bernasnews — Sudahkan Ekonomi hijau dijalankan oleh pemerintah Indonesia? Indonesia yang sudah lebih dari 78 tahun menjalankan pembangunan dengan terasa telah menghasilkan suatu kondisi yang pada hahekatnya belum sesuai dengan ekonomi hijau. Hal ini tampak pada tujuan pembangunan nasional yang diukur dengan kesuksesan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun disertai dengan kondisi lingkungan yang semakin rusak karena eksploitasi alam khususnya sejak tahun 2001 ketika dimulai periode otonomi daerah.
Oleh karena itu, apabila pemerintah tidak berhati-hati dalam mengelola pembangunan, maka alam (bumi) dapat rusak dan merugikan bagi manusia pada akhirnya. Dengan demikian, baik pemerintah pusat maupun daerah harus mengubah paradigma pembangunan yang telah dijalankan selama ini menjadi Many Species, One Planet, One Future atau berorientasi pada Triple Bottom Line yang mencakup pada aspek Profit, People, dan Planet.
Menurut LAB 45 dan Centre for Strategic and International Studies (2022), definisi Ekonomi Hijau yang diadaptasi dari United Nations Environment Programme (UNEP), adalah model pembangunan ekonomi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada investasi, modal, infrastruktur, pekerjaan, dan keterampilan untuk mencapai kesejahteraan sosial dan lingkungan berkelanjutan.
Ekonomi hijau di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus memprioritaskan kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Ekonomi hijau terkait dengan istilah kutukan sumberdaya alam yang dikemukakan oleh Joseph Stiglitz dalam bukunya yang berjudul Making Globalization Work yang menjelaskan, bahwa kutukan sumberdaya alam terjadi karena besarnya ketergantungan ekonomi terhadap sumberdaya alam sehingga negara melakukan eksploitasi yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Secara nyata, dampak kerusakan lingkungan sudah dirasakan selama ini seperti berbagai bencana alam, efek pemanasan bumi, dan kotornya udara di berbagai kota besar di dunia, termasuk Indonesia.
Untuk itu, pemerintah harus mendorong transisi menuju ekonomi hijau agar pertumbuhan inklusif yang kuat dan berkualitas dapat dicapai. Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios) dan dan Greenpeace Indonesia, transisi menuju ke ekonomi hijau berdampak hingga Rp4.376 triliun ke output ekonomi nasional, menambah PDB sebesar Rp2.943 triliun dalam 10 tahun ke depan atau setara dengan 14,3 persen PDB Indonesia, diproyeksi mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru yang muncul dari berbagai sektor yang berkaitan, pendapatan pekerja secara total bertambah hingga Rp902,2 triliun, serta surplus usaha nasional dari transisi ekonomi hijau diprediksi menembus Rp1.517 triliun dalam 10 tahun ke depan.
Guna mencapai nilai manfaat tersebut dibutuhkan komitmen pemerintah pusat dan daerah. Komitmen pemerintah pusat berupa upaya penurunan emisi CO2 pada tahun 2030 sebesar 38,8 persen. Komitmen lainnya tercantum dalam pilar kedua pembangunan ekonomi berkelanjutan yang bertujuan agar tercapai pertumbuhan ekonomi berkualitas melalui keberlanjutan peluang kerja dan usaha, inovasi, industri inklusif, infrastruktur memadai, energi bersih yang terjangkau dan didukung kemitraan.
Komitmen pemerintah daerah berupa penggunaan Indeks Daya Saing Daerah Berkelanjutan (DSDB) sebagai alat ukur ditingkat kabupaten/kota dalam melihat perkembangan pembangunan ekonomi hijau. Indeks ini mencoba mengukur daya saing berkelanjutan kabupaten/kota di Indonesia yang mengacu pada 4 dimensi, 16 variabel, dan 32 indikator. Berdasar indeks DSDB, terdapat dua tipologi utama dalam mengklasifikasikan sebuah daerah.
Tipologi pertama berupa daerah yang memiliki ekonomi unggul ataupun tangguh namun memiliki persoalan terkait kelestarian lingkungan yang diakibatkan eksploitasi berlebihan. Tipologi kedua berupa daerah yang memiliki nilai ekonomi dan sosial pada rentang rata-rata ataupun di bawahnya karena kualitas SDM tenaga kerja yang rendah serta infrastruktur yang terbatas. Semoga pemerintahan baru per Oktober 2024 semakin mampu memenuhi komitmen tersebut melalui capaian visi misi yang telah disusunnya yang akan menjadi Undang-Undang Rencana Program Jangka Menengah 2024-2029. (Dr. Rudy Badrudin, M.Si, Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta, Wakil Ketua II ISEI Cabang Yogyakarta, Peneliti Senior pada PT. Sinergi Visi Utama)