Opini  

Branding, Strategi Jitu Agar PTS Mampu Bersaing

Alexander Beny Pramudyanto, M.Si., Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Banyaknya kampus PTS (Perguruan Tinggi Swasta) Indonesia dengan beragam nilai dan kekhasannya menjadikan persaingan antar kampus kian sengit. Mengacu pada data PDDIKTI (1 Agustus 2024), tercatat 4473 PTS dengan beragam kategori akreditasi dan 127 perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia. Saat ini, semua perguruan tinggi bersaing untuk dapat memenuhi target mahasiswa baru demi berjalannya proses bisnis setiap PT (Perguruan Tinggi).

Jika dilihat dalam konteks bisnis, kompetisi kampus di Indonesia merupakan area abu-abu. Hal ini terkait dengan Undang-Undang no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan tinggi di Indonesia berprinsip nirlaba. Di sini lain, terjadi pula “penyamaran” untuk PTS (yang merupakan organisasi berorientasi profit) harus mengikuti aturan bahwa penyelenggaraan PTS berprinsip nirlaba (Pangarso, A., 2019).

PTS sebagai institusi mandiri, cenderung relevan dengan model bisnis yang berorientasi pada profit. Maka, berbagai upaya perlu dilakukan agar proses bisnis PTS dapat berjalan optimal. Meskipun mengacu pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi PTS harus berprinsip nirlaba, strategi pengembangan institusi harus terus dilakukan secara berkelanjutan agar PTS harus tetap bertahan hidup.

Tantangan semakin berat dialami banyak kampus PTS di tahun 2024 ini. Di saat banyak kampus (negeri dan swasta) sudah memulai proses PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) pada pertengahan Agustus, masih banyak kampus yang masih terus gencar mengupayakan keterpenuhan mahasiswa dengan berbagai strategi promosi. Misalnya membuka jalur Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tambahan melalui ragam informasi berbagai kanal, hingga rela menunda tanggal awal perkuliahan dengan harapan mendapat tambahan calon mahasiswa baru.

Beragam asumsi penurunan jumlah mahasiswa di PTS pun muncul. Peningkatan daya tampung di PTN, hingga popularitas pengambilan keputusan untuk menunda kuliah, menjadi tantangan nyata PTS saat ini. Berdasarkan konferensi pers pengumuman SNBT (Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru), daya tampung PTN tahun 2024 mengalami kenaikan signifikan, dari tahun 2023 sebesar 259.635 menjadi 272.248 pada tahun 2024. Saat ini, PTN masih menjadi prioritas tujuan utama lulusan SMA/SMK di Indonesia, menunda kuliah bukan lagi suatu hal yang tabu di saat ini.  Hal ini dapat dIlihat dari munculnya trendgap year” bagi lulusan SMA/SMK untuk menunda kuliah demi masuk kampus impian (PTN).

Kampus bukan sekedar menjual produk pendidikan

Terlepas dari beragam asumsi terkait penurunan jumlah dan keterpenuhan mahasiswa di kampus PTS, meningkatkan kualitas dan popularitas menjadi salah satu solusi kampus dalam upaya menjaga keberlanjutan bagi PTS.

Secara konseptual, produk merupakan segala sesuatu yang bernilai bagi konsumen dan dapat ditawarkan melalui pemasaran (Grewal dan Levy, 2020). Perguruan tinggi merupakan salah satu bentuk produk yang menawarkan nilai pengetahuan dan pendidikan bagi konsumen (utamanya mahasiswa) maupun bagi stakeholders lain.

Nilai di sini menjadi sebuah hal penting dalam memasarkan produk namun juga bersifat relatif dari sisi konsumen. Sudah diakui kalangan pakar pemasaran bahwa strategi pemasaran merupakan upaya menciptakan nilai bagi konsumen, sehingga untuk sebuah institusi menjadi sukses dalam memasarkan produk mereka haruslah menciptakan nilai (Koku, P.S, 2023). Demikian pula dengan perguruan tinggi. Apa yang membuat sebuah perguruan tinggi menjadi pilihan calon mahasiswa tentu berangkat dari nilai (value) perguruan tinggi yang ditangkap calon mahasiswa.

Kampus perlu berstrategi dengan melampaui sekedar menawarkan produk (pendidikan). Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan kampus sebagai sebuah brand dengan bermodalkan produk berupa pengetahuan dan layanan pendidikan yang khas. Kampus tidak perlu memandang tabu istilah brand kampus dengan menganggap bahwa brand terkait dengan upaya komersialisasi, karena pada dasarnya segala sesuatu dapat dijadikan brand.

Semua kampus pastilah memiliki salah satu elemen brand, yakni identitas. Identitas kampus dapat kita lihat dengan adanya nama, logo, slogan, hymne, seragam, dan lain-lain yang menjadi ciri dari sebuah kampus. Meskipun ketika kita berbicara mengenai brand, tentu bukan sekedar hanya membahas mengenai logo dan identitas.

Brand lebih dari sekedar produk, karena ia dapat mempunyai dimensi yang membedakannya dari produk lain yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang sama. Perbedaan-perbedaan ini mungkin bersifat rasional dan berwujud (terkait dengan kinerja produk) atau lebih simbolis, emosional, dan tidak berwujud (berhubungan dengan apa yang diwakili oleh brand tersebut) (Keller, 2013).

Untuk mewujudkan brand kampus, kita dapat melihat kembali kampus dengan beragam kekhasan yang dimiliki. Aspek kekhasan/ keunikan dari brand dapat dikembangkan setidaknya dari 3 (tiga) aspek yakni core product, tangible attributes, intangible attributes (Copley, 2004).

Produk inti dari kampus secara umum adalah pengetahuan itu sendiri. Dalam konteks produksi pengetahuan, di Indonesia secara khusus, sebuah kampus menjalankan proses tri-dharma perguruan tinggi dengan beragam luarannya.  Kampus juga menghadirkan ruang interaksi antara dosen dan mahasiswa serta memiliki legalitas (sebagai sebuah perguruan tinggi yang terakreditasi). Melalui akreditasi, setidaknya sebuah kampus dapat secara resmi menyelenggarakan layanan pendidikan hingga diakui penyematan gelar pada lulusannya.

Semua kampus tentu berbasis produk inti ini dan dapat mudah untuk ditiru. Performa unggul, khas, dan terlihat nyata dari sebuah kampus merupakan kekuatan pada aspek tangible attributes sebuah brand kampus. Sarana prasarana yang mutakhir dan layanan yang berorientasi pada kepuasan mahasiswa merupakan tangible attributes yang akan menarik calon mahasiswa. Sesuai dengan prinsip branding yang mengorientasikan pada kekhasan yang unggul, aspek tangible attributes lain seperti biaya studi yang kompetitif merupakan hal yang dapat menjadikan brand sebuah kampus menjadi kuat.

Namun aspek tangible attributes ini masih memungkinkan untuk ditiru oleh kampus-kampus lain dalam proses kompetisi. Sebagai contoh, akreditasi unggul dari BAN-PT/LAM-PT yang memiliki kriteria tertentu dapat dicapai oleh kampus manapun dengan standar minimal yang ditetapkan. Pada level yang lebih tinggi, dapat dilihat ketika sebuah kampus memiliki kekhasan intagible attributes seperti value dan image yang khas dan hal ini akan sangat sulit untuk ditiru oleh kampus lain.

Intangible attributes seolah tidak terlihat secara indrawi, namun diimajinasikan oleh stakeholders dari sebuah kampus. Value dan image ini perlu didukung dengan kekhasan core product dan tangible attributes dari kampus, serta diperkuat dengan beragam bentuk komunikasi brand kampus yang terencana (melalui komunikasi pemasaran) maupun yang bersifat organik (melalui pengalaman mahasiswa dan alumni yang dibagikan melalui word-of-mouth).

Dalam beberapa kasus, calon mahasiswa dan berbagai pihak yang berpengaruh dalam memutuskan studi seseorang (misalnya orang tua) lebih percaya pada value dan image ini dibandingkan dengan aspek tangible yang ditawarkan oleh sebuah kampus.

Branding untuk Keberlanjutan Kampus

Branding kampus sebagai sebuah aktivitas bukan hanya berhenti pada penciptaan identitas yang tangible dari sebuah kampus. Kunci dari branding adalah bagaimana konsumen merasakan perbedaan antar brand dalam suatu kategori produk. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan atribut atau manfaat dari produk atau layanan itu sendiri, atau dapat pula terkait dengan pertimbangan nilai dan citra yang lebih tidak berwujud (Keller, 2013). Dalam konteks kampus, mahasiswa sebagai stakeholder merupakan konsumen yang akan mengalami bagaimana layanan yang diberikan oleh kampus. Ada kalanya mahasiswa akan membandingkan dengan manfaat yang dirasakan dengan kuliah di suatu kampus dengan mahasiswa dari kampus lain. Mahasiswa juga dapat memiliki keyakinan akan kampus tempat mereka menjalani proses studi. Pengalaman-pengalaman inilah yang turut serta membangun brand kampus dari perspektif mahasiswa sebagai konsumen institusi kampus.

Branding kampus menjadi sangat penting bagi institusi melalui beragam cara. Kampus dapat mengkomunikasikan nilai dan etos yang mendasari gerak pendidikan dan pengetahuan di kampus. Branding kampus akan membantu menarik calon mahasiswa yang relevan dan selaras dengan nilai yang dikembangkan oleh kampus. Branding yang kuat juga akan menciptakan rasa kebanggaan dari mahasiswa, dosen, dan staf sehingga mewujudkan rasa memiliki dan loyalitas.

Melalui loyalitas ini, keberlanjutan dari kampus dapat terus terjaga, misalnya dengan rekomendasi alumni kepada keluarga maupun rekan untuk menempuh studi di kampus almamaternya. Hal positif lain, branding kampus akan menciptakan hubungan emosional dengan stakeholders eksternal untuk dapat turut serta berkolaborasi mengembangkan kampus.

Membangun branding kampus tentu membutuhkan proses dan waktu jangka panjang. Beragam keunggulan kompetitif dari kampus perlu dikomunikasikan secara konsisten dan berkelanjutan. Bagi kampus mengkomunikasikan branding perlu dilakukan ke seluruh stakeholders. Target komunikasi dari brand kampus dapat ditujukan kepada pegawai (dosen dan staf), mahasiswa, alumni, calon mahasiswa, pemerintah, hingga pihak lain yang berpotensi berkolaborasi dengan kampus. Pesan branding yang disampaikan secara inti harus konsisten namun kemasannya dapat menyesuaikan dengan target audiensnnya.

Bagi kampus PTS, melalui branding kampus yang terencana dengan baik diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan brand kampus bagi stakeholders. Kesadaran pada brand kampus yang tinggi akan membuka peluang untuk menjadikan kampus sebagai prioritas piilhan untuk melanjutkan studi. Hal ini akan menjadi lebih kuat ketika didukung dengan image yang bernilai positif. Melalui aktivitas branding kampus, kampus PTS dapat lebih percaya diri untuk menyongsong penerimaan mahasiswa baru tahun depan. (Alexander Beny Pramudyanto, M.Si., Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta)