News  

Noe Letto: Kelemahan Pendidikan Nasional Tidak Mengajarkan Pengalaman Gagal

Musisi dan budayawan Sabrang Mowo Damar Panuluh atau populer disapa Noe Letto saat menyanyikan sebuah lagu ciptaanya, dalam acara Osmaba Mahasiswa Baru UWM 2022-2023, Selasa (6/9/2022). Foto: Istimewa.

bernasnews.com — Musisi dan budayawan Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe Letto mengkritisi sistem pendidikan nasional. Menurut pencipta dan pelantun ‘Ruang Rindu’, pendidikan nasional tidak mengajari kepada siswa dan mahasiswa tentang pengalaman gagal.

“Konten pembelajaran selalu fokus mengajarkan pengalaman sukses karena itu dianggap positif. Sementara yang kurang dari pendidikan kita, tidak pernah melatih siswa dan mahasiswa menjalani kegagalan,”ujar Noe, di hadapan mahasiswa baru Universitas Widya Mataram (UWM), Selasa (6/9/2022).

Dalam kesempatan itu, Noe Letto berbicara tentang karakter bangsa yang dikaitkan dengan dinamika media sosial, literasi digital, dan berbagai persoalan kontemporer, di Kampus Terpadu UWM Jalan Tata Bumi Selatan, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.

Musisi dan budayawan Sabrang Mowo Damar Panuluh atau populer disapa Noe Letto mengkritisi sistem pendidikan nasional. Menurut dia, pendidikan nasional tidak mengajari kepada siswa dan mahasiswa tentang pengalaman gagal. Konten pembelajaran selalu fokus mengajarkan pengalaman sukses karena itu dianggap positif.

“Sekolah dan kampus selalu berbicara kesuksesan tanpa mengaitkan kegagalan. Padahal tidak ada sukses tanpa mengalami kegagalan. Sementara orang-orang di dalam masyarakat selalu menilai kegagalan orang lain,” ungkap dia.

Lanjut Noe Letto menambahkan, sekolah, kampus, dan warga tidak pernah melihat proses keberhasilan seseorang setelah gagal sekian kali. “Seribu kegagalan dihapus dengan satu keberhasilan. Tetapi tetangga dan orang-orang pada umumnya lebih banyak ingat kegagalan orang lain saja,” menurut dia.

Rektor Universitas Wisya Mataram (UWM) Prof Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec didampingi Staf menyerahkan cindera mata kepada Musisi dan budayawan Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe Letto. (Foto: Istimewa)

Putra Emha Ainun Najib (Cak Nun) ini mencontohkan pemilik perusahaan minuman kopi Amerika Serikat, dengan sebuah brand terkenal. Ketika mengawali bisnisnya, bos perusahaan mondar-mandir ke puluhan bank, dan para bos bank selalu menolak.

“Berapa kali dia ke bank untuk dapat modal? Sebanyak dua ratus kali pemilik brand itu  ke bank untuk mendapat pinjaman modal. Dia tidak pernah berpikir frustasi, apalagi bunuh diri. Anda putus cinta satu kali sudah berpikir untuk bunuh diri,” bebernya.

Noe Letto menyatakan, bahwa proses hidup sebenarnya proses penderitaan.  Orang berbicara passion, itu sama saja berbicara penderitaan. Makna akar kata tersebut sebenarnya penderitaan, tetapi orang memakai sebagai semangat, bakat, keinginan, dan lain sebagainya.

“Kita bicara passion sebenarnya bukan bicara gairah, cita-cita tetapi kita sedang mengatakan ikuti penderitaan, bukan mengikuti kesempatan,” lanjut dia.

Passion bisa diterapkan dalam kasus penggemar mancing. “Orang mancing itu menderita,berjam-jam nongkrong belum tentu kail dan umpannya dicantol iklan. Saat pulang ke rumah, tanpa bawa ikan,istri marah. Itu sebenarnya passion bicara pengalaman penderitaan,” pungkas dia.

Usai dialog, Noe Letteo melantunkan dua lagu ciptaannya, ‘Ruang Rindu’ dan ‘Sebelum Cahaya’. Para mahasiswa generasi Z itu mengikuti dua lagu itu dengan penuh antusias. Ketika lagu ‘Ruang Rindu’ yang disebutnya sebagai hadiah atas kesediaan mahasiswa berdialog, ternyata membuat audiens tidak puas,dan akhirnya pun Noe Letto menyanyikan ‘Sebelum Cahaya’ sebagai penutup. (nun/ ted)