BERNASNEWS.COM – Kaligesing, bagi penyuka durian/duren, adalah satu dari sekian keajaiban dunia dalam hal rasa. Terletak di Kabupaten Purworejo lereng barat perbukitan Menoreh, ia hanya sepelemparan pongge dari batas Jogja.
Namun, saya tidak hendak cerita tentang durian. Tak juga hendak mempromosikan teman yang jualan durian. Lalu? Saya berimajinasi, seperti apa ya daya tahan orang yang perutnya tak melulu dikenyangi nasi? Ya, yang lapisan lambungnya dibantali durian…
Jika nasi bikin ngantuk, durian bikin apa? Sekali lagi, ini bukan tentang orang yang hanya sesekali makan durian namun sepanjang pertumbuhannya kenyang durian. Hari ini saya dapat jawaban. Bukan dari penelitian ilmiah. Pun bukan untuk diuji kesahihannya. Wong ini jawaban atas imajinasi; bukan disertasi.
Hedwig adalah sekumpulan anak muda dari tlatah Kaligesing dan sekitarnya. Mereka merantau ke Jogja, melompati bukit, mendirikan pabrik kaus dan clothing dengan kualitas sablon dan jahit standar industri busana.
Pemiliknya lelaki muda, lincah dan tangguh seperti Agung Sedayu dalam cerita bersambung “Api di Bukit Menoreh” besutan SH Mintardja. Berbeda dengan karakter burung hantu di serial Harry Potter, Hedwig ini petarung di laga terbuka. Baranya dari api Kaligesing.
Bedanya, Hedwig tak bertarung untuk mengalahkan. Ia bertarung untuk meraih kemenangan bersama semua petarung yang sama-sama menang. Menang dari ketakutan. Menang dari pesimisme. Menang dari kecongkakan.
Jurusnya apa? Pertama dan terutama adalah daya tahan. Tahan tekanan. Tahan guncangan. Tahan pandemi! Usah mengeluh, lebih-lebih hadapi pertarungan dengan musuh tak kasat mata. Alih-alih, tetap tegak dan kokoh. Perkuat imun dengan kenakan tameng tebal tepis virus korosif.
Belajar dari pemuda-pemuda Kaligesing yang berhimpun di Hedwig ini, barangkali, setelah makan nasi, sempatkan makan durian. Sambil kenakan kaus ini! (AA Kunto