bernasnews — Permasalahan sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin kompleks seiring dengan meningkatnya populasi, aktivitas pariwisata, dan urbanisasi. Data dari Dinas Lingkungan Hidup DIY menunjukkan bahwa volume sampah harian di wilayah ini mencapai lebih dari 1.200 ton, sebagian besar masih bergantung pada pengelolaan konvensional di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan.
Sayangnya, TPA Piyungan telah kelebihan kapasitas, menyebabkan penumpukan sampah yang berdampak pada lingkungan, seperti pencemaran tanah dan air, serta meningkatkan risiko penyakit. Ketergantungan yang tinggi pada satu lokasi ini menunjukkan kurangnya sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi di DIY.
Salah satu penyebab utama masalah ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik. Banyak warga yang belum memilah sampah organik dan anorganik sehingga proses pengelolaan menjadi kurang efisien. Selain itu, infrastruktur seperti fasilitas daur ulang dan bank sampah belum tersedia secara merata di semua wilayah.
Ketergantungan tinggi pada TPA serta kurangnya sistem pengelolaan yang terintegrasi menjadi tantangan utama yang perlu diatasi oleh pemerintah dan masyarakat DIY. Ketergantungan pada metode pembuangan akhir yang sudah tidak sesuai dengan konsep pengelolaan limbah modern ini menunjukkan bahwa regulasi terkait pengurangan limbah dan penerapan teknologi pengolahan belum dioptimalkan.
Regulasi tentang penggunaan teknologi ramah lingkungan, seperti daur ulang atau pengolahan sampah menjadi energi, seharusnya menjadi prioritas untuk mengurangi beban TPA.
Pengelolaan sampah yang tidak memadai di DIY menunjukkan adanya celah dalam regulasi dan pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sebenarnya sudah mengatur secara komprehensif tentang pengurangan, pengelolaan, hingga tanggung jawab produsen terhadap limbah mereka.
Namun, di Yogyakarta, banyak pelaku usaha dan individu yang belum mematuhi aturan ini. Lemahnya pengawasan dan minimnya sanksi hukum terhadap pelanggaran, seperti pembuangan sampah sembarangan atau tidak adanya pemilahan sampah, menjadi kendala utama yang perlu diperbaiki.
Pengelolaan sampah yang buruk tidak hanya mencederai hak masyarakat saat ini atas lingkungan yang bersih dan sehat, tetapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang. Hukum lingkungan, seperti yang tercantum dalam Pasal 28H UUD 1945, mengamanatkan hak warga negara untuk hidup dalam lingkungan yang baik.
Permasalahan sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Perda ini bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang terpadu dan berwawasan lingkungan, dengan melibatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha.
Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan yang menyebabkan permasalahan sampah di DIY belum terselesaikan secara optimal. Salah satu kendala utama adalah kurangnya kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengelolaan sampah. Meskipun Perda telah mengatur kewajiban pemilahan sampah sejak dari sumbernya, banyak warga yang belum melaksanakan hal ini.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan dan tidak memilah antara sampah organik dan anorganik masih sering ditemui, yang mengakibatkan penumpukan sampah dan menyulitkan proses pengolahan lebih lanjut.
Berbagai macam kompleksitas permasalahan tersebut di atas dengan melibatkan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dalam pengelolaan sampah merupakan langkah inovatif yang menjanjikan. Pendidikan lingkungan sejak dini memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang pentingnya memilah, mendaur ulang, dan mengurangi sampah.
Melalui program-program seperti bank sampah sekolah, lomba daur ulang, dan edukasi langsung tentang bahaya sampah plastik dengan cara jika membeli sesuatu diusahakan tidak meminta plastik sebagai barang bawaan. Siswa-siswi SD tidak hanya diajarkan teori, tetapi juga praktik nyata dalam menjaga lingkungan.
Mereka dapat menjadi agen perubahan di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar. Siswa-siswi SD diajarkan untuk memahami dan mengetahu pentingnya sistem 3R yaitu Reuse, Reduce, dan Recycle. Reuse artinya penggunaan ulang barang tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Reduce bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan sejak awal. Recycle adalah proses pengolahan sampah menjadi bahan baku yang dapat digunakan kembali untuk membuat produk baru.
Ketiga elemen tersebut saling melengkapi dalam menciptakan sistem pengelolaan sampah yang efektif. Reduce merupakan langkah pertama untuk mencegah sampah sejak awal. Reuse memperpanjang umur barang sehingga menghasilkan lebih sedikit limbah. Recycle menangani limbah yang sudah tidak dapat digunakan kembali dengan mengolahnya menjadi produk baru. (Vidya Devia Ardania, Dosen Prodi Hukum Bisnis Universitas PGRI Yogyakarta)