Toilet Bersih Wisatawan Betah

BERNASNEWS.COM – Mau bersih atau jorok? Dan pasti semua orang akan memilih bersih. Namun, nyatanya tidak semua orang sadar dan selalu ingat pentingnya bersih itu. Akibatnya banyak orang yang tanpa sadar sering membuat jorok alam sekitarnya.

Perhatikan toilet, baik di rumah sendiri maupun di tempat umum. Toilet yang dimaksud di sini adalah kamar kecil atau biasa disebut WC. Cek WC di tempat Anda yang sedang digunakan! Atau, perhatikan betul apakah toilet di tempat-tempat yang keren seperti mal, wedding hall, bandara, terminal, restoran, stadion dan banyak lagi tempat biasa banyak orang berada, toilet-nya sudah benar-benar bersih?

Kriteria toilet bersih, menurut Ketua Asosiasi Toilet Indonesia Naning Adiwoso, adalah bebas dari kotoran tertinggal, selalu dalam keadaan kering, tersedia air bersih untuk bilas, tersedia sabun atau cairan anti septik, dan tersedia tisu untuk mengeringkan. Di toilet, tersedia juga tempat sampah, tidak ada kerak air pada westafel, dan keran air, serta lantai tidak licin atau berlumut.

Bersih itu nyaman

WC yang bersih bisa menjadi faktor penentu keberhasilan industri pariwisata di suatu daerah. WC bersih itu nyaman. WC yang nyaman akan membuat pengunjung betah. Jangan sampai kondisi WC justru menjadi faktor yang melemahkan industri wisata, karena WC yang jorok, bisa membuat pengunjung misuh, mual dan muntah.    

Kalau perlu WC atau toilet harus dibuat mewah. Mewah dalam arti WC lebih bersih dan asri daripada bagian bangunan/ gedung yang lain. Bukan malah sebaliknya. Mentang-mentang lokasinya di belakang atau di pojok, WC tidak diperhatikan sehingga gelap dan kotor.

Para pelaku industri wisata seperti pengusaha rumah makan, hotel, transportasi, pengelola tempat/obyek wisata, para penjual souvenir, pedagang kaki lima dan lain-lain harus paham benar, bahwa WC yang bersih bisa menentukan kesuksesan dan kelangsungan usahanya. Tempatnya boleh di pojok atau di belakang gedung, tetapi soal bersih, harus lebih bersih dari bagian gedung lainnya. Sebab, seringkali pengunjung rumah makan yang biasa memperhatikan kebersihan dan kesehatan akan melihat WC-nya dulu. Jika bersih ia akan makan di situ, dan mungkin akan menjadi pelanggan. Namun jika sebaliknya ada yang jorok di kamar belakang, maka ia akan kabur selamanya, dan akan menceritakan ‘WC jorok’ itu ke orang lain. 

Kebersihan lingkungan, termasuk kebersihan toilet tidak sekadar soal kesehatan. Kebersihan juga mencerminkan peradaban suatu masyarakat. Peradaban, menurut ahli antropologi Koentjaraningrat, adalah unsur-unsur budaya yang bernilai halus, maju, tinggi dan canggih. Masyarakat yang beradab bisa dilihat dari tehnologi yang dipakai, apakah canggih dan maju, seni yang bernilai keindahan yang tinggi, tata pergaulan yang penuh dengan tatakrama atau sopan-santun, lalu lintas yang tertib, antrean yang tertib, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, bangunan-bangunan yang berarsitektur indah, unik dan megah, dan lain-lainnya.

Perilaku masyarakat dalam menggunakan toilet mencerminkan tingkat peradaban masyarakat juga. Seorang turis yang baru saja mendarat, lalu masuk ke toilet/kamar kecil di bandara itu, bisa menilai peradaban masyarakat yang ia kunjungi dengan merasakan dan melihat seperti apa kondisi toilet itu. Jika toilet itu bersih dan aromanya harum, maka perasaan positif akan tertanam dalam benak turis itu. Selanjutnya, turis itu akan melenggang bahagia. Namun jika sebaliknya yang ia alami, maka turis itu akan berpikir ulang untuk melanjutkan perjalanan wisatanya. 

Sekilas Sejarah Toilet

Toilet bisa berarti barang atau benda sebagai perlengkapan buang air. Ada dua jenis toilet, yaitu toilet duduk dan toilet jongkok. Toilet jongkok biasa digunakan oleh bangsa-bangsa Asia, sedangkan toilet duduk pada umumnya digunakan oleh bangsa Eropa. Namun sekarang, kita pun sudah biasa menggunakan toilet duduk, lengkap dengan alat penyiramnya atau flash yang weeees, bersih, tidak meninggalkan kotoran.

Beralih dari menggunakan toilet jongkok ke toilet duduk membutuhkan pembiasaan. Biasa menggunakan toilet jongkok, biasa pula mengguyur toilet dengan air bercintung-cintung. Masalahnya, kamar mandi dengan toilet duduk biasanya tidak dilengkapi dengan cintung, tetapi keran air atau flash. Akibat belum terbiasa malah kadang orang lupa memencet flash. Setelah membersihkan ‘perabot’ sendiri, lalu berdiri dan pergi.   

Buang hajat itu ada sejak manusia ada. Caranya ya macam-macam. Setelah manusia hidup menetap dalam kelompok-kelompok muncul pula kebiasaan masyarakat dalam urusan ke belakang. Dalam masyarakat yang masih sederhana, mereka menggunakan fasilitas alami seperti sungai, parit atau langsung di tanah.

Pada tahun 1990-an, penulis tinggal selama dua minggu bersama beberapa teman satu jurusan, di sebuah desa terpencil. Seperti kebiasaan masyarakat desa itu, pagi-pagi kami mandi di sungai kecil yang mengalir di tengah pemukiman. Seorang teman memisahkan diri untuk buang hajat. Dia memilih jongkok di tempat yang dia rasa sudah super aman. Ketika teman saya itu sedang asik-asiknya, tiba-tiba seorang ibu menyapanya. “Nderek langkung mas.”. Hampir kejengkang, nyebur di air dia saking kagetnya.

Jika tidak buang hajat di kali, masyarakat di desa biasa menggunakan jamban. Jamban itu WC ala desa. Dibuat lubang dalam tanah, lalu ditutup dengan anyaman bambu atau batu putih. Masyarakat modern mempunyai kebiasaan buang hajat yang lebih maju. Ada yang menggunakan toilet duduk atau toilet jongkok itu.

Sejarah mencatat, urusan ke belakang dengan menggunakan toilet yang paling tua itu milik bangsa Romawi. Mereka menggunakan parit-parit di sungai Mohenjodaro sebagai kloset. Sedangkan warga kota London pada masa lalu membuang hajat di pispot, lalu melemparnya ke parit melalui jendela rumahnya. Seperti dicatat Wikipedia, pada tahun 1596, Sir John Harington menemukan kloset bilas. Kloset ini menggunakan bejana penampung tinja dan tangki air untuk menyiram. Jenis kloset ini masih menimbulkan masalah bau tak sedap.

Pada tahun 1775, Alexander Cummings menemukan kloset bilas yang disebut Valve Closet. Rahasianya adalah dengan menggunakan saluran pembuangan leher angsa atau mirip huruf S. Bentuk ini membuat air menggenang di leher angsa tersebut. Genangan air ini menghalangi keluarnya bau kotoran. Pada tahun 1889, Bostell membuat kloset bilas yang disebut Wash Down. Bentuknya mirip kloset sekarang ini.

Membaca sejarah perkembangan bentuk kloset, tampak bentuknya kian disempurnakan. Namun proses itu membutuhkan waktu.  Demikian halnya dengan kebiasaan suatu masyarakat dalam menggunakan kloset, sampai memiliki kebiasaan yang higinies juga membutuhkan waktu. Yang biasa buang hajat di kali ramai-ramai sambil mengobrol, jelas tidak mudah jika harus buang hajat di toilet umum yang antreannya sudah panjang. Buang hajat butuh rileks tidak kemrungsung. Yang terjadi malah tidak bisa ke luar, lalu perut menjadi begah,

Bayangkan itu terjadi pada para wisatawan. Perjalanan mereka untuk menikmati obyek-obyek wisata yang menarik menjadi kandas. Menarik pengunjung itu sulit. Sebaliknya, membuat para wisatawan kapok, itu mudah sekali. Ingatlah bahwa tukang-tukang batu membutuhkan waktu setahun untuk mendirikan satu katedral, tetapi hanya butuh waktu sehari untuk meruntuhkannya.  (Anton Sumarjana, Pengelola Biro Perjalanan Wisata Christour Yogyakarta)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *