BERNASNEWS.COM — Jogja terbuat dari rasa rindu dan angkringan begitulah sepenggal kalimat puitis yang menggambarkan Kota Yogyakarta, yang kekinian bertumbuhan usaha-usaha kuliner di tepi-tepi jalan juga sudut-sudut kampung yang disebut angkringan. Angkringan menjadi wahana tempat berkumpulnya warga, tempat untuk ngrumpi maupun diskusi.
Bagi warga maupun perantau yang pernah tinggal di wilayah nJeron Beteng Kraton Yogyakarta pada tahun 1970 tentu masih ingat dengan satu-satunya warung angkringan yang cukup terkenal dan legendaris warung wedang Pak Mo (dari sebutan nama Atmo), kala itu masih disebut warung wedang belum ada sebutan angkringan.
Usaha angkringan Pak Mo, pada tahun 1980an lantas diteruskan oleh putranya, yang kemudian dikenal dengan sebutan angkringan Mas Djo (Pardjo). Panganan dan minuman yang dijual tak jauh beda dengan angkringan pada umumnya, yang membedakan ada beberapa panganan dan satu jenis minuman yang khas nggak ada duanya.
Kuliner yang jarang ada di angkringan lain, diantaranya baceman
tempe koro dan tempe benguk, serta rondo
kemul yakni jadah yang dalamnya diisi jenang dodol kemudian dibakar. Juga
minuman atau wedang saridele tape, kacang kedele yang diproses menjadi bubuk
semacam susu coklat. Wedang saridele tape menjadi khasnya angkringan.
Angkringan Pak Mo yang kemudian menjadi angkringan Mas Djo di wilayah Njeron Beteng Kraton Yogyakarta, tepatnya di pinggiran Jalan Gamelan, Yogyakarta ini cukup fenomenal, selain karena sajian panganan dan minumannya, angkringan juga tempatnya nongkrong budayawan maupun seniman-seniman besar dari Yogyakarta.
Karena Pak Pardjo telah menua dan tinggal sendirian, oleh putra-putranya diboyong ke Serpong, Jawa Barat. Kekinian angkringan Mas Djo dilestarikan oleh pasangan Bagus dan Nining warga setempat, sejak tahun 2014, dengan pernak pernik sajian panganan yang masih sama.
“Untuk meneruskan angkringan Pak Djo ini, saya dan istri harus belajar cara memasak dan membuat beberapa panganan hingga memasang gerobak dan tenda angkring, serta dalam melayani pembeli. Itu sampai dua mingguan,” terang Bagus kepada Bernasnews.com, beberapa waktu lalu.
Lanjut Bagus, dengan Mas Djo kami masih sering berkomunikasi untuk mengabarkan perkembangan usaha angkringan maupun berita-berita terkait kampung dan Kota Yogyakarta. “Untuk wedang saridele tape, Mas Djo juga berikan cara pembuatannya kepada warga yang lain. Sebab menurut Mas Djo rejeki itu sudah ada yang ngatur meskipun yang dijual sama,” imbuh Nining, istri Bagus.
Berdasar pengamatan Bernasnews.com, wedang saredele tape tersebut juga disajikan di Angkringan Yu Hud yang tidak jauh dari angkringan Mas Djo (Bagus dan Nining). Untuk menuju Angkringan Yu Hud ini harus masuk dalam kampung, Jalan Pesindenan. Kuliner yang dijual selain jajanan kekinian roti bakar, juga ada nasi langgi, nasi tradisional lengkap dengan lauk khas dari Kraton Yogyakarta. (ted)