BERNASNEWS.COM — Situasi pandemi Covid-19 saat ini membuat kehidupan manusia seperti ibarat buah simalakama. Adanya kebijakan pembatasan sosial yang ketat justru menimbulkan dampak kelaparan, namun jika dilakukan pelonggaran sosial juga dikhawatirkan semakin banyak korban terpapar Covid-19 hingga berdampak pada kematian. Karenanya dapat diambil jalan tengah dengan adanya pembatasan sosial yang dilonggarkan dan protokol kesehatan yang diketatkan.
Hal itu dikatakan Rektor Universitas Widya Mataram (UWM), Prof Dr. Edy Suandi Hamid, MEc sebagai narasumber Webinar Internasional bertajuk, Memasuki Era Kenormalan Baru: Pembelajaran dari Indonesia dan Republik Ceko, melalui Zoom Video Conference, Rabu (24/6/2020).

Acara yang digelar UWM tersebut juga menghadirkan dua narasumber lain, Kennsy D. Ekaningsih selaku Duta Besar RI untuk Republik Ceko dan Prof Dr. dr. Sutaryo, Sp A(K), Ahli Kesehatan Parampara Praja DIY sekaligus Guru Besar dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM Yogyakarta. Webinar diikuti kalangan akademisi dan masyarakat umum dari berbagai provinsi di Indonesia dengan moderator Puji Qomariyah, S Sos, M Si yang juga sebagai Wakil Rektor III UWM.
Dari perspektif ekonomi dan pendidikan, Prof. Edy menuturkan, pada era new normal ini, pola baru dalam kehidupan sehari-hari harus dilakukan. Hal penting yang harus terus dilakukan ialah memberikan pemahaman dan mengedukasi masyarakat serta menjalankan protokol kesehatan dengan penuh kesadaran. Berdasarkan data terbaru penyebaran Covid-19, secara nasional pandemi belum menunjukkan penurunan yang signifikan, belum dapat dikendalikan dan belum dapat diprediksi berakhirnya.
“Krisis ekonomi saat ini hampir sama dengan Great Depression pada tahun 1929 yang menghantam seluruh dunia, sehingga kita tidak bisa banyak berharap pada bantuan dari negara lain. Hikmah dari kondisi tersebut negara-negara lebih melihat potensi pasar dalam negeri untuk membangun kemandirian bangsa,” terang mantan Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) itu.
Prof. Edy menuturkan, adanya Covid-19 ini bisa jadi seperti blessing in disguise, dan perlunya inward looking policy, seperti memunculkan inovasi dan kreativitas, terutama di bidang Ekonomi, yang kemudian menghasilkan produk-produk yang sebelumnya tidak terpikirkan ataupun mencoba produksi lain yang sesuai dengan kondisi pandemi saat ini.
Berbagi pengalaman dan informasi dari Negara Ceko, Kenssy menjelaskan, sejak kasus pertama pada 29 Februari 2020, Ceko saat ini berhasil melewati masa krisis. Puncak pandemi pada 27 Maret 2020 dan status darurat telah dicabut pada 17 Mei 2020. Pemerintah Ceko menetapkan kebijakan dalam mengatasi pandemi Covid-19 dengan adanya pemberlakukan masa darurat, karantina, penutupan sekolah dan fasilitas publik, dan mewajibkan penggunaan masker.
Sejak kasus pertama Covid-19 yang terkonfirmasi hingga pencabutan status darurat tersebut, praktis Ceko hanya menjalankan kondisi pandemi selama kurang lebih 3 bulan, dan mendapatkan peringkat ke-43 sebagai negara teraman dari kondisi pandemi Covid-19, ini berdasarkan riset dari Deep Knowledge Group yang merupakan sebuah konsorsium perusahaan dan organisasi nirlaba yang dimiliki oleh Deep Knowledge Ventures, sebuah perusahaan investasi yang didirikan di Hong Kong pada tahun 2014.
“Pengobatan terhadap pasien Covid-19 di Ceko dilakukan dengan treatment individual sesuai kebutuhan pasien. Obat yang digunakan juga berdasarkan anjuran dari organisasi kesehatan dunia atau WHO. Dalam hal informasi, masyarakat Ceko juga tidak mudah terpengaruh berita hoaks yang tersebar di berbagai media, sehingga mempermudah sosialisasi dalam penanganan Covid-19,” papar Kenssy.
Beberapa kebijakan ekonomi juga dikeluarkan pemerintah dengan menaikkan defisit anggaran, adanya program antivirus, meringankan beban pajak dan penghapusan kontribusi social security. Menurutnya, keberhasilan Ceko menghadapi pandemi didukung adanya kedisiplinan dan kepatuhan warga dalam menjalankan imbauan pemerintah.
Hal tersebut, menurut Kennsy, menghasilkan relaksasi secara sosial yang
signifikan berpengaruh secara langsung kepada masyarakat, seperti pembukaan
fasilitas publik secara bertahap, perizinan public gathering kurang dari
50 orang, serta pencabutan lockdown dan karantina nasional. Dengan
reaksi masyarakat yang beragam seperti penandatanganan petisi pembukaan farmer’s
market dan kebun binatang, keputusan pengadilan mengenai menganulir
kebijakan pembatasan free movement, dan adanya unjuk rasa Million
Moments for Democracy (MCHD).
Sementara dari aspek kesehatan dan belajar dari Ceko, Prof. Sutaryo menyampaikan rekomendasi WHO dalam menangani Covid-19 ini diantaranya mengembangkan, melatih, dan menerjunkan semua fasilitas kesehatan dan tenaga medis kesehatan masyarakat. Negara harus mengimplementasikan sistem untuk deteksi kasus di tingkat komunitas. Dalam hal tes Covid-19, harus dilakukan peningkatan produksi, kapasitas, dan ketersediaan sarana. Pemerintah, dalam hal ini Pemda juga harus memfokuskan kembali kebijakan secara menyeluruh untuk menekan penyebaran Covid-19.
“Kebijakan pembatasan sosial yang dilonggarkan, khususnya DIY harus berdasarkan rekomendasi dari WHO. Bukti transmisi dapat dikendalikan menjadi hal penting dalam kebijakan ini yang diikuti tidak adanya kasus baru selama dua minggu. Sistem kesehatan harus mampu melakukan identifikasi, testing, melacak kontak, karantina, merawat, mengisolasi, dan ICU,” jelas Prof. Sutaryo.
Wakil Ketua Parampara Praja itu menegaskan, dalam melonggarkan pembatasan sosial harus mampu meminimalkan resiko penularan pada kalangan tertentu. Komunitas-komunitas harus sudah memiliki peran dan terlibat dalam dalam masa transisi. Di setiap tempat kerja juga harus dilakukan langkah pencegahan dan penerapan protokol kesehatan. Pemda harus mampu mengelola semua kendala terutama mencegah kasus pendatang.
Prof. Sutaryo yakin dengan adanya pembelajaran dari Ceko ini, terutama kepada Pemda DIY, akan menciptakan kondisi yang lebih baik lagi pada DIY dalam rangka menuntaskan pandemi Covid-19 yang dimulai dari kebijakan yang lebih terarah serta peningkatan kesadaran maupun kedisiplinan pada masyarakatnya. (nun/ ted)