News  

Fix! Plengkung Gading Satu Arah, Berikut 6 Keistimewaannya Dibandingkan Plengkung Lainnya

Penampakan dari luar Plengkung Gading (Plengkung Nirbaya), sedangkan jagang atau parit sebagai keamanan beteng yang berada di sekelilingnya telah tertutup pemukiman, (Foto: Dok. bernasnews)

bernasnews — Uji Coba Rekayasa Lalu Lintas Sistem Satu Arah (SSA) Plengkung Nirbaya atau juga dikenal sebagai Plengkung Gading akan dimulai pada hari Senin, 10 Maret 2025. SSA di Jalan Gading atau Plengkung Nirbaya ini akan diberlakukan selama satu bulan ke depan.

Seperti diketahui, bahwa Sistem Sistem Satu Arah ini akan diterapkan guna mengurangi dan mencegah makin melebarnya deformasi di Plengkung Nirbaya (Nirbaya). Sistem Satu Arah ini hanya memperbolehkan kendaraan melintas dari utara (dalam beteng) menuju ke selatan (luar beteng). SSA ini adalah tahap pertama rekayasa lalu lintas Plengkung Nirbaya.

Nantinya arus lalu lintas dari Jalan M.T. Haryono, DI Panjaitan, dan Mayjend Sutoyo, yang berada di kawasan luar benteng, tidak diperbolehkan untuk masuk menuju Plengkung Nirbaya yang terletak di Jalan Gading.

Uji coba SSA ini akan diberlakukan setiap hari selama satu bulan, pada pukul 07:00 WIB – 09:00 WIB dan 15:00 WIB – 17:00 WIB.

“Kami berharap seluruh pengguna jalan dapat menyesuaikan diri dengan peraturan lalu lintas yang berlaku, mematuhi rambu-rambu lalu lintas, mengikuti petunjuk dari petugas di lapangan, serta mengutamakan keselamatan saat berkendara,” kata Rizki Budi Utomo, Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan DIY, Jumat (7/3/2025).

Selama Sistem Satu Arah ini diterapkan, akan dilakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kendaraan yang melewati area Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading). “Termasuk, larangan keras terhadap Bus Pariwisata atau kendaraan sejenisnya yang melewati batas tinggi yang diperbolehkan untuk melintas, untuk masuk pada kawasan Plengkung Nirbaya,” tegas Rizki.

Plengkung Nirbaya sejatinya adalah bagian sistem fortifikasi atau sistem perbentengan pelindung kompleks Kraton Kasultanan Yogyakarta, yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan 4 plengkung lainnua yakni Plengkung Wijilan (Tarunasura), Plengkung Ngasem (Jagasura), dan Plengkung Tamansari (Jagabaya).

Peta Uji Coba Rekayasa Lalu Lintas Sistem Satu Arah (SSA) Plengkung Nirbaya (Gading). Foto: Tangkapan Layar.

6 Keistimewaan Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading):

Berikut keistimewaan yang terdapat di Plengkung Nirbaya yang juga disebut sebagai Plengkung Gading, Pertama, Plengkung Nirbaya  dihiasi ornamen burung yang menghisap kuntum bunga, sebagai candrasangkala memet, yang dibaca Sarining Sekar Sinesep Peksi (Sari Bunga yang Dihisap Burung), artinya menunjuk tahun 1691 Jawa, yang setara dengan 1767 Masehi.

Penulisan angka tahun ini diyakini sebagai tahun penyelesaian pembangunan Plengkung Gading, yang juga bersamaan dengan penyelesain pembangunan Kompleks Tamansari, yang masih berada di lingkup Njeron Benteng Kraton Yogyakarta.

Kedua, atas plengkung digunakan untuk plataran yang dinamakan panggung sehingga plengkung tersebut dikenal dengan dengan sebutan Gapura Panggung. Masing-masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu jaga atau bastion dan dudukan meriam.

Ketiga, depan plengkung Nirbaya dahulu terdapat jembatan gantung, apabila terjadi bahaya menyerang jembatan tersebut dapat ditarik ke ke atas. Di sisi luar benteng dibangun jagang atau parit sebagai pertahanan. Sisi luar parit diberi pagar tembok setinggi satu meter dan sepanjang jalan di tepi pagar ditanami pohon gayam.

Keempat, Plengkung Gading atau Nirbaya, yang bermakna nir (tiada) baya (bahaya) adalah satu-satunya plengkung yang masih utuh dan terlihat lengkap menyatu dengan benteng kraton dibandingkan plengkung lainnya. Sayangnya sekarang telah diberi pagar, sehingga untuk masuk naik ke atas plengkung harus ada izin dari pihak Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kelima, adanya sebuah mitos yang hingga kini masih diyakini oleh warga setempat, bahwa Sultan yang bertahta dilarang atau tidak boleh melintasi plengkung tersebut. Kecuali Sultan wafat atau meninggal dalam prosesi pemakaman menuju Makam Raja-raja di Imogiri harus melalui Plengkung Gading. Namun tidak demikian untuk jenazah warga masyarakat “dilarang” melintasi plengkung itu.

Keenam, di atas Plengkung Nirbaya (Gading) didirikan menara sirine atau warga menyebutnya gauk, pada tahun 1949. Dahulunya sirine tersebut dibunyikan sebagai tanda bahaya adanya serangan udara dari penjajah Belanda. Kekinian sirine atau gauk itu dibunyikan sebagai penanda berbuka puasa setiap bulan Ramadan. Juga sebagai penanda peringatan sejarah yaitu saat detik-detik Proklamasi RI, pada tanggal 17 Agustus dan Serangan Umum, pada tanggal 1 Maret setiap tahunnya. (ted)