Opini  

Hardiknas 2025: Saatnya Pendidikan Berbenah, Berubah, dan Berbuah

Yohanes Sudarna, S.Pd., M.M, Guru SMP Marsudirni Maria Goretti Semarang. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Tanggal 2 Mei  2025, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional ke – 66, sejak ditetapkan tahun 1959 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959. Dipilih tanggal 2 Mei karena merupakan hari lahir Ki Hadjar Dewantara, pada tanggal 2 Mei 1889.

Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang mendirikan Taman Siswa dan mengembangkan filosofi pendidikan nasional: Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2025, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen)  telah menetapkan  tema yaitu  “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua”. Penetapan tersebut tentu telah mempertimbangkan berbagai fenomena yang terjadi di dunia pendidikan.

Tema tersebut  menunjukkan adanya keprihatinan terhadap beberapa isu penting dalam dunia pendidikan dan juga harapan agar seluruh elemen bangsa berperan aktif dalam menciptakan pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Salah satu contoh keprihatinan yang terjadi berita tentang   ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, ternyata tidak bisa membaca dengan lancar. Menurut data terdapat  363 siswa SMP di Buleleng dengan kemampuan membaca rendah dengan rinciannya sebanyak 155 siswa masuk dalam kategori Tidak Bisa Membaca (TBM) dan 208 siswa masuk kategori Tidak Lancar Membaca (TLM).

Di media sosial juga banyak  video yang  menunjukkan  kemampuan berhitung dasar anak – anak tingkat SMP maupun  SMA/K yang sangat rendah, salah satunya yang pernal viral adalah video  yang  menunjukkan  anak – anak SMA di Jawa Barat yang tidak mampu menjawab perkalian dan pembagian bilangan bulat sederhana. Berita tersebut tentu hanya contoh kasus dan tidak  bisa menjadi ukuran atau gambaran potret  pendidikan secara nasional.

Menurut Rapor Pendidikan Nasional Tahun 2024 untuk jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK terkait kemampuan literasi dan numerasi berdasarkan data Asesmen Nasional sebagai berikut kemampuan literasi untuk SD/MI/Sederajat  71,76% siswa mencapai kompetensi minimum, SMP/MTs/Sederajat 70,34% siswa mencapai kompetensi minimum, SMA/MA/Sederajat: 64,83% siswa mencapai kompetensi minimum, dan SMK/MAK  66,03% siswa mencapai kompetensi minimum.

Kategori “Baik” ditetapkan jika lebih dari 70% siswa mencapai kompetensi minimum. Dengan demikian, jenjang SD dan SMP berada dalam kategori Baik, sementara SMA dan SMK masih dalam kategori Sedang. ​ Sedangkan untuk kemampuan numerasi sebagai berikut: SD/MI/Sederajat: 69,51% siswa mencapai kompetensi minimum, SMP/MTs/Sederajat: 68,1% siswa mencapai kompetensi minimum, SMA/MA/Sederajat: 63,71% siswa mencapai kompetensi minimum, SMK/MAK: 64,02% siswa mencapai kompetensi minimum.

Jadi Semua jenjang pendidikan masih berada dalam kategori Sedang untuk numerasi, karena belum ada yang mencapai ambang batas 70% untuk kategori Baik.

Secara nasional, terdapat peningkatan proporsi siswa yang mencapai kompetensi minimum dalam literasi dan numerasi dari tahun 2022 hingga 2024. Namun, peningkatan ini belum merata di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Perbedaan capaian antar wilayah disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan akses dan ketidakmerataan pendidik yang berkualitas.

Menurut laporan Bank Dunia (2022), sekitar 70% anak usia sekolah di negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami learning poverty yaitu  ketidakmampuan memahami teks sederhana pada usia 10 tahun. Di dalam negeri, data Asesmen Nasional 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 50% siswa SD kelas 5 belum mencapai kompetensi minimum literasi dan numerasi yang ditargetkan.

Bahkan laporan UNICEF (2021) menyebutkan bahwa 4 dari 5 siswa di Indonesia mengalami penurunan capaian belajar selama masa pandemi. Sedangkan menurut Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-70 dari 81 negara dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains.

Tujuan Pendidikan menurut  Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan Pasal 31 Ayat (3) serta Pasal 31 Ayat (5), ditegaskan bahwa:”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Maknanya: mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik secara utuh (intelektual, spiritual, dan moral), menumbuhkan akhlak mulia, iman, dan takwa. Sedangkan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa:”Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Maknanya: Pendidikan harus menghormati kodrat anak (fitrah dan potensinya), menuntun pertumbuhan anak agar menjadi manusia seutuhnya, menyasar kebahagiaan lahir dan batin, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Berdasarkan data di atas yang menjadi pertanyaan mendasar bagi kita adalah sejauh mana  tujuan pendidikan di Indonesia sudah tercapai baik menurut UUD 1945 maupun Ki Hajar Dewantara?  Apakah pendidikan kita sudah mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik secara utuh (intelektual, spiritual, dan moral)? Cerdas dalam aspek kognitif (pengetahuan), psikomotorik (ketrampilan), maupun afektif (sikap).

Dari data di atas dapat dikatakan dalam aspek kognitif saja masih jauh dari harapan. Jadi masih banyak permasalahan besar yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan Indonesia.

Tema Hari Pendidikan Nasional tahun 2025 mengisyaratkan ada   tantangan besar dalam Dunia Pendidikan di Indonesia atara lain: Ketimpangan Akses Pendidikan, tekanan ekonomi global dan nasional menyebabkan banyak keluarga berpenghasilan menengah ke bawah kesulitan mengakses pendidikan sehingga  memperlebar kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin dalam memperoleh pendidikan berkualitas.

Kualitas pendidikan yang belum merata, antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara sekolah negeri dan swasta;  Keterlibatan semua pihak dalam pendidikan,  menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan individu dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Namun, implementasi partisipasi aktif dari semua pihak masih menjadi tantangan besar.

Tantangan dalam dunia pendidikan di atas tentu menjadi ranahnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk mencari strategi dan kebijakan yang tepat dengan melakukan perubahan kurikulum. Sebagai seorang guru penulis merasakan ada kesalahan yang mendasar memaknai  Kurikulum Merdeka yang diberlakukan tahun 2022 sampai tahun 2024  antara lain guru menentukan capaian pembelajaran (CP) tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan, sekolah/guru tidak perlu memikirkan capaian standar,

Keterbatasan sekolah atau guru dalam melaksanakan asesmen diagnostik sebagai dasar untuk melakukan pembelajaran diferensiasi sehingga  guru tidak  tahu persis  kebutuhan, minat, dan tingkat kesiapan siswa dalam pembelajaran.  Sehingga Pembelajaran diferensiasi yang dilakukan kurang efektif atau asal-asalan, Guru tidak mempunyai kemampuan menejemen kelas yang baik sehingga tidak mampu  mengelola siswa dengan kegiatan yang berbeda-beda dalam waktu bersamaan,

Guru tidak bijak dalam mengelola prilaku siswa seolah terjadi pembiaran sehingga siswa tidak merasa bersalah jika  tidak mengerjakan tugas, tidak belajar, mendapat nilai yang jelek, dan yang menjadi dilema  guru adalah siswa harus mecapai kriteria ketuntasan tujuan pembelajaran (KKTP). Dampak dari kesalahan memaknai merdeka belajar tersebut  semua anak naik kelas.

Pada tahun 2025 Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti telah menetapkan tujuh program prioritas yaitu  Redistribusi Guru ASN ke Sekolah Swasta, Pembaruan Sistem Manajemen Kinerja, Transformasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), Penguatan Karakter melalui 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, Pendekatan Pembelajaran Mendalam (Deep Learning), Pengenalan Pelajaran Coding dan Kecerdasan Buatan, dan Penerapan Sistem Evaluasi Baru melalui Tes Kemampuan Akademik (TKA).

Secara khusus penulis mempunyai harapan besar penerapan sistem evaluasi baru melalui Tes Kemampuan Akademik (TKA) bisa dilaksanakan untuk seluruh siswa pada akhir jenjang. Kegunaan Tes Kemampuan Akademik TKA yang bisa menjadi ukuran pribadi siswa yaitu  Mengukur Kompetensi Dasar Siswa Secara Komprehensif dan yang dapat menjadi ukuran sekolah adalah  Menjadi Dasar Pemetaaan dan Intervensi Pendidikan. Dengan dilaksanakan TKA diharapkan dapat  meningkatkan motivasi sekolah, guru, orang tua, maupun siswa untuk mempersiapkan dengan TKA dengan baik.

Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengajak semua komponen yang terlibat dalam pendidikan mulai dari siswa, orang tua, guru, karyawan, kepala sekolah, yayasan, dinas pendidikan, maupun setiap insan dan lembaga – lembaga yang terkait bergerak bersama – sama untuk berbenah, berubah, dan akhirnya berbuah, mencapai tujuan pendidikan sesuai amanat UUD 1945 dan  Bapak Pendidikan Nasional Indonesia Ki Hajar Dewantara. (Yohanes Sudarna, S.Pd., M.M, Guru SMP Marsudirni Maria Goretti Semarang)