bernasnews — Keterlambatan Kementerian Keuangan merilis ‘APBN Kita’ pada awal tahun menimbulkan polemik. Laporan APBN Kita adalah menggambarkan kinerja anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN), sekaligus pembiayaan yang disampaikan ke publik secara rutin tiap bulannya.
Setelah satu bulan menunda, Pemerintah akhirnya merilis APBN Kita edisi Februari 2025. Ada berbagai catatan terkait data yang tersaji dalam laporan tersebut. Salah satunya mengenai kinerja penerimaan pajak.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS mengatakan, bahwa penerimaan pajak turun hingga 41,8 persen (yoy) di tengah implementasi Coretax (sistem digitalisasi perpajakan terbaru). Pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak di bulan Januari 2025 sebesar Rp64 triliun.
Menurutnya, ada dua faktor kenapa turun begitu drastis. Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. Alasan kedua adalah kendala di sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksi-nya.
“Akibatnya transaksi menjadi terhambat. Rasio Pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024, implikasinya defisit APBN rentan diatas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment.” kata Huda, dalam rilis yang diterima bernasnews, Jumat (14/3/2025).
“Selain itu, belanja pemerintah pusat melambat sebesar 10,76 persen, sementara secara spesifik belanja K/L turun tajam -45,5 persen year on year,” imbuhnya.
Selanjutnya, Media Askar selaku Direktur Kebijakan Publik CELIOS mengemukakan,belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi. Melambatnya belanja pemerintah hampir separuh dari tahun sebelumnya bisa mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi dan memangkas pertumbuhan ekonomi.
Menurut Media, anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya.
“Kondisi yang terjadi di Indonesia bertolak belakang dengan yang terjadi di Argentina. Presiden Argentina, Javier Milei juga melakukan pemangkasan anggaran secara signifikan. Namun demikian, penerimaan pajaknya sukses dinaikkan hingga 11 persen pada bulan Februari 2025 dan mengalami surplus fiskal,” bebernya.
“Vietnam melakukan hal yang sama, efisiensi bertujuan memangkas birokrasi sehingga menarik bagi investasi. Sementara di Indonesia, justru berujung pada dua masalah sekaligus; anggaran dipangkas dan membebani masyarakat bawah dan penerimaan negara anjlok drastis,” lanjut Media.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menambahkan, bahwa krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tak terkendali. “Bayangkan kalau Januari saja utangnya naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp10.000 triliun,” ungkapnya.
Lanjut Bhima menjelaskan, beban bunga utang nya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi.
Huda pun tak menepis, bahwa kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program pemerintah yang ambisius tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan, akhirnya membuat pemerintah melakukan efisiensi secara masif.
“Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius pemerintah. Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo, namun penerimaan negara sedang cekak,” tandasnya.
“Kami mendesak Sri Mulyani, Wakil Menteri, dan Dirjen Pajak untuk mundur lantaran gagal menjalankan mandat disiplin fiskal tanpa rencana jelas, dan tidak berani melakukan terobosan pajak, justru merusak sistem perpajakan yang ada melalui buruknya implementasi Coretax.” pungkas Bhima. (*/ ted)