bernasnews – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI menggelar Deseminasi Tugas dan Wewenang LPSK sama Fasilitasi Restitusi Korban Tindak Pidana Kepada Stakeholders di Wilayah DIY pada Rabu (14/6/2023).
Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo mengatakan kegiatan itu penting untuk menyosialisasikan tugas LPSK kepada para stakeholder lantaran kesadaran korban tindak pidana mengajukan restitusi atau ganti rugi kepada pelaku terus meningkat.
Ia menyebut, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun 2022 terdapat 23 orang korban yang mendapatkan layanan fasilitasi restitusi dari LPSK. Sementara pada tahun 2023, hingga semester pertama didapati 17 orang yang memperoleh layanan restitusi.
“Kini semakin banyak korban tindak pidana yang mengajukan permohonan restitusi ke LPSK. Pada tahun 2022, secara nasional kami telah menerima permohonan layanan fasilitasi dari 4.661 orang korban dengan total nilai penghitungan restitusi Rp 1,8 triliun,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo disela acara diseminasi tugas dan wewenang LPSK di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Rabu (14/6/2023).
Hasto menyebut upaya pemenuhan hak restitusi perlu didorong demi terwujudnya keadilan bagi para korban tindak pidana.
Menurutnya, perspektif adil bukan sekedar bagaimana seorang pelaku kejahatan dijatuhi hukuman penjara, namun juga mendapati hak-hak korban yang seharusnya dapat dipenuhi oleh para pelaku.
“Di Jogja kita sudah banyak memfasilitasi , restitusi,” ujarnya.
Meski begitu, Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo tak memungkiri masih ada pemenuhan hak restitusi yang nyatanya belum dapat terwujud dengan baik.
Ia mengatakan ada banyak faktor yang menjadi penyebab, salah satunya karena belum ada kesamaan pemahaman di antara kalangan aparat penegak hukum, dan kendala regulasi.
Tak hanya itu saja, Antonius juga menuturkan eksekusi terhadap restitusi di Indonesia yang saat ini masih lemah juga disebabkan karena adanya ketidakmampuan ekonomi para pelaku untuk membayarkan sejumlah uang kepada korban.
Menurutnya, ketika pelaku tidak memiliki ekonomi yang mapan, maka saat dijatuhi restitusi, mereka cenderung memilih hukuman kurungan.
“Yang masih agak lemah memang adalah dieksekusinya. Mengapa eksekusi restitusi itu lemah? Karena eksekusi restitusi itu tergantung dari satu kemampuan. Kemampuan ekonomi pelaku,” paparnya.
“Kalau pelaku itu kemampuan ekonominya enggak ada, maka pelaku itu akan memilih kurungan toh. Dia enggak membayar tapi memilih dikurung,” lanjutnya.
Sehingga melalui kegiatan diseminasi kali ini diharapkan dapat menjadi forum bagi LPSK bersama stakeholders untuk menyamakan pemahaman, dan mencari solusi permasalahan dalam memberikan layanan restitusi.
“Kita berharap nanti restitusi menjadi semakin baik,” pungkasnya. (lan)