Inilah Beberapa Sebutan dalam Permainan Layang layang yang Semakin Menghilang

BERNASNEWS.COM — Layang layang yang ku sayang, layang layang yang ku sayang. Jauh tinggi sekali melayang layang. Itulah sepenggal lirik lagu “Layang layang” dari grup band legendaris Koes Plus yang tenar di era tahun 1973. Layang-layang sering dimainkan di tanah lapang ketika musim kemarau, tidak hanya anak-anak, orang dewasa dan orang tua pun ikut bermain layang-layang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), layang-layang adalah mainan yang terbuat dari kertas, berkerangka yang diterbangkan ke udara dengan memakai tali (benang) sebagai kendali. Setiap daerah memiliki ciri, bentuk dan keunikan masing-masing termasuk Yogyakarta, khususnya di kawasan nJeron Beteng Kraton Yogyakarta.

Sekelompok anak-anak bermain layang layang sebagai obat kebosanan setelah lama di rumah saja, di Alun-alun Kidul, Yogyakarta, Kamis (2/7/2020). Foto: Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com.

Ada beberapa sebutan dan istilah-istilah dalam permainan Layang layang yang bagi generasi kekinian tidak paham meskipun sudah seringkali memainkan layang layang atau disebutnya ngunda layangan dalam bahasa Jawa.  Bernasnews.com mencoba menanyakan sebutan atau istilah tersebut kepada anak-anak yang bermain layangan, Kamis (2/7/2020) sore, di Alun-alun Kidul (Alkid) Kraton Yogyakarta. Ternyata betul, sudah nggak paham istilah atau sebutan itu.

Dari bentuk layang layang, ornamen hiasan, hingga cara memainkan mempunyai sebuatan atau istilah-istilah yang cukup unik dan mungkin perlu ada semacam kajian budaya maupun bahasa untuk melestarikan, sebagai bagian dari kekayaan kearifan lokal. Dari kajian bahasa tidak sepenuhnya dari bahasa Jawa, bisa dilihat dari paparan di bawah ini.

Beberapa lapak penjual layang layang buatan pabrikan dengan hiasan motif superhero atau kartun dijual secara paket dengan benangnya. Sehingga pengunjung di Alkid tinggal memainkannya. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)

Bentuk layang layang yang dimainkan secara umum (di luar dari bentuk karakter), ada dua macam, yakni layangan bentuk biasa berupa badan layangan yang panjang proposional dan bentuk pethekan, yaitu badan layangan melebar dan pendek. Sementara untuk motif ornamen hiasan pun ada sebutan yang unik, dengan hanya tiga pewarnaan, merah, biru dan kuning.

Ada motif pupukan yakni, hiasan setengah bundar warna merah di bagian pucuk atas, motif kalungan sanggan yaitu bentuk pupukan namun di bagian bawah ditambah semacam kalung dengan warna biru. Kemudian motif encik encik, bentuk kalungan sanggan hanya di bagian ujung bawah layangan ditambah hiasan bentuk wajik berwarna biru.

Motif mata kero (mata juling) mirip sepertihalnya kalungan sanggan hanya digambarkan di ujung layangan sebelah kiri atau kanan. Juga ada motif hiasan yang disebut paju telu, yaitu bentuk tiga rangkaian bentuk wajik berwarna, merah, biru dan kuning ditorehkan di bagian ujung atas layangan. Meskipun demikian, terkadang pengrajin atau pembuat layangan juga memberikan kebebasan kepada pembeli untuk menorehkan hiasan atau pewarnaannya. Motif hiasan tradisional itu kini sudah sangat sulit ditemukan atau bahkan telah hilang sebab kalah bersaing dengan motif kekinian yang bergambar tokoh superhero atau kartun, semacam Spong Bob.

Sebelum diterbangkan layang-layang atau layangan harus dipasang tali sedemikian rupa di badan layangan, cara menalikan itu anak-anak jaman dulu menyebutnya tali guci, yang kemudian disambungkan pada tali (benang) panjang yang diukal pada sebuah kaleng (Bhs. Jawa, tempolong). Ada kalanya seorang  yang ngudha layangan atau menerbangkan layang layang dibantu oleh teman yang membawakan kaleng ukalan benang yang disebut bendrong.

Kesuksesan dalam menerbangkan layang layang tergantung dengan adanya angin, apabila tiada angin yang berhembus dalam menaikkan anak-anak sering menyertai dengan nyanyian tetembangan, Truk (Petruk) anginmu mati, kang Gareng uripna. Petruk dan Gareng adalah tokoh punakawan dalam dunia pewayangan, begitu tembang itu dinyanyikan berulang-ulang hingga ada angin yang berhembus.

Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun juga suka bermain layang layang di Alun alun Kidul, Yogyakarta. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)

Ada semacam konveksi atau aturan yang tidak tertulis, bahwa sebuah layang layang yang dihiasi ekor melambai di ujung bawahnya atau pada tali guci ditempeli (gantilan) kertas sebagai rambu, maka layangan tersebut tidak boleh diluruk atau diterjang untuk diajak beradu tanding. Sementara bagi pemain layang layang yang memang bertujuan untuk aduan, tentu akan memakai tali atau benang khusus yang disebut benang gelasan, yaitu benang yang telah dilumuri bubukan halus kaca dan bahan lem (Bahan: Ancur/ Lem kayu) yang kemudian dikeringkan.

Selain ketrampilan, ketajaman benang gelasan juga strategi ada dalam aduan layang layang seperti, Ulur yaitu strategi mengulur benang hingga musuh kalah dan putus atau juga disebut dengan tatas. Atau strategi dengan cara benang layangan ditarik kencang cepat sekali atau istilahnya nggodok. Juga layang layang jangan sampai biring atau terbangnya sering miring-miring bergeser sendiri.

Ada satu lagi sebutan bagi anak-anak yang suka mencari layang layang putus atau tatasan yang dijuluki kolik. Belum lagi kenakalan-kenakalan membajak bentangan benang layang layang yang telah putus dengan cara nglewer, yaitu bentangan benang dibandul dari bawah kemudian ditariknya.

Betapa indahnya permainan layang layang jaman dahulu, banyak kenangan bagi yang pernah mengalami. Layang layang kekinian buatan pabrikan pun kini telah banyak namun akan lebih baik jika cara membuat layang layang juga diajarkan di bangku sekolah agar anak-anak dapat lebih berkreasi tidak cuma bermain game saja di gagetnya. Hanya dalam menerbangkan layang layang harus tetap di tanah yang lapang dan memperhatikan keselamatan. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *