BERNASNEWS.COM — Jelang hari raya kurban atau Idul Adha yang tinggal sebulan lagi dapat dipastikan harga hewan ternak untuk keperluan kurban, seperti lembu dan kambing atau domba harganya merangkak naik akibat dari naiknya permintaan oleh masyarakat, terutama pemeluk agama Islam untuk melaksanakan salah satu ritual ibadah.
Selain kenaikan harga hewan kurban, juga tidak heran banyak orang yang berlomba-lomba mencari keuntungan dalam bisnis ini dengan menjadi pedagang atau penjual “dadakan”, yang tentunya sangat jauh berbeda dalam pengelolaan hewan dibandingkan pedagang hewan yang merupakan profesi dan pekerjaan keseharian.

Salah satu pedagang hewan khususnya lembu atau sapi ini yang telah menjadi pekerjaan sehari-hari adalah Maryanto (45 tahun). Pemilik usaha jual beli sapi dengan nama “Pedhet Kembar”, berlokasi di Bandung Wetan, Desa Tambakrejo, Kapanewon Tempel, Kabupaten Sleman, DIY.
Maryanto atau sapaan akrabnya Yanto, mulai debut menjadi pedagang sapi sejak tahun 1995 sewaktu usia masih 18 tahun. Dapat dikatakan seperempat abad lebih, Yanto berkecimpung dalam dunia hewan ternak lembu atau sapi ini. Kepiawaian dalam bisnis sapi lataran keturunan dari sang bapak, kakek dan kakek buyutnya juga pedagang sapi.
“Keluarga besar memang pedagang sapi. Saya mendapatkan lembu atau sapi beli kulakan dari pasar hewan, di Prambanan, Gunungkidul dan Sragen. Untuk penjualannya di Muntilan, Jawa Tengah setiap pasaran hari Kliwon,” terang Maryanto saat ditemui Bernasnews.com, di kandang sapi miliknya di Sleman, Sabtu (19/6/2021).
Dikatakan, lembu yang ditampung dalam kandangnya sekitar 55 ekor, campuran dari berbagai jenis lembu, diantaranya jenis lembu Limousin, Simmental (Metal), Peranakan Onggole (PO) Benggala dan jenis dari Madura. Semuanya jenis sapi pedaging, yang disembelih untuk diambil dagingnya. Harga berkisar Rp 20 juta hingga Rp 25 juta per ekor.
“Jenis sapi pedaging atau potong karena perputaran uangnya
lebih cepat dibanding sapi untuk gerobak. Sedangkan yang dijual di Sawangan, Muntilan
merupakan sapi bakalan (pedhet). Para
petani suka membeli sapi bakalan untuk digemukan. Kemudian setelah sapi gemuk
dan dewasa dijual kembali,” ujar bapak berputera empat itu.
Sementara untuk sapi dagangan khusus penyediaan hewan kurban Idul Adha, Maryanto hanya menjual di rumah saja. Konsumen atau pelanggannya kebanyakan dari lokal wilayah Sleman dan sekitarnya. Rata-rata para pelanggan lama yang setiap tahun jelang Idul Adha kembali untuk membeli sapinya.
Dalam menapaki usahanya, Maryanto lebih mengutamakan keluarganya dan terhadap pelanggan berprinsip kekeluargaan menjaga silaturahmi. Salah satu contoh, untuk penjualan sapi kurban tidak memathok harga namun lebih pada penyesuaian anggaran yang disediakan oleh pihak panitia.
“Untuk beli sapi saya nggak mau jauh-jauh, paling jauh ya di Sragen itu. Bagi saya keluarga yang utama, berangkat subuh anak-anak belum bangun tapi setidaknya ashar sudah kembali sampai rumah,” ujar Yanto.
Saat ditanya suka duka selama menjadi pedagang jual sapi, Maryanto menjelaskan, bahwa lebih banyak sukanya dari pada dukanya. Kalau dukanya, disruduk sapi telah menjadi makanan sehari-hari, bahkan yang paling telak ketika pernah disepak sapi yang membuatnya tersungkur hingga pingsan.
“Juga ketika dua ekor sapi yang dikembalikan oleh pembeli ternyata tidak diketahui terkena antrax yang kemudia mati dan dikuburkan. Lantaran budaya jual beli sapi dengan petani lereng Gunung Merbabu ada semacam garansi selama 10 hari, misal sapi yang dibelinya kurang lahap makan maka sapi bisa ditukar,” imbuh Maryanto. (ted)