Penjahit Pasangan Difabel Berhasil Hantarkan Putra Putrinya Raih Gelar Sarjana

Maria Estri Sumraban (Tengah) bersama kedua puteranya Melania Rina Diyah E dan Michael Dwi Isumareno. (Foto: Istimewa)

bernasnews — Hidup dengan disabilitas tentu sangat menghambat kehidupannya dan tak jarang mengecilkan hati seseorang yang mengalaminya, apalagi dilahirkan dengan kondisi tidak dapat berbicara dan tidak dapat mendengar. Inilah yang dialami Maria Estri Sumraban, yang lahir di Semarang, 7 Februari 1964.

Dia adalah seorang gadis berparas cantik namun dikaruniai Tuhan tidak selengkap sesamanya karena ia terlahir tidak dapat berbicara dan tidak dapat mendengar.  Pada masa remajanya oleh orang tuanya ia dikursuskan belajar menjahit agar kelak dapat memiliki ketrampilan yang dapat menghidupinya.

Karya Tuhan sungguh luar biasa, Maria dipertemukan dengan rekan belajarnya yaitu Fransiskus Xaverius Ari Iswanto yang sama dengan dirinya yaitu seorang yang tuna wicara dan tuna rungu, gayung pun bersambut dan cinta pun bersemi diantara dua pasangan sejoli yang sama-sama difabel yaitu tuna wicara dan tuna rungu, yang akhirnya pada tanggal 6 Mei 1990 mereka saling menerimakan sakramen perkawinan.

Dalam perjalanan hidup yang tidak selalu mudah, mulai tahun 1995 mereka menempati rumah kecil di Tulus Harapan, Sendang Mulyo, Tembalang, Semarang. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari mereka membuka usaha terima jahitan, karena kondisi keduanya yang kurang komunikasi dengan orang lain tentu sangat menghambat usahanya, sehingga kehidupan mereka bisa dibilang sederhana bahkan dapat dikatakan berkekurangan.

Dari buah cintanya mereka dikaruniai dua orang anak yaitu Melania Rina Diyah E dan Michael Dwi Isumareno, yang kedua-duanya lahir normal tanpa ada kekurangan sedikitpun. Kebahagiaan mereka tampak dari kehidupan mereka yang selalu ceria dan kompak pergi ke gereja bersama, meski kehidupan mereka pas-pasan bahkan berkekurangan namun mereka tidak pernah berhenti berusaha untuk membiayai anak-anaknya dalam menempuh bangku sekolah.

Teladan kegigihan dalam mencukupi kehidupan Pak Totok (kami biasa menyebut) ternyata menurun pada putri pertamanya, pada semester 2 kuliahnya di Universitas Dian Nuswantoro, Melani memutuskan untuk berhenti berkuliah karena orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya, maka Melani memberanikan diri untuk mengambil cuti dan memilih menjadi pengasuh bayi di Den Haag Negeri Belanda.

Dari situlah awal mula kehidupan bangkit dari kekurangan, karena orang tua bayi yang dia asuh, menyuruhnya kembali ke Indonesia untuk melanjutkan kuliah dengan biaya ditanggung mereka dari Negeri Belanda. Sehingga Melani dapat menyelesaikan program D3 dari Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Karena pengalamannya pergi ke Negeri Belanda, Melani memilih bekerja di Malaysia, dan dari situlah prestasi demi prestasi ia peroleh bahkan dia berkesempatan untuk melanglang buana dari Belanda, Roma, Philipina, Prancis dan saat ini menetap bersama keluarga kecilnya di Malaysia.

Maria Estri Sumraban (Kanan nomor 2) beserta putra putri serta menantu dan cucunya saat liburan di Bali. (Foto: Istimewa)

Keberhasilan Melani ternyata bukan untuk dirinya sendiri, Ia bahkan bisa membantu orang tuanya dalam membiayai adiknya yang belajar di Universitas Katolik Soegiyo Pranoto Semarang dan akhirnya adiknya Reno bisa menyandang gelar Sarjana Arsitek, dan menyusul kakaknya untuk bekerja di Kuala Lumpur Malaysia.

Kini Maria Estri Sumraban tinggal seorang diri, sejak ditinggal suaminya Fransiskus Xaverius Ari Iswanto yang dipanggil Tuhan, 22 September 2018. Ia tak lagi menerima jahitan karena kondisi badannya yang melemah seiring dengan usianya yang memasuki usia 59 tahun, ia tinggal menikmati jerih payah usahanya dan mensyukuri segala yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, dan diakhir bulan Maret ini, tepatnya tanggal 25 Maret 2023, Maria akan hijrah ke Malaysia untuk tinggal bersama putra-putrinya.

Di usia senjanya Maria hanya bersyukur bahwa apa yang telah diberikan Tuhan meski harus dijalani dengan pengorbanan dan perjuangan namun Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. (zbd/ Valentina Rusmala Murti, Guru Matematika SMP Maria Mediatrix Semarang)