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan kehidupan dan menjalankan ibadah adalah hal yang di perintahkan. Akan tetapi, menghambur-hamburkan harta demi memenuhi sesuatu diluar kebutuhan adalah perilaku tabdzir, sia-sia (Imam az-Zajjaj Tabdzir, 2004).
Fenomena konsumerisme saat ini sudah terlanjur menjadi gaya hidup bagi masyarakat Indonesia. Apalagi ditambah dengan munculnya jor-joran iklan, promosi di media sosial yang menawarkan berbagai produk dengan menawarkan diskon secara besar-besaran, membuat masyarakat semakin berperilaku konsumtif, bahkan hedonis.
Analisa Gagasan Dasar Penciptaan: Era Post-Modern
Teori sosial post-modern hadir dari keyakinan bahwa era modern telah berakhir, dan kita sedang memasuki sebuah era historis yang sama sekali baru. Teori ini mengacu pada cara berpikir yang berbeda dengan teori sosial modern. Teori sosial modern mencari landasan universal dan rasional untuk menganalisa dan mengkritik masyarakat, sedangkan teori sosial postmodern berasumsi tidak ada hal yang sifatnya universal.
Sosiolog Fredic Jameson (1999:1-3), menjelaskan empat unsur dasar masyarakat postmodern yaitu kedangkalan, kepura-puraan, hilangnya sejarah dan munculnya teknologi baru. Berbeda dengan Jameson, sosiolog Jean Baudrillard memandang teori sosial postmodern sebagai sesuatu yang radikal. Bagi Baudrillard, masyarakat kini tidak lagi didominasi oleh produksi, melainkan oleh media dan model sibernetika. Alih-alih benda yang sifatnya material, media dan model sibernetika menghasilkan simbol, atau sesuatu yang sifatnya non-material yang mendominasi dunia saat ini.
Salah satu teori posmodernisme yang cukup berpengaruh adalah Consumer Society yang dicetuskan Jean Baudrillard (1998). Ia menaruh perhatian pada persoalan realitas yang baginya uang saat ini telah mampu berbicara lebih dari apapun, itu adalah gambaran (image) serta hiper-realitas. Kritik Baudrillard ini terutama bisa dilihat dari pengaruh media, khususnya media digital di mana berlangsung secara kontinyu proses diseminasi budaya secara global mulai dari gaya hidup (lifestyle), sampai perkembangan dunia fashion.
Dalam kaitannya dengan sosiologi, gagasan pemikiran Baudrillard lebih dihubungkan dengan problematik teori sosiologi konvensional dalam menganalisa masyarakat kontemporer khususnya masyarakat konsumer yang berarti masyarakat yang menciptakan nilai-nilai berlimpah-ruah melalui barang – barang konsumer, serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan.
D. A. Lyon mendefinisikan konsumerisme sebagai “a particular focusing of social and personal life on the processes of consuming”. Ini adalah suatu proses transaksi konsumtif individual maupun sosial yang melampaui kebutuhan primer. Sementara Kenneth R. Himes mendefinisikan konsumerisme dalam tiga acuan, yaitu sebagai gerakan sosial, sebagai ideologi, dan sebagai gaya hidup.
Lebih khusus lagi, Bartholomew menandai konsumerisme dengan tiga karakteristik, antara lain: pertama, nilai inti konsumerisme berakar pada konsumsi. Ia membedakan antara konsumerisme dan konsumsi untuk menunjukkan “understanding consumerism as the psycho-social impact of the consuming experience”. Kedua, konsumerisme memahami kebebasan bahwa setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk memilih apa keinginannya. Ketiga, budaya konsumerisme berazaskan “needs are unlimited and insatiable”.
Dalam berbagai penelitian konstruksi teorinya Baudrillard menyatakan, fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi nilai-tanda dan nilai-simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup di berbagai media. Apa yang masyarakat beli tidak lebih dari tanda-tanda yang ditanamkan ke dalam komoditi atau objek konsumsi.
Tema gaya hidup, status, selfie, prestise, kelas, dan kehormatan adalah makna-makna yang ditanamkan ke dalam komoditi atau objek konsumsi. Dengan demikian, objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, kelas, prestise dan identitas.
Religiusitas
Bagaimana dengan peran agama ? Nasution (1986) menyatakan, bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
Menurut Uyun (1998) agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku terpuji dan bertanggung jawab atas perbuatannya serta berusaha memperbaiki diri agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas. Hal ini perlu dibedakan dengan agama, karena konotasi agama biasanya mengacu pada kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman sedangkan religiusitas lebih pada aspek “lubuk hati”, akhlak dan personalisasi dari kelembagaan tersebut (Shadily, 1989).
Secara etimologis kuno, religi berasal dari bahasa Latin “religio” yang akar katanya adalah “re” dan “ligare” yang mempunyai arti mengikat kembali. Hal ini berarti dalam religi terdapat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dan mempunyai fungsi untuk mengikat diri seseorang dalam hubungannya dengan sesama, alam dan Tuhan. Ditambahkan oleh Spranger religiusitas adalah keyakinan dimana seseorang merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi, yang menaungi kehidupan dan hanya kepada-Nya bergantung dan berserah hati.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan bentuk hubungan manusia dengan Tuhan melalui ajaran agama yang dianutnya serta perilakunya mencerminkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan. Ananto menerangkan religius seseorang terwujud dalam berbagai bentuk dan dimensi, yakni, seseorang boleh jadi menempuh religiusitas dalam bentuk penerimaan ajaran-ajaran agama yang bersangkutan tanpa merasa perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi penganut agama tersebut. Boleh jadi individu bergabung dan menjadi anggota suatu kelompok keagamaan, tetapi sesungguhnya dirinya tidak menghayati ajaran agama tersebut.
Perspektif Islam tentang religiusitas dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah : (208) : “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh nyata bagimu” (Al-baqarah :208).
Islam menganjurkan umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu aspek saja melainkan harus dengan keseluruhan. Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus didasarkan pada Islam.
Kajian Empirik: Konsumerisme
Konsumsi merupakan kegiatan menghabiskan barang. Adanya kegiatan menghabiskan barang dikarenakan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan. Kebutuhan merupakan sesuatu yang relatif karena setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda. Jika berbicara tentang kegiatan konsumsi tentunya tidak terlepas dari apa yang dinamakan dengan kegiatan produksi. Kegiatan ini melibatkan banyak pihak yang saling bergantung satu dengan yang lainnya.
Produsen menghasilkan produk yang kemudian di konsumsi oleh konsumen. Seringkali aktivitas konsumsi menjadi berlebihan dilakukan oleh manusia dan pada akhirnya manusia terjebak dalam budaya konsumerisme. Penulis memandang konsumerisme sebagai bentuk keserakahan karena didalam konsumerisme manusia menganggap suatu keinginan menjadi kebutuhan, sehingga seseorang tidak akan pernah puas akan keinginannya.
Dalam konteks ini, potensi “pasarnya” luar biasa. Indonesia merupakan negara berpenduduk terbanyak di ASEAN, Indonesia merupakan pasar potensial untuk aliran masuk barang bagi negara lainnya di ASEAN. Sebagai pasar konsumen terbesar di ASEAN maka Indonesia akan sangat berpotensi untuk dibanjiri barang – barang konsumsi.
Menurut data dari The World Factbook milik Central Intelligence Agency (CIA) pada pertengahan 2022, jumlah penduduk di Indonesia yang sebanyak 275,77juta jiwa orang dengan wilayah seluas 1.919.440 kilometer persegi. Jumlah penduduk yang besar didukung oleh tingkat kelahiran yang tinggi yaitu 19 kelahiran/1000 jumlah penduduk, kurang lebih 1,175 % dengan tingkat kesuburan rata – rata 2 anak/wanita.
Perusahaan asing yang memasarkan produknya ke Indonesia menilai poin-poin diatas sebagai pertimbangan mereka untuk memasarkan produknya ke Indonesia. Membanjirnya barang-barang tersebut memang memiliki nilai posistif bagi konsumen, dalam hal ini akan semakin banyaknya alternatif pilihan barang yang dapat dikonsumsi.
Perilaku konsumtif ini sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat dalam kondisi ekonomi cukup mapan. Karena dorongan untuk melaklukan kegiatan konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan masyarakatnya, semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula tingkat konsumsi yang dilakukannya.
Pada era postmodern ini, pada dasarnya dalam masyarakat postmodern terdapat unsur kedangkalan dan kepura- puraan, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh sosiolog Fredic Jameson. Kedangkalan yang dimaksud penulis yakni, masyarakat sudah tidak peduli tentang apa yang dikonsumsinya berlebihan atau tidak, karena masyarakat yang mempunyai uang akan mengkonsumsi barang apapun sesuai keinginannya karena ia merasa mampu untuk membelinya. Kedua kepura-puraan yakni, masyarakat mengetahui bahwa mengkonsumsi secara berlebihan itu perilaku pemborosan, tetapi masyarakat tetap melakukan pemborosan tersebut.
Hari Raya Idul Fitri
Hakikat hari raya Idul Fitri adalah raihan religius seseorang yang beriman dan bertakwa setelah berjuang sebulan penuh dengan melakukan ibadah pada bulan Ramadhan. Jika ibadah selama bulan Ramadhan dilaksanakan dengan khusyu’ dan khidmat, maka seseorang akan menjadi pribadi bertaraf takwa. Perayaan idul fitri disimbolkan sebagai hari kemenangan umat muslim.
Menurut pengalaman penulis, perayaan ini justru dijadikan ajang untuk pamer kesuksesan dalam meraih prestasi duniawi yang jauh dari nilai kesederhanaan yang diharapkan dari pelaksanaan ibadah – ibadah pada bulan Ramadan. Disamping itu, kebiasaan membeli berbagai barang – barang baru juga sudah menjadi tradisi yang melekat pada masyarakat di hari raya tersebut, yang sebenarnya barang – barang baru tersebut diluar kebutuhan hidupnya.
Tradisi membeli barang baru (dalam sejarah) telah dimulai sejak tahun 1596 di Banten seperti diungkap buku “Sejarah Nasional Indonesia” karya Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di provinsi Banten. Agama Islam menjadi ruh kesultanan Banten, budaya masyarakat pun menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
Menjelang lebaran mayoritas penduduk muslim dibawah kerajaan Banten sibuk mempersiapkan baju baru. Masyarakat yang membeli hanya sedikit, mayoritas masyarakat menjahit baju untuk dipakai di hari raya, karena hanya kalangan kerajaan yang dapat membeli baju baru. Hingga hari ini tradisi membeli barang baru masih menjadi ritual rutin umat muslim menjelang lebaran, hal ini dikarenakan sudah lamanya tradisi tersebut berjalan, seakan sudah menjadi budaya melekat.
Aktivitas transaksi masyarakat Indonesia pada periode Ramadhan dan Idul Fitri setiap tahunnya terus meningkat, hal ini bisa dilihat dari laporan Bank Indonesia terkait uang kartal yang diedarkan (UYD). UYD dinyatakan selalu meningkat secara signifikan selama periode ramadhan setiap tahunnya, seperti pada grafik yang tercantum.
Kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital tetap kuat didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal. Pada Oktober 2023, nilai transaksi Uang Elektronik (UE) meningkat 17,67persen (yoy) sehingga mencapai Rp 41,71 triliun, sementara nilai transaksi digital banking tercatat Rp5.118,89 triliun atau tumbuh sebesar 15,57persen (yoy).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, Jumat (24/11/2023) lalu mengatakan, nominal transaksi QRIS tercatat tumbuh 186,08persen (yoy) dan mencapai Rp 24,97 triliun, dengan jumlah pengguna 43,44 juta dan jumlah merchant 29,63 juta yang sebagian besar merupakan UMKM. Bank Indonesia terus mendorong akselerasi digitalisasi sistem pembayaran dan perluasan kerja sama sistem pembayaran antarnegara guna mendorong inklusi ekonomi keuangan dan memperluas ekonomi dan keuangan digital.
Sementara itu, nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM, kartu debit, dan kartu kredit mencapai Rp664,87 triliun atau turun sebesar 3,53persen (yoy). Dari sisi pengelolaan uang Rupiah, jumlah Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) pada Oktober 2023 meningkat 5,73persen (yoy) sehingga menjadi Rp 957,74 triliun.
Jika diperhatikan fenomena konsumerisme pada Idul Fitri paling dirasakan saat malam takbiran menjelang hari raya tersebut. Penulis mengamati masyarakat yang berada di dalam pusat perbelanjaan mayoritas muslim, karena hampir semua restoran dipenuhi orang – orang yang akan berbuka puasa terakhir pada malam takbiran menjelang lebaran.
Setelah mereka berbuka puasa, lalu kegiatan selanjutnya adalah berbelanja, salah satu pusat perbelanjaan yang berada di selatan Jakarta itu mendadak menjadi lautan manusia. Semua konsumen berbondong – bondong menyambangi berbagai toko yang sekiranya menarik perhatiannya. Berbagai tawaran promo, diskon dan sangat cantiknya produk – produk di display dalam etalase kaca untuk menarik konsumen agar membeli dan menghabiskan uangnya, bahkan berhutang (menggunakan kartu kredit) demi memiliki barang yang diinginkan tanpa memperhatikan aspek kebutuhan dan keinginan.
Orang – orang tersebut tidak menempuh religiusitas secara penuh atau kurang mendalam menghayati ajaran agama yang dianutnya. Sejalan seperti yang diterangkan oleh Ananto, seseorang hanya bergabung dengan suatu kelompok keagamaan, tetapi tidak menerapkan ajaran agama tersebut dalam perilakunya sehari – hari.
Budaya konsumerisme telah merambah ke wilayah agama khususnya pada momen Idul Fitri. Simbol – simbol “agama” telah menjadi komoditas seakan perayaan tersebut terasa sangat komersial. Berbagai produk dikemas dengan embel – embel religiusitas. Simbol – simbol Ramadan dan Idul Fitri dihadirkan di berbagai sudut pertokoan agar tampak menarik, islami.
Idul Fitri memang merupakan perayaan besar, khususnya bagi orang – orang yang sudah melaksanakan tugas agama pada bulan Ramadan dan seharusnya menampilkan orang – orang yang berakhlak mulia dan bertakwa.
Pengaruh Media
Kemudahan bertransaski karena kemajuan teknologi sangat berperan penting dalam masuknya budaya konsumersime khususnya di Indonesia. Dari beberapa data yang ada terbukti, era postmodern dicirikan oleh masyarakat yang dangkal dan penuh kepura-puraan. Tingkat konsumtif masyarakat di Indonesia cukup tinggi, itulah salah satu alasan banyaknya produk asing masuk ke Indonesia. Masyarakat yang aktivitas utamanya adalah konsumsi, merupakan masyarakat kelas menengah keatas, karena aktivitas konsumsi dipengaruhi faktor pendapatan juga dipengaruhi oleh media sosial/massa.
Perayaan Idul Fitri akhirnya identik dengan konsumerisme karena mengacu pada teori Jean Baudrilard dapat ditemui bahwa dalam perayaan seperti idul fitri telah terjadi pergeseran nilai. Sejalan dengan teori tersebut, yaitu pergeseran aktivitas konsumsi dari nilai guna ke nilai simbol.
Konsep Penciptaan:Idul Fitri Sebagai Gejala Konsumerisme
Manusia dalam kehidupan membutuhkan berbagai macam hal untuk memenuhi kebutuhannya. Fenomena konsumerisme pada Idul Fitri sangat menarik perhatian karena kedua hal tersebut sangat bertolak belakang, konsumerisme suatu sifat yang hiperbolis atau berlebihan, sedangkan Idul Fitri merupakan hari suci yang sebelumnya melakukan ibadah di bulan Ramadan yang penih keprihatinan.
Tradisi membeli barang baru sudah menjadi ritual rutin setiap tahunnya menjelang Idul Fitri. Perilaku konsumtif ini menjadi kegiatan yang seragam pada umat muslim maupun non muslim. Sifat serakah dapat menimbulkan dampak sosial, yakni ketidakpedulian dan kesenjangan sosial.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan terhadap proses penciptaan dan studi kasus, maka terdapat kesimpulan sebagai berikut. Hari raya Idul Fitri adalah sebuah fenomena sosial mengenai gejala konsumerisme pada masyarakat. Konsumerisme sebagai keserakahan dan idul fitri sebagai budaya muslim.
Pada akhirnya keserakahan dapat menimbulkan dampak sosial lainnya, yakni ketidakpedulian dan kesenjangan sosial. Dimana dampak tersebut merupakan masalah yang sangat memprihatinkan. Ketika manusia serakah, secara tidak langsung manusia tersebut tidak peduli dengan sesama bahkan alam, dan ketika manusia tidak peduli, kesenjangan sosial pun tak bisa terelakan. (Adv. Dr. Sigit Handoko, S.H., M.H., CH., CHt , C.Me, Kaprodi Hukum Bisnis UPY)