Dosen UNY Sosialisasi Hari Santri di SMAN 1 Bambanglipuro Bantul

Suasana sosialisasi Hari Santri oleh Tim PPM UNY di SMAN 1 Bambanglipuro, Bantul. (Foto: Istimewa)

bernasnews — Prof. Saefur Rochmat, S.Pd., MIR, Ph.D. beserta Tim PPM UNY, yakni Dr. Zulkarnain, M.Pd., Dr. Gunartati, M.Pd., dan sejumlah mahasiswa, merasa prihatin dengan Hari Santri yang secara umum tidak diperingati di sekolah-sekolah umum di seluruh Indonesia.

Padahal, menurut Prof. Saefur, Hari Santri sudah menjadi kebijakan pemerintah melalui Keppres No. 22 Tahun 2015. Seyogyanya, suatu kebijakan harus diikuti dengan program yang harus dilaksanakan melalui pendidikan di sekolah-sekolah. Ironisnya, buku paket yang mengajarkan tentang Hari Santri belum ditulis.

“Untuk itu tim PPM UNY dari FISHIPOL bekerjasama dengan SMAN 1 Bambanglipura melakukan sosialisasi “Hari Santri bagi Literasi Nasionalisme dan Pendidikan Karakter bagi Guru-guru,” ungkapnya.

Dikatakan, materi ajar Hari Santri yang dikembangkan oleh Tim PPM UNY bisa menjadi model bagi perumusan pengetahuan Pancasilais, yang didasarkan pada jargon “Sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila ke-2, 3, 4, dan 5. Model ini dimaksudkan agar paradigma Pancasila menjadi operasional dalam pendidikan.

“Sampai sekarang Body of knowledge “pengetahuan Pancasilais” dalam berbagai bidang kehidupan belum jelas. Indonesia belum mengembangkan pemikiran yang jelas tentang “sistem politik Pancasilais, sistem ekonomi Pancasilais (Mubyarto, 2003), sistem pendidikan Pancasilais, pengetahuan sosial-budaya Pancasilais, dan lain-lain,” kata Prof. Saefur.

Tim PPM UNY menilai pengetahuan sejarah yang Pancasilais juga belum ditulis secara memadai. Contoh kongkritnya, materi ajar nasionalisme belum ditulis berdasarkan jargon “sila ke-1 menjiwai sila ke-3”. Materi ajar Hari Santri yang ditawarkan team UNY diharapkan bisa menjadi model pendidikan karakter yang mengaitkan aspek kognisi (pengetahuan akal “nasionalisme”) dengan aspek afeksi (keyakinan siswa, bisa didasarkan pada agama maupun kebudayaan) agar siswa memiliki “religious skills” seperti dalam bentuk jihad bagi Muslim.

Gejala radikalisme di kalangan remaja terjadi karena pengajaran nasionalisme tidak dikaitkan dengan aspek afeksi siswa. Perlu diketahui di rumah atau di masyarakat siswa sudah mendapatkan internalisasi nilai-nilai agama atau budaya sehingga pembelajaran tentang nasionalisme harus dikaitkan dengan keyakinan agama dan budaya siswa. Dengan begitu nasionalisme akan memiliki makna dan sekaligus tujuan selaras dengan keyakinan agama dan budaya.

“Tim PPM UNY tahu bahwa Hari Santri diperingati di sekolah-sekolah dalam naungan Departemen Agama, namun materi ajar yang terkait dengan justifikasi Islam pada nasionalisme juga belum ada. Lagi-lagi sosialisasi materi Hari Santri perlu dilakukan juga di lingkungan Departemen Agama,” lanjut dia.

Kenapa Hari Santri diperingati di sekolah-sekolah yang dikelola Kementerian Agama, tetapi tidak diperingati di sekolah-sekolah yang dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi? Hal ini menunjukkan sistem pendidikan Pancasilais belum berjalan dengan baik.

Seharusnya kedua kementerian tersebut memiliki peran yang sama menjalankan sistem pendidikan nasional, termasuk menanamkan pengetahuan Pancasilais. Kita masih punya PR besar merumuskan pengetahuan Pancasilais dalam berbagai aspek kehidupan.

Perumusan pengetahuan Pancasilais merupakan tugas kolaboratif yang melibatkan pakar berbagai bidang ilmu, baik pakar ilmu terkait pengetahuan modern maupun pakar ilmu terkait pengetahuan agama dan budaya. Contoh kongkritnya, materi ajar Hari Santri dan juga buku paket sejarah hendaknya jangan disusun oleh dosen-dosen jurusan Sejarah saja, tetapi melibatkan pakar dari berbagai cabang ilmu yang terkait, seperti pakar Hubungan Internasional.

“Nasionalisme tidak bisa dilepaskan dengan disiplin ilmu Hubungan Internasional, yakni konsep negara modern, yakni nation state (negara bangsa),” tegasnya.

Sejalan dengan paradigma Pancasila, kognisi “nasionalisme” harus dikaitkan dengan aspek afeksi, sebagaimana diamanatkan oleh sila ke-1, sehingga perlu melibatkan ulama. Jangan sampai apa yang diajarkan di sekolah berbeda dengan pemahaman ulama, ini jelas kontra-produktif! Untuk itu ulama perlu dilibatkan dalam perumusan pengetahuan Hari Santri.

“Bisa saja mereka tidak tahu kerangka teori Westphalian Nation State System, tapi bila mereka dilibatkan maka mereka akan bisa memahami pengetahuan yang akan diajarkan di sekolah-sekolah. Mereka bisa berkontribusi dalam memberikan penjelasan nasionalisme dari sudut pandang agama,” ujar Prof. Saefur.

Jadi, perumusan materi Hari Santri, yakni terkait justifikasi (pembenaran) Islam pada nasionalisme merupakan kerja kolaboratif dua cabang ilmu, yakni ilmu modern dengan ilmu agama. Dengan kalimat lain, pengetahuan yang dirumuskan mencerminkan kesepakatan atau negosiasi berbagai kelompok yang ada di masyarakat. Jadi, perumusan pengetahuan terkait dengan pembentukan peradaban.

Bila kita belum menjadi a developed country (negara maju) setelah merdeka 79 tahun karena kita belum bisa merumuskan pengetahuan Pancasilais yang berkualitas. Sejalan dengan ini sukses tidaknya pendidikan karakter terkait dengan keberhasilan merumuskan pengetahuan Pancasilais yang berkualitas.

Usai sosialisasi Hari Santri para guru SMAN 1 Bambanglipuro foto bersama dengan Tim PPM UNY. (Foto: Istimewa)

Masalah yang dihadapi oleh sekolah mitra pengabdian ini merupakan masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia, yakni miniat belajar siswa yang rendah. Rendahnya minat siswa terkait dengan materi ajar yang menekankan aspek hafalan. Hafalan tidak akan menjadi beban bila materi ajar dirumuskan berdasarkan suatu kerangka teori yang jelas.

“Dalam hal ini kerangka teori memiliki peran penting dalam memberi makna terhadap fakta-fakta yang harus dihafalkan. Kerangka teori juga memiliki peranan menentukan dalam kemampuan literasi, kemampuan siswa untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan,” beber Prof. Saefur.

Tingkat literasi terkait langsung dengan kemampuan siswa berpikir HOTS (Higher Order Thinking Skills). HOTS, dalam taksonomi Benjamin Bloom, meliputi kemampuan menganalisa, mensintesa, dan mengkreasi untuk memecahkan masalah. Kemampuan HOTS ini hanya mungkin diperoleh siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang materinya didasarkan pada suatu kerangka teori.

Tingkat literasi siswa di negara-negara maju lebih tinggi karena mereka diajar untuk berpikir HOTS melalui materi ajar yang berbasis kerangka teori. Kerangka teori merupakan landasan filosofis bangunan ilmu, disamping mengajarkan kepada kita prinsip-prinsip yang harus ditegakkan bagi berjalannya suatu sistem, termasuk nilai-nilai yang harus ditegakkan bagi keberlangsungannya.

“Dengan demikian, kita bisa menjadi negara maju dengan mengikuti sistem peradaban Barat secara benar, termasuk dalam sistem pendidikan,” tegasnya.

Menurut Prof. Saefur, Indonesia belum menjadi negara maju (an advanced country) juga terkait dengan dunia pendidikan yang belum mengajarkan ilmu-ilmu modern berdasarkan kerangka teori peradaban Barat. Tim PPM UNY meyakini kerangka teori menjadi kunci untuk meningkatkan literasi siswa.

“Keyakinan tersebut didasarkan pada pengamatan terhadap capaian tingkat literasi Indonesia tahun 2023 yang lalu. Memang rangking tingkat literasi Indonesia meningkat 5% dibandingkan tahun 2018, namun nilainya mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena penerapan Kurikulum Merdeka belum disertai dengan penggunaan kerangka teori,” pungkasnya. (*/ nun)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *