Opini  

Membesut Kesahajaan dengan Pengasuhan

Y. Rohmadi, Guru Bahasa Indonesia SMP Maria Mediatrix Semarang. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Dalam proses pendidikan tidak hanya sekolah yang berperan dalam membentuk kepribadian siswa tetapi orang tua ikut serta di dalamnya (Pater Drost SJ). Kasus penganiyaan yang dilakukan Mario Dendy Satrio alias MDS (20) terhadap Christalino David Ozora (17) yang mengakibatkan korban David koma menjadi pelajaran mahal. (Kompas, 25 Februari 2023). Kasus ini tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi juga masalah pendidikan kita.

Atas kasus tersebut dunia pendidikan kita ikut ternoda. MDS yang masih berusia 20 tahun tentu kurang lebih tiga tahun lalu baru menyelesaikan pendidikan menengahnya. Kasus MDS seperti fenomena gunung es, masih banyak kasus serupa yang masih menggurita, belum meletup di permukaan. Refleksi kita: Apa korelasinya kasus MDS dengan pendidikan kita?

Rapuhnya karakter anak-anak kita menjadi pemicu persoalan sosial yang terjadi dewasa ini. Lemahnya sikap religisiositas, rapuhnya empati pada sesama, minimnya persaudaraan universal, tergerusnya kepedulian sosial, lunturnya sikap persahabatan, dan minimnya perhatian orang tua pada anak-anak menjadi sebab utama kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak dalam dekade terakhir. Kasus serupa akan terus berulang jika sekolah tidak bersinergi dengan orang tua dalam membangun karakter siswa, baik di sekolah dan di rumah.

Merujuk pendidikan karakter yang dikembangkan Kementerian Pendidiakan,  Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ada delapan belas aspek karakter yang membekali siswa agar berperan dalam bangsa dan negara. Delapan belas tersebut meliputi: 1. religius, 2. jujur, 3. toleransi, 4. disiplin, 5. kerja keras, 6. kreatif, 7. mandiri, 8. demokratis, 9. rasa ingin tahu, 10. semangat kebangsaan, 11. cinta tanah air, 12. menghargai prestasi, 13. bersahabat, 14. cinta damai, 15. gemar membaca, 16. peduli lingkungan, 17. peduli sosial, 18. tanggung jawab. (Kumparan. com). Aspek relegius, toleransi, demokratis, semangat kebangsaan, bersahabat, cinta damai, dan peduli sosial merupakan aspek krusial yang terus dihidupi dan diterapkan di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan lingkungan masyarakat.

Sementara nilai-nilai Pendidkan Marsudirini ada empat pendidikan karakter yang mesti terus dikembangkan dan dihidupi bagi warga sekolah dan menjadi bekal bagi siswa dalam hidup bersosial, hidup bermasyarakat, dan hidup bernegara. Empat dimensi tesebut adalah 1. dimensi pertobatan, 2. dimensi semangat doa, 3. dimensi persaudaraan, 4. dimensi kesederhanaan.

Ada korelasi antara pendidikan karakter yang disyaratkan Kemendikbudristek dan nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan  Marsudurini. Jika ditautkan, maka ada empat titik temu yakni: nilai religiositas, persaudaraan, cinta damai, kerja keras dan keserdehanaan. Kristalisasi empat nilai itulah yang menjadi dasar untuk bekal hidup para siswa yang harus dikembangkan secara terus menerus oleh sekolah dan orang tua. Dalam praksis pembelajaran di kelas dan praksis berkomunikasi di luar kelas, empat dimenssi hasil gabungan dari Kemendikbudristek dan Marsudirini patut dijadikan skala prioritas dalam pelaksanaan pengasuhan para siswa. Empat nilai tersebut juga menjadi nilai-nilai utama St. Fransiskus Asisi yang menjadi pilar pengasuhan siswa di lingkup sekolah-sekolah Marsudirini.

Menolak Hedonisme

Gaya hidup berfoya-foya dan pamer kekayaan, dan kemewahan di depan publik adalah sebuah kesombongan dan melukai perasaan banyak pihak, terutama masyarakat yang hidup masih di bawah garis  kemiskinan. Ciri utama hedonisme adalah egois, sombong, konsumtif, boros, tidak bertanggung jawab, pemalas, dan korup (Kompas.com). Gaya hidup hedonisme sudah mewabah pada sebagian siswa di kota-kota besar.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai karakter siswa Indonesia dan ajaran moral Marsudirini. Lembaga pendidikan termasuk sekolah-sekolah Marsudirini yang konsisten mengasuh siswanya dengan menanamkan nilai-nilai keserderhanaan  perlu mengambil sikap tegas kepada siswanya yang terbukti bersikap hedon. Ketegasan  bisa dimulai dari kecaman keras sampai dengan pemecatan siswa yang terbukti.

Hedonisme dapat ditekan mulai dari lingkungan sekolah dengan mulai menanamkan nilai-nilai kesederhanaan. Hal ini perlu contoh konkrit dan keteladanan pimpinan sekolah sampai jajarannnya ke bawahnya. Siswa tidak diberi tontonan gaya hidup mewah mulai dari penggunaan perhiasan sampai dengan fasilitas hidup lain. Gaya hedonisme juga bisa ditekan dengan menanamkan sikap religiositas, persaudaraan, tanggung jawab yang terus dihidupi oleh warga sekolah.

Sikap religiositas akan mengantar siswa dalam sebuah penyadaran bahwa hidup adalah perjalanan yang berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Kesadaran tersebut akhirnya akan membangun sikap rendah hati dan tidak sombong akan prestasi yang mereka raih maupun prestasi orang tua, terutama kekayaan yang dimiliki oleh orang tua.

Sikap persaudaraan yang ditanamkan secara terus menerus akan melahirkan sikap empati siswa kepada teman maupun kepada orang lain yang tidak dikenal sekalipun. Sikap persaudaraan dan cinta damai  akan melahirkan generasi yang peka dan mengerti pada kesusahan orang lain. Sementara sikap tanggung jawab yang ditanamkan siswa akan memupus rasa malas yang menggerogotinya. Jika upaya-upaya tersebut dilaksanakan dalam praksis pengasuhan siswa, pada gilirannya nanti akan tumbuh generasi yang humanis dan generasi yang  menjunjung nilai-nilai kemanusian.

Langkah konkrit dan berkesinambungan yang dapat ditempuh sekolah  supaya kristalisasi nilai-nilai karakter  Kemendikbudristek dan nilai-nilai karakter Marsudirini adalah menyusun Keyakinan Kelas. Rumusan Keyakinan Kelas akan membantu siswa menghayati dan melaksanakan nilai-nilai karakter dengan sadar tanpa adanya sebuah paksaan dan peraturan sekolah. Keyakina Kelas akan membuat siswa berkehendak berdasarkan nilai-nilai moral dan tanggung jawab. Jika hal tersebut bisa terwujud, nilai-nilai moral akan dibawa dalam kehidupan nyata mereka. Kebiasaan bergaya hidup mewah, pamer kekayaan, dan korup  pada gilirannya secara pelan akan berubah menjadi hidup yang bersahaja. Semuanya memerlukan proses dan keteladanan.

Langkah-langkah tersebut mesti melibatkan orang tua sebagai mitra sekolah. Sinergitas antara sekolah dan orang tua agar ikhtiar membangun karakter siswa tidak terbatas dalam kehidupan di sekolah tetapi sampai pada dalam hidup di rumah, dan hidup di masyarakat. Kedua pihak antara sekolah dan orang tua bisa saling mengontol aktivitas siswa. Pengontrolan aktivitas siswa hanyalah upaya alternatif bila ada siswa yang belum meresapi dan belum melaksanakan atas kesepakatan dalam Keyakinan Kelas yang telah disepakati bersama.

Pedekatan Proses

Praksis pembelajaran pada kurikulum sebelumnya lebih menekankan pada hasil. Kebijakan  tersebut membawa pola pengasuhan yang berorientasi pada nilai angka.  Nilai- nilai kehidupan universal dan nilai karakter siswa acap kali terabaikan. Sekolah berlomba-lomba menjadi juara mendapatkan nilai tertinggi dalam Ujian Nasional.

Indikator keberhasilan sekolah hanya diukur dari nilai kognitf dengan alat ukur pilihan ganda. Orang tua pun merasa bangga jka anak-anaknya mendapat ranking di sekolahnya. Sikap permisif sekolah yang memberikan reward atau penghargaan kepada siswa yang mendapat ranking secara akademik ikut menyuburkan kebijakan tersebut. Pembelajaran yang berorientasi hasil, melemahkan nilai-nilai karakter siswa. Inilah yang perlu kita ubah bersama.

Hadirnya Kurikulum Merdeka akan mengembalikan muruah pembelajaran yang berbasis pada pendekatan proses. Hak-hak siswa akan dihargai sebagaimana mestinya. Tidak hanya sekadar hak, kemampuan siswa yang berbeda juga mendapat tempat dan diakomadasi sesuai dengan keperluannya. Ada paradigma baru dalam pola pengasuhan siswa. Siswa ditempatkan pada barisan pertama  untuk mendapat pelayanan pendidikan. Sekolah menjadi abdi siswa. Guru menghamba kepada siswanya. Sungguh sangat mulia karya sekolah jika konsep Kurikulum Merdeka tetap berlanjut meski presiden dan menterinya harus ganti pada tahun 2024 nanti.

Pola pengasuhan dengan berpandangan bahwa siswa adalah makhluk yang sedang berproses untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dalam berproses, siswa datang dari berbagai latar belakang karakter dan kemampuan yang berbeda. Semua perbedaan perlu dilayani dan dikembangkan melalui proses dengan pendekatan yang berbeda. Untuk mengakomodasi perbedaan, diperlukan pendekatan yang berbeda pula.  Pendekatan tersebut adalah ikhtiar untuk mencapai keberhasilan pembelajaran yang melayani segala perbedaan.

Dalam Kurikulum Merdeka keteladanan guru tetap sangat diperlukan. Kehadiran guru yang sederhana bak lentera yang menjadi penerang pada siswanya. Siswa akan mengidolakan gurunya yang ugahari jauh dari sikap mewah. Ruh kesederhanaan itu akhirnya mengalir kepada siswanya. Dalam proses pembelajaran, guru perlu juga mengahdirkan narasi tokoh-tokoh panutan yang bersih dan menginspirasi para siswa. Tokoh bisa bersal dari orang tua atau anak-anak seusinya yang berjuang keras dalam menggapai cita-citanya. Narasi bisa diambil dari video dengan sumber yang kredibel atau foto-foto dari media dan buku yang mengandung human interes, atau nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi.

Di tengah keriuhan sebagian masyarakat yang yang mendewakan harta dan pamer kemewahan,  kita tetap percaya, keriuhan itu bisa kita besut dengan sentuhan sikap kesahajaan kita yang hadir apa adanya. Perubahan sikap dari mewah menjadi sahaja adalah sebuah keniscayaan. Kita bergandengan tangan dan berkolaborasi dengan orang tua  agar semua ikhtiar menjadi nyata bagi siswa untuk menuju kebahagiaan sesuai dengan kodrat mereka.

Mereka tak lain adalah anak-anak kita seperti anak-anak kandung kita yang berasal dari ribuan keluarga dengan warna tradisi yang beda-beda, tetapi  mereka bertekat sama dalam ber -asa dan ber-cendekia (Jr.2018). (Y. Rohmadi, Guru Bahasa Indonesia SMP Maria Mediatrix Semarang)