bernasnews — Giat budaya nJeron Beteng Living Museum yang diselenggarakan oleh Kemantren Kraton Yogyakarta dalam rangka memperingatai 11 Tahun Keistimewaan Yogyakarta, ada yang tercecer dan terlewatkan yang menarik untuk dipaparkan sebagai bahan menambah pengayaan keistimewaan itu sendiri yaitu keberadaan tentang Permainan Rakyat Tradisional.
Di tengah kemajuan teknologi yang salah satunya adalah menghadirkan produk gawai (gadget) dan internet sehingga permainan atau dolanan rakyat yang penuh makna filosofi dan menyehatkan menjadi terlupakan. Generasi kekinian pun rata-rata banyak yang tidak mengenalnya, mereka lebih asyik bermain dengan permainan berbasis IT atau game online.
Hal itulah yang menjadikan rasa keprihatinan bagi sosok simbah (kakek) bernama Yudi Karyono (61 tahun), yang ikut berkiprah memeriahkan acara giat budaya nJeron Beteng Living Museum, di Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta.
Warga Kampung Panembahan ini mengemukakan, bahwa menggeluti permainan atau dolanan tradisional terutama egrang merupakan kegemaran sejak kecil. Juga beberapa permainan yang dilakukan oleh anak laki-laki, seperti egrang, benthik, nekeran atau bermain kelereng, tujon, dan sebagainya.
“Mainan yang kami simpan (koleksi) untuk bahan edukasi pada masyarakat, semuanya bisa kami lakukan baik urut-urutannya maupun tatalaksananya,” ungkap Yudi, saat wawancara bersama bernasnews, di rumahnya RT 48, RW 13 Kelurahan Panembahan, Kemantren Kraton, Yogyakarta, Rabu (6/9/2023).
Penggiat permainan rakyat tradisional yang mendapat julukan ‘Raja Egrang’ ini mengatakan, meskipun telah mengantongi belasan macam permainan tradisional baik yang dimainkan secara individual maupun kelompok, namun mbah Yudi masih tetap mencangkul (eksplorasi) permainan tradisional di berbagai penjuru daerah.
“Semua permainan tradisional baik yang bersifat individual maupun kelompok sebenarnya dapat dilombakan, tidak hanya egrang tetapi seperti seng-sengan, ceplokan, pathu, gangsingan, bal bekel. Apalagi yang seperti olah raga, gobaksodor, benthik, gamparan, sepak sekong, engklek,”bebernya.
Menurut Yudi, filosofi egrang sendiri bermakna pesan bahwa dari kecil anak-anak hingga besar atau gerang. Yen wis gerang aja pethakilan (Kalau sudah besar jangan berbuat seenaknya, red). Permainan egrang selain masuk dalam ranah budaya juga pendidikan untuk tujuan kompetisi.
“Bermain egrang itu harus ada keseimbangan, bermakna yang bawah harus menghormati yang di atas sedangkan yang di atas hendaknya selalu melihat ke bawah. Dahulu bermain egrang itu selalu lepas alas kaki, dalam sisi budaya merupakan etika juga agar lebih mendekatkan si pemakai dengan alam,” terang Yudi.
Dikatakan, upaya edukasi permainan atau dolanan egrang di Alun-alun Kidul (Alkid), Kraton Yogyakarta yang dilakukan Yudi Karyono sebelum Covid telah membuahkan semaraknya kembali permainan rakyat ini, terutama di beberapa obyek wisata di Jogja. “Berkat semakin dikenalnya egrang di Alkid, dolanan ini tercatat di dalam organisasi KPOTI DIY (Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia),” kata dia.
Sementara itu, guna memproduksi, memasarkan alat-alat permainan dan dolanan serta penyelenggaraan outbond berbasis budaya, Yudi Karyono mewadahinya dalam bentuk perusahaan terbatas yakni PT. Nogo Roso Raja Egrang. Sebagai seorang pribadi yang unik, si Raja Egrang dalam mengedukasi masyarakat tentang permainan ini juga tak jarang mendonasikan alat egrang buatannya.
“Dalam pembuatan egrang selain memerlukan bambu dengan kwalifikasi tertentu, juga ukuran yang disesuaikan dengan postur usia pemakaianya. Kami juga menggagas egrang PAUD, dengan ukuran dan persyaratan kemanan tertentu yang bentuknya agak berbeda dengan egrang biasa,” terangnya.
“Harapan kami ada sponsor atau yang bersedia menginisiasi egrang PAUD ini untuk mematenkan HAKI. Selain itu, kami juga mimpi ada yang bisa mewakafkan tempat di Gunungkidul untuk pendirian museum permainan tradisional yang dimana pengunjung bisa bermain,” tutup Yudi Karyono. (ted)