BERNASNEWS.COM – Pengajaran ekonomi di perguruan tinggi di Indonesia saat ini terblokade oleh pandangan ilmu ekonomi Barat, yakni “liberalisme” dan “individualisme”, “kapitalisme” dan “imperialisme” sehingga telah terjadi “hegemoni akademis” terhadap kampus-kampus di Indonesia.
Pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus kita tidak diawali dari paham demokrasi ekonomi yang mengutamakan “kerjasama” atau cooperation. Pengajaran ilmu ekonomi kita diawali dengan “persaingan” (competition), yang mewajarkan “persaingan bebas” dan “pasar bebas”.
“Karena itu, demokrasi ekonomi Indonesia harus menjadi awal pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus kita. Dan yang ditegaskan di situ bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang, kemakmuran bagi semua orang, bahwa perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat dan sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Prof Dr Ki Ageng Sri-Edi Swasono, Guru Besar UI, dalam acara bedah buku karyanya di Kampus UST Jalan Kusumanegara Yogyakarta, Rabu (27/11/2019).
Bedah buku berjudul Mutualism & Brotherhood: Dimensi Moral Ekonomi Konstitusi Kita setebal 540 halaman yang menampilkan pembedah Guru Besar FE UII Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc dan Guru Besar FH UGM Prof Dr Sudjito dan dipandu Ki Dr Saur Pandjaitan XIII MM ini juga dihadiri antara lain Menteri Koperasi 1993-1998 Subiakto Tjakrawerdaya.
Menurut Prof Sri-Edi Swasono yang juga Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, paham Indonesia mengenai perekonomian adalah berdasar semangat bergotong-royong, tolong-menolong, saling memperkukuh, saling melengkapi, sehingga menolak persaingan yang saling mematikan, menolak persaingan bebas dan menolak mekanisme pasar bebas.
“Dalam demokrasi ekonomi harus diwujudkan partisipasi dan emansipasi ekonomi. Sistem ekonomi subordinat dalam bentuk hubungan ekonomi “tuan-hamba” , “majikan-buruh”, taoke-koelie” ala cultuurstelsel harus ditinggalkan,” tegas Prof Sri-Edi Swasono.
Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc menilai isi buku karya Prof Dr Sri-Edi Swasono ini menunjukkan konsistensi berpikir dari penulisnya, yang ingin melihat dan mewujudkan sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh, hidup dan berkembang di Indonesia benar-benar diterapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa.
Selain itu, penulis buku ini juga ingin melihat sistem ekonomi yang mengedepankan kebersamaan, berasas kekeluargaan, yang bersatu dan berdaulat serta berkeadilan, eksis di Tanah Air, yakni sistem ekonomi berdasar filsafat hidup bangsa Indonesia : Sistem Ekonomi Pancasila.
“Tidak peduli apa pun namanya, namun substansinya adalah sejalan dengan nilai-nilai moral, sosial dan karakteristik bangsa ini sejalan pula dengan konstitusi UUD 1945 dengan demokrasi ekonominya. Sayangnya, harapan yang diinginkan Sri-Edi Swasono jauh dari realitas yang ada. Praktik ekonomi liberal yang masif dan menyelimuti ekonomi Indonesia, bahkan termasuk dalam praktik pengajaran, justru dominan di negeri dengan basis filosofi dan ideologi Pancasila ini,” kata Prof Edy Suandi Hamid.
“Kemiskinan dan ketimpangan, dan penguasaan aset di tangan segelintir pelaku ekonomi, lebih gampang dilihat. Tingkat ekonomi masyarakat jauh dari potensi yang sesungguhnya dimiliki sebagai akibat manajemen dan sistem ekonomi yang digunakan tidak sejalan dengan sistem ekonomi yang ada pada konstitusi kita,” tambah Prof Edy Suandi Hamid. (lip)