Inilah Bentuk Eforia Kelulusan Siswa SLTA di Negara Belanda

BERNASNEWS.COM — Peribahasa lama mengatakan “Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya” yang artinya tiap-tiap negeri atau bangsa berlainan adat kebiasaannya. Dalam hal ini termasuk kebiasaan siswa sekolah dalam eforia merayakan momentum kelulusan, khususnya siswa tingkat SLTA sederajat.

Sebagaimana telah diketahui tahun-tahun sebelum ada pandami Covid-19, bahwa seperti telah menjadi ritual tahunan kelulusan siswa SLTA di Indonesia selalu ada aksi corat-coret baju seragam sekolah, konvoi mengendarai motor keliling kota yang mengganggu lalulintas jalan dengan berbagai aksi konyolnya, bahkan terkadang berujung perkelahian antar sekolah.

Hal itu sangat jauh berbeda dengan anak-anak siswa tingkat SLTA di negeri Belanda. Mengikuti ujian akhir siswa SMA/ SLTA di Belanda, yang rata-rata sekitaran umur 18 tahun, mereka seperti bersiap-siap untuk memasuki fase hidup menjadi dewasa. Demikian cerita Yan Suryoputri, seorang ibu dari Indonesia yang telah puluhan tahun menetap di negeri Kincir Angin yang dikirimkan ke Bernasnews.com, Minggu (7/6/2020).

Salah satu rumah yang memasang bendera dan tas di sebuah rumah di sudut perumahan Kota Arnhem, Belanda. (Foto: Kiriman Yan Suryoputri)

“Murid-murid SLTA di Netherland atau Belanda yang mengikuti ujian akhir selalu dalam ketegangan disaat mereka menunggu telpon pengumuman kelulusan dari sekolah. Itu bisa kita maklumi, karena dengan kelulusannya itu, berarti memasukinya ke usia menjadi dewasa yang seolah mereka sudah harus berjuang sendiri,” ungkap Yan Suryaputri.

Menurut Yan Suryaputri, bahwa mereka harus sudah belajar bertanggung jawab masa depannya. “Oleh sebab itu, bagi mereka yang ujiannya lulus, diwujudkanlah rasa sukur rasa senang itu dengan mengibarkan bendera dan menggantung rugzak (tas) sekolahnya. Tak jarang disertai dengan tekst huruf besar LULUS dipasang di jendela kaca depan rumahnya,” kata ibu dua putra, berasal dari Kota Jogja.

Selanjutnya, pada bulan September kebanyakan dari anak-anak SLTA yang lulus tersebut akan melanjutkan pendidikan akademi atau universitas, biasanya di lain kota. “Dan sebagian ada yang keluar negeri untuk bekerja sebagai relawan di negara-negara Asia atau Afrika guna menambah pengalaman, sementara jauh dan lepas dari orang tuanya,” ujar Yan Suryoputri.

Lebih lanjut Yan Suryoputri menambahkan, penerapan UU Hukum di Belanda itu tegas, seseorang yang telah memasuki usia 18 tahun oleh negara sudah dianggap dewasa. Sudah bisa disebut sebagai pria dewasa, bukan anak lelaki lagi. Dimana sewaktu masih adanya ketegangan Eropa Barat dan Rusia, mereka akan segera mendapat panggilan wajib dinas militer.

Secara umum wajib dinas militer itu berlangsung selama 1,5 tahun. Mereka harus tinggal di kaserne (asrama) militer untuk mendapat pelajaran militer. Hanya mereka yang mempunyai cacat fisik atau cacat jiwa dibebaskan dari kewajiban ini. “Setelah Perang Dingin dengan Rusia berakhir dan tembok pemisah Berlin dirubuhkan, maka wajib dinas militer di Belanda dilonggarkan, yaitu diperbolehkan ikut pendidikan militer tetapi tidak lagi sebagai kewajiban,” pungkas Yan Suyaputri. (ted)