bernasnews – Di tengah hiruk pikuk modernisasi, desa-desa kita seolah terlupakan, terhimpit di antara gedung-gedung pencakar langit dan gempita pembangunan kota. Namun, bukankah justru di sanalah akar bangsa ini tertanam? Karang Taruna, organisasi kepemudaan yang lahir dari rahim Orde Baru, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjawab tantangan ini. Sayangnya, realitas berbicara lain.
Potret miris terpampang nyata: kursi-kursi kosong dalam rapat bulanan, absennya tangan-tangan muda dalam gotong royong desa, dan minimnya ide segar yang mengalir dari generasi penerus.
Tak perlu jauh untuk mendapatkan bukti, hal itu sudah terjadi pada kampung saya sendiri. Di era digital yang membuka sejuta peluang, justru semakin sedikit pemuda yang tertarik untuk terlibat dalam Karang Taruna. Gawai di tangan seolah menjadi dunia baru yang lebih menarik dibanding realitas desa yang menanti sentuhan pembaruan. Ironis memang, ketika teknologi yang seharusnya mempermudah komunikasi dan kolaborasi, justru menciptakan jurang pemisah antara pemuda dan akar budayanya.
Di balik kelamnya partisipasi ini, secercah harapan pun hampir pupus. Di kampung saya, beberapa pemuda masih gigih mengaktifkan denyut nadi Karang Taruna. Sayangnya, mereka yang aktif ini pun tak luput dari ancaman. Merantau demi pendidikan atau pekerjaan yang lebih baik, atau membangun rumah tangga, seringkali menjadi titik akhir keterlibatan mereka. Alih-alih menjadi tempat menempa kader pemimpin masa depan, Karang Taruna justru kehilangan sumber daya manusianya yang paling berharga.
Tantangan ini semakin terasa berat ketika kita menengok ke belakang, melihat bagaimana dulu pemuda menjadi tulang punggung kehidupan desa. Gotong royong membangun balai desa, kerja bakti membersihkan selokan, hingga melestarikan kesenian daerah — semua itu adalah bukti nyata bagaimana energi pemuda mampu menggerakkan roda kehidupan desa. Bahkan dalam skala yang lebih besar, sejarah mencatat bagaimana pemuda pernah mengubah arah perjalanan bangsa. Peristiwa Rengasdengklok menjadi saksi bisu bagaimana gelora semangat pemuda mampu ‘menculik’ Soekarno dan Hatta, dalam sebuah aksi nekat yang justru mempercepat proklamasi kemerdekaan.
Masih relevankah Karang Taruna?
Kontras antara semangat pemuda masa lalu dan realitas kini pertanyaan krusial : Masih relevankah Karang Taruna di era digital? Bagaimana menghidupkan kembali api pengabdian dalam sanubari pemuda desa? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya akan menentukan nasib Karang Taruna, tetapi juga masa depan desa-desa di Indonesia — cermin vitalitas bangsa dari akar rumputnya.
Pada dinamika Karang Taruna modern, terjadi polarisasi antara anggota aktif dan nonaktif. Di satu sisi, kita melihat pemuda yang terjebak dalam rutinitas sekolah atau kuliah, waktu mereka tersita oleh tugas dan ujian. Di sisi lain, ada yang harus berjuang membantu ekonomi keluarga, bekerja paruh waktu atau bahkan merantau. Tak dapat dipungkiri, ada pula yang merasa apatis, menganggap Karang Taruna sebagai fosil masa lalu yang tak lagi relevan. Beberapa bahkan hanya ikut-ikutan, terdorong oleh iming-iming kegiatan atau sekadar takut dicap tidak peduli pada desa.
Dalam upaya merevitalisasi Karang Taruna, sistem seperti ‘Kakak Asuh’ muncul sebagai solusi inovatif yang menjembatani kesenjangan antara anggota aktif dan nonaktif. Konsepnya sederhana namun powerful: setiap anggota aktif ‘mengadopsi’ satu atau dua anggota nonaktif, memberikan mentoring personal yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan spesifik mereka. Mahasiswa senior berbagi strategi menyeimbangkan studi dan aktivitas organisasi, sementara anggota berpengalaman dalam public speaking, membimbing rekannya yang pemalu untuk menemukan suaranya dalam forum organisasi.
Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan partisipasi, tetapi juga membangun ikatan emosional antar anggota. ‘Adik asuh’ yang awalnya apatis berpotensi menemukan motivasi baru melalui pengalaman kontribusi langsung. Alih-alih memaksakan pertemuan rutin yang kaku, program ini beradaptasi dengan fleksibilitas waktu melalui mentoring daring dan fokus pengembangan soft skills, menjawab kebutuhan unik setiap anggota.
Pemanfaatan teknologi
Sejalan dengan adaptasi tersebut, pemanfaatan teknologi menjadi imperatif dalam era digital ini. Menurut Kapp (2012), gamifikasi dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menggabungkan antara permainan, estetika dan kemampuan berpikir untuk menarik perhatian, memotivasi, mempromosikan sebuah pembelajaran, serta menyelesaikan masalah. Konsep ini dapat diterapkan dalam revitalisasi Karang Taruna melalui beberapa cara inovatif.
Pertama, platform kolaborasi online seperti Trello dapat diintegrasikan dengan grup WhatsApp untuk menciptakan ‘Markas Virtual’ Karang Taruna. Berdasarkan informasi dari beritateknologi.id, integrasi ini memungkinkan manajemen proyek dan tugas secara visual dan intuitif. Rapat dapat dilakukan secara hybrid, memfasilitasi partisipasi jarak jauh bagi mereka yang berhalangan hadir secara fisik. Lebih jauh lagi, pengembangan aplikasi mobile khusus Karang Taruna dapat menjadi game-changer, memudahkan koordinasi, berbagi ide, dan bahkan melakukan voting untuk pengambilan keputusan.
Kedua, pembentukan ‘Jaringan Diaspora Desa’ menjadi solusi brilian untuk tetap melibatkan pemuda yang terpaksa meninggalkan desa. Mengutip dari kemlu.go.id, konsep diaspora merujuk pada masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri. Menerapkan konsep serupa, program ini memungkinkan pemuda yang merantau untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, bahkan membuka peluang magang atau kerja bagi pemuda desa di kota. Ini tidak hanya memperluas cakrawala Karang Taruna, tetapi juga menciptakan rantai ekonomi dan pengetahuan yang menguntungkan desa dalam jangka panjang.
Terakhir, untuk meningkatkan relevansi program, Karang Taruna dapat mengadopsi pendekatan ‘Gamifikasi Survei’ menggunakan platform digital interaktif. Selaras dengan definisi gamifikasi oleh Kapp, teknik ini menggabungkan elemen permainan seperti tantangan, poin, atau hadiah ke dalam proses survei, membuatnya lebih menarik dan interaktif bagi peserta. Hasil survei ini kemudian dapat menjadi pondasi kokoh untuk merancang program yang selaras dengan tren dan kebutuhan kontemporer pemuda desa, seperti ‘Program Inkubasi Startup Desa’ yang membuka peluang bagi pemuda untuk mengembangkan ide bisnis inovatif berbasis potensi lokal.
Namun, teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi hambatan psikologis dalam partisipasi. Metode ‘Brainstorming Anonim’ hadir sebagai solusi untuk mengatasi pasifnya anggota dalam musyawarah. Dengan mengirimkan ide atau pendapat secara anonim melalui platform online sebelum rapat, anggota yang lebih junior atau introvert dapat merasa lebih nyaman menyuarakan pemikirannya tanpa takut dinilai. Ini menjadi langkah awal penting dalam tahap perencanaan, di mana setiap anggota Karang Taruna, terlepas dari senioritas atau kepribadian, berkontribusi dalam memetakan potensi dan tantangan desa.
Tak hanya itu, penciptaan ‘Zona Aman Berpendapat’ menjadi langkah lanjutan yang inovatif. Dengan mengadopsi teknik Appreciative Inquiry, Karang Taruna dapat membangun budaya di mana setiap kontribusi, sekecil apapun, diapresiasi. Kritik disampaikan secara konstruktif, dan setiap anggota didorong untuk membangun di atas ide orang lain, bukan menjatuhkannya. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan partisipasi, tetapi juga memupuk kreativitas dan inovasi dalam organisasi, terutama saat memasuki fase pencarian dana.
Revitalisasi Karang Taruna juga memerlukan ekspansi keanggotaan yang inovatif. Program ‘Adopsi Warga Kos’ dapat menjaring mahasiswa dan pekerja di sekitar desa, menginjeksi ide segar dan energi baru ke dalam organisasi. Simbiosis ini memberi Karang Taruna anggota baru, sementara warga kos mendapat kesempatan berintegrasi dengan komunitas lokal dan mengaplikasikan ilmu mereka dalam konteks nyata.
Namun, jangan abaikan kearifan generasi tua. ‘Lintas Silang Generasi’ dapat mengundang tokoh masyarakat, pensiunan, dan profesional senior sebagai mentor. Bayangkan sinergi antara pemuda tech-savvy dengan sesepuh desa dalam proyek pelestarian budaya digital. Ini bukan sekadar perluasan keanggotaan, tapi penciptaan ekosistem lintas generasi yang dinamis. Kolaborasi semacam ini dapat melahirkan inovasi unik: digitalisasi desa oleh pemuda, diperkaya dengan narasi kearifan lokal dari generasi tua. Hasilnya? Jembatan antargenerasi yang tidak hanya melestarikan warisan budaya, tapi juga menciptakan solusi kreatif untuk tantangan kontemporer desa.
Kolaborasi multisektor bukan lagi utopia, melainkan strategi konkret bagi Karang Taruna untuk merevolusi desa. Bagi inkubator, ini merupakan peluang untuk menemukan bakat-bakat tersembunyi dan ide-ide segar yang mungkin luput dari radar mereka selama ini. Sementara bagi desa, kerjasama ini membuka akses terhadap jaringan mentor, investor, dan pasar yang lebih luas. Perusahaan teknologi mendapatkan talent pool baru dan living lab untuk inovasi mereka, sementara desa memperoleh akses ke teknologi terkini dan peluang pengembangan skills. Perguruan tinggi juga diuntungkan dengan adanya lokasi riset dan pengabdian masyarakat yang relevan.
Sebagai salah satu contoh, Karang Taruna dapat mengajak perusahaan blockchain untuk menerapkan teknologi mereka dalam rantai pasok pertanian desa. Sistem ini memungkinkan transparansi penuh dari produksi hingga distribusi, memberikan nilai tambah signifikan pada produk pertanian. Menurut penelitian Martina, Khansa, dan Ahmad (2024) dalam Jurnal Agrifoodtech, penerapan blockchain di sektor pertanian dapat meningkatkan efisiensi rantai pasok dan kepercayaan konsumen. Hasilnya, petani mendapatkan harga yang lebih adil, konsumen memperoleh jaminan keaslian produk, dan perusahaan blockchain mendapat bukti nyata efektivitas teknologi mereka dalam agribisnis, menciptakan sinergi yang menguntungkan semua pihak.
Oleh karena itu, dalam membangun Karang Taruna yang kuat dan berkelanjutan, acara rutin seperti kerja bakti, bakti sosial, atau kegiatan sehari-hari lainnya tidaklah cukup. Meskipun kegiatan-kegiatan tersebut penting dalam mempererat kebersamaan, diperlukan strategi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan untuk menciptakan dampak jangka panjang seperti pada solusi dan program-program yang telah disebutkan.
Pionir perubahan
Proklamasi kemerdekaan kini bergema dalam setiap langkah Karang Taruna, bukan lagi sekadar gema masa lalu, tapi menjadi mantra pembebasan dari belenggu keterbelakangan. Pemuda desa tidak lagi bermimpi menjadi ‘orang kota’, melainkan bangga menjadi arsitek perubahan di tanah kelahiran. Mereka adalah para penjelajah waktu yang membawa visi masa depan ke realita kekinian, mengukir narasi baru pembangunan desa yang tak lagi berkiblat pada hiruk-pikuk perkotaan. Di tangan mereka, desa bertransformasi menjadi laboratorium inovasi, di mana setiap tantangan adalah bahan bakar kreativitas, dan setiap keterbatasan adalah undangan untuk berpikir di luar kotak.
Inilah panggilan bagi setiap pemuda: untuk menjadi pionir perubahan, mendobrak batas-batas yang ada, dan membuktikan bahwa revolusi global bisa dimulai dari langkah kecil di tanah desa. (mar/Adel Gia Rastavarera, SMA Negeri 9 Yogyakarta, Juara 1 Lomba Karya Tulis Tingkat SLTA se-Jateng DIY 2024 Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta dan bernasnews)