Opini  

Menjaga Semangat Kebangkitan Nasional di Tengah Gejolak Isu Kontemporer

bernasnews — Setiap  bulan Mei bagi bangsa Indonesia memperingati dua hari besar nasional yaitu  Hari Pendidikan Nasional  tanggal 2 Mei (2 Mei 1889 kelahiran Ki Hadjar Dewantara) dan Hari Kebangkitan Nasional  tanggal 20 Mei (20 Mei 1908  kelahiran Boedi Oetomo). Secara kronologi kelahiran tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara lebih dahulu dibandingkan Boedi Oetomo, tetapi sebagai momentum kebangsaan, Kebangkitan Nasional muncul lebih dulu setelah dideklarasikan oleh Presiden Soekarno tahun 1948  meskipun belum ada Keputusan Presiden resmi secara tertulis karena situasi perang dan belum stabil secara administratif.

Kedua hari besar nasional tersebut baru ditetapkan secara bersama melaui  Keppres No. 316  tanggal 16 Desember Tahun 1959.  Kebangkitan Nasional menjadi landasan nilai penting yang menginspirasi lahirnya pemikiran Pendidikan Nasional, selain itu juga dapat menjadi tonggak kebangkitan nasional dalam berbagai bidang.

Perayaan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2025 diwarnai adanya isu – isu sensitif yang dapat mengancam kesetabilan bangsa Indonesia. Sebagai guru, penulis merasa prihatin mensikapi dinamika yang terjadi di negara kita. Setelah hampir 80 tahun Indonesia merdeka, mestinya kebangkitan bangsa bisa semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang maupun golongan. Namun justru isu – isu negatif yang justru menggelitik logika dan perasaan, masyarakat semakin kawatir, bahkan mengusik berbagai pihak untuk menaggapi.

Bahkan banyak tokoh- tokoh yang mestinya turut ambil bagian dalam mewujudkan cita – cita bangsa, justru terlibat polmik yang membuat gaduh bangsa. Sejumlah isu yang menyita ruang publik nasional misalnya: pemotongan anggaran pendidikan, gugatan terhadap keabsahan ijazah Presiden Jokowi, komentar provokatif dari tokoh ormas, dan wacana pemakzulan Wakil Presiden.

Di satu sisi, ini tampak seperti dinamika biasa dalam masyarakat demokratis. Namun jika ditelaah lebih jauh, keempat isu ini menyimpan potensi mengganggu kestabilan sosial-politik dan, lebih jauh lagi, menggoyahkan kesetabilan bangsa. Pemotongan anggaran pendidikan oleh Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan untuk mendanai program Makan Siang Gratis senilai $19 miliar, direspon oleh ribuan mahasiswa di berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Medan menggelar aksi protes bertajuk “Dark Indonesia” pada bulan Februari 2025, mahasiswa khawatir hal ini akan melemahkan kualitas pendidikan tinggi dan kesejahteraan dosen.

Polemik ijazah mantan Presiden, meskipun telah dibantah dan dijawab melalui proses hukum, tetap menjadi alat serangan bagi pihak-pihak tertentu untuk menumbuhkan rasa tidak percaya kepada pemimpin dan institusi negara. Isu ini juga dapat  mencederai kepercayaan publik, memecah belah persatuan, atau melemahkan legitimasi hukum.

Sementara itu, komentar yang bernada intimidatif dari tokoh-tokoh ormas seperti Hercules dan beberapa anggota GRIB juga tak bisa dianggap angin lalu. Ketika kekuasaan moral digeser oleh kekuatan informal yang bergerak di luar jalur hukum, maka yang lahir bukanlah ketertiban, melainkan ketakutan. Hal ini bisa mengancam Persatuan Indonesia.

Sedangkan wacana pemakzulan Wakil Presiden pun menjadi peringatan serius. Pemakzulan adalah hak konstitusional, namun penggunaannya tidak bisa didorong oleh alasan politis semata. Bila digunakan sebagai alat pertarungan kekuasaan, proses ini justru melemahkan etika demokrasi dan merusak stabilitas politik nasional.

Isu – isu sensitif yang dihadapi  bangsa Indonesia ini harus diselesaiakan oleh seluruh komponen bangsa. Akan lebih bijaksana jika para tokoh – tokoh bangsa dan juga pejabat negara yang telah diberi amanat warga Indonesia duduk bersama dan bersatu untuk mencari solusi untuk kebangkitan  bangsa Indonesia.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah merilis pedoman peringatan ke-117 Hari Kebangkitan Nasional dengan tema “Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat”. Bangkit Bersama mengandung makna mengajak seluruh elemen bangsa, dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan, untuk bersatu dan saling mendukung.

Keberagaman Indonesia bukanlah pemecah, melainkan kekuatan yang harus dimanfaatkan untuk membangun bangsa. Sedangkan  Indonesia Kuat bukan hanya merujuk pada kekuatan fisik atau sumber daya alam, tetapi juga pada mentalitas bangsa yang tangguh dan optimis. Bangkit bersama untuk memiliki tekad yang kuat dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, serta mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Sebagai penutup, peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2025 seharusnya menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merenungkan kembali makna kebangkitan sejati, yang tidak hanya terbatas pada pencapaian fisik atau material semata, tetapi juga pada kebersamaan dan ketangguhan mental dalam menghadapi tantangan zaman.

Isu-isu sensitif yang mencuat di tengah masyarakat harus disikapi dengan bijak, dengan mengedepankan dialog konstruktif yang melibatkan semua pihak. Bangkit Bersama, seperti yang digagas dalam tema peringatan tahun ini, bukanlah sekadar slogan, melainkan panggilan untuk bersatu dalam keberagaman dan saling mendukung demi Indonesia yang lebih kuat, maju, dan berkeadilan. Inilah saatnya untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan yang mengutamakan persatuan, perdamaian, dan kemajuan bersama demi mewujudkan cita-cita bangsa yang luhur. Selamat memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun 2025. (Yohanes Sudarna, S.Pd, M.M, Guru SMP Marsudirini Maria Goretti Semarang)