BERNASNEWS.COM — Mudik atau Pulang Kampung menjadi tradisi luar biasa di Indonesia, khususnya saat momentum Hari Raya, yang belum tentu di negara lain sekalipun negara Islam juga memiliki tradisi seperti ini. Hal itu disampaikan oleh Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M Ec, Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, sekaligus Keynote Speaker dalam Webinar Nasional bertajuk “Mudik, Pandemi Covid-19, Relasi Negara, dan Masyarakat; Telaah Kritis dalam Berbagai Perspektif”, Jumat (22/5/2020), diselenggarakan oleh UWM melalui Aplikasi Zoom.
“Ikatan Primordial kita sangat kuat, momen Idul Fitri menjadi sarana untuk memperkuat ikatan itu, sehingga masyarakat kita ingin tetap melakukan aktivitas mudik, walaupun harus melanggar PSBB dan aturan semacamnya,” ungkap Prof Edy.
Walaupun demikian, Prof Edy menegaskan untuk tetap mengikuti anjuran pemerintah untuk tidak mudik, termasuk dirinya sendiri yang seharusnya mudik ke tanah kelahirannya ke Palembang. “Social Cost dan juga Traffic Cost terlalu besar pada kondisi seperti ini dan hal ini juga mempengaruhi pada keluarga yang berangkat mudik ataupun kepada keluarga yang didatangi,” ujarnya.
Webinar Nasional ini juga
menghadirkan pembicara lainnya yaitu, Dr. Phil. Sukri Tamma, M Si, Dosen
Program Studi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar. Dr. Franciscus
Xaverius Wartoyo, M Pd, M H, Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI
Sidoarjo, Jawa Timur, dan Puji Qomariyah, S Sos, M Si, Dosen Program Studi
Sosiologi sekaligus Wakil Rektor III Universitas Widya Mataram.
Pembicara kedua, Puji Qomariyah, S.Sos, M Si memaparkan, mengenai tiga dimensi dalam tradisi mudik,yaitu dimensi spiritual-kultural, dimensi tradisionalistik, hingga dimensi rasionalitas. “Tradisi mudik ini erat kaitannya dengan petani Jawa yang mengunjungi tanah kelahirannya, berziarah ke makam leluhurnya, yang menjadi alasan utama dalam dimensi spiritual-kulturalnya,” terangnya.
Puji juga menyebutkan istilah “kacang tidak lupa akan kulitnya” yang menggambarkan motif tradisionalistik mengenai mudik dalam masyarakat. “Ketika warga kota yang kehidupan tradisionalnya terkikis akibat bersentuhan dengan modernitas, mudik menjadi sebuah kebutuhan bersama secara asal-usul ataupun historis,” kata Puji.
Sementara dari dimensi rasionalitas ini mengenai proses reproduksi ekonomi dan sosial dalam memperhitungkan untung rugi dalam relasi sosial dan ekonomi ditengah kehidupan kesehariannya.Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial, membangun solidaritas organik yang lama tercerabut dari lingkungan modern yang dialami sehari-hari.
Puji menambahkan, bahwa keseharian yang dijalani dalam kehidupan masyarakat kota adalah solidaritas mekanik yang cenderung kaku, dan sangat mekanistis. Kampung halaman dengan karakteristik pedesaan lebih ramah, lebih nyaman dan humanis. Sehingga tradisi mudik ini tak tergantikan dengan teknologi.
Saat negara melakukan intervensi sosial dengan pelarangan mudik, yang itu sebagai bentuk social engineering, berbagai respon muncul dari masyarakat, ada yang mengatakan negara terlalu dalam mencampuri urusan kerinduan hati pada kampung halaman. Negara melakukan Intervensi Sistemik untuk mengatur mobilitas warga, bahkan dilakukan secara represif, dijaga ketat oleh aparat.
“Inilah upaya negara menyelamatkan warganya dengan memutus rantai Covid-19, oleh karena itu mari kita dirumah saja, tidak usah mudik. Dan itu perlu pemahaman dan kesadaran bersama,” imbau Puji.
Pembicara ketiga, Dr. Franciscus Xaverius Wartoyo, M Pd, M H, yang akrab disapa Yoyok ini, membahas mengenai Peran Negara dan Masyarakat dalam Menghadapi Covid-19. Yoyok menjelaskan, bahwa selama ini negara telah hadir, baik pada kondisi normal maupun pada kondisi pandemi seperti ini.
Mengutip dari Pembukaan UUD 1945, “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum….” .Sejarah mudik dalam bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari pemerintah. “Memberikan pelayanan-pelayanan untuk mendukung terselenggaranya mudik, seperti mudik gratis, pos pelayanan kesehatan, pos pelayanan keamanan, hingga mengamati dan mengawasi adanya THR,” ucapnya.
Dalam suasana pandemi saat ini, yang dilakukan pemerintah adalah bukan melarang adanya mudik, namun menunda kegiatan tersebut. Penundaan ini juga dilakukan dalam rangka mengatasi penyebaran Covid-19 supaya tidak lebih lama mewabah di Indonesia.
“Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 demi keselamatan warga negara, dan tetap mengikuti protokol kesehatan yang berlaku, khususnya daerah-daerah yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar),” jelas Wartoyo.
Sementara pembicara terakhir pada Webinar ini, Dr. Phil. Sukri Tamma, M Si, membahas mengenai posisi negara dan masyarakat, terutama pada situasi mudik di tengah pandemi saat ini. Sukri menekankan, ada situasi kebijakan negara harus berhadapan dengan keinginan masyarakat. “Keberhasilan kebijakan negara akan banyak tergantung pada peran aktif masyarakat. Akan tetapi kebijakan negara yang tidak populis pasti akan rentan kritik meski untuk menyelamatkan atau demi kepentingan bersama, “ paparnya.
Oleh karena itu, Sukri menambahkan, disinilah pentingnya koordinasi yang baik antar Institusi Pemerintah. Ia mengungkapkan, bahwa pada situasi pandemi ini bertepatan dengan momentum kultural masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan merayakan hari raya Idul Fitri dengan melaksanakan perjalanan mudik menuai pro-kontra dan kita menyaksikan sendiri banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat.
“Dalam kondisi saat ini, kebijakan negara seolah-olah sedang berhadapan dengan keinginan masyarakat. Bagaimana sikap kita sebagai warga negara memandang kebijakan pemerintah dalam perspektif yang proporsional?,” imbuhnya.
Sukri menyampaikan, posisi masyarakat pada kondisi pandemi ini harus mengikuti aturan pemerintah demi kemaslahatan dan keselamatan bersama. Kebijakan pemerintah akan berhasil jika didukung oleh peran masyarakat yang aktif. “Pandemi ini bukan masalah waktu, satu tahun pun jika tidak ada peran yang baik dari masyarakat untuk ikut memotong rantai penyebaran ini dengan mengurangi interaksi, maka akan mustahil kita bisa melawan pandemi ini,” tutup Sukri. (nun/ ted)