Prof Saefur Rochmat dan Prof Suranto Dikukuhkan Jadi Guru Besar UNY

BERNASNEWS.COM — Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kembali menggelar rapat terbuka senat untuk mengukuhkan dua guru besar, Sabtu (23/11/2019), di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Yogyakarta. Kedua guru besar tersebut adalah Prof. Saefur Rochmat, SPd, MIR, PhD sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Indonesia pada Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNY dan Prof Dr. Suranto Aw, MPd, MSi sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Evaluasi Program Komunikasi, Juruasan Ilmu Komunikasi FIS UNY.

Prof Dr. Suranto Aw, MPd, MSi sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Evaluasi Program Komunikasi, Juruasan Ilmu Komunikasi FIS UNY dan Prof. Saefur Rochmat, SPd, MIR, PhD sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Indonesia pada Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNY. Foto: Nuning Harginingsih/ Bernasnews.com.

Saefur Rochmat adalah guru besar UNY ke-147, pria kelahiran Kebumen, 22 November 1968 ini dalam pidato berjudul “Ilmu Sosial Profetik dan Social Capital sebagai Fondasi Peradaban Islam Modern” yang dibacakan dalam sidang senat terbuka, menjelaskan, tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP) merupakan salah satu bentuk ilmu-ilmu sosial alternatif.

“Sebagai gejala post-modernisme, ISP kritis terhadap ilmu-ilmu sosial positivis dan cenderung anti-positivis. Hal itu bisa dipahami berdasarkan latar belakang kelahirannya yang kecewa terhadap kegagalan modernisasi di dunia ketiga,” terang Saefur.

Bahkan, Islam ditawarkan sebagai ideologi alternatif setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang berhasil menggulingkan Raja Shah Pahlevi yang didukung oleh Barat. Abad kebangkitan Islam tidak kunjung tiba, bahkan semakin jauh panggang dari api, karena sekarang ini kita menyaksikan negara-negara Islam terlibat dalam konflik dan bahkan sampai perang saudara.

“Kegagalan kebangkitan Islam bisa dipahami karena Muslim belum mengembangkan pemikiran besar yang akan memberi landasan bagi kebangkitan Islam. Kesuksesan peradaban Barat meraih developed countries didukung oleh kemampuannya menciptakan konteks bagi modernisasi, yang berupa soft technology, yang merupakan aspek immaterial kebudayaan,” paparnya.

Prof. Saefur Rochmat, SPd, MIR, PhD sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Indonesia pada Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNY saat pidato pengukuhan (atas) dan usai pidato. (Foto: Nuning Harginingsih/ Bernasnews.com)

Menurutnya, kita cenderung mengadopsi aspek material peradaban Barat, seperti lembaga-lembaga negara, lembaga pendidikan modern namun melupakan aspek immaterial peradaban Barat yang memungkinkan semua kelembagaan tersebut bisa berjalan secara efektif. Peradaban Barat mengembangkan prinsip checks and balances dan didukung dengan kemampuannya menciptakan collective consciousness atas dasar social contract dalam bentuk kesepakatan-kesepakan dan hukum-hukum positif.

Doktor Prodi Indonesian Studies Victoria University tersebut memaparkan, sistem pendidikan kita, sampai sekarang, belum bisa menciptakan manusia-manusia modern, yang bersikap kritis, logis, sistematis, dan mampu melakukan kegiatan analisis sintesis. Jadi wajar bila kita belum bisa menjadi negara modern (a developed country).

“Selama ini ISP masih belum serius menangani gejala fenomena dalam kaitannya dengan neumena, sehingga body of knowledge dari ISP masih belum berhasil disusun. ISP hendaknya diarahkan kepada ide Third Way, selaras dengan sifat Islam yang sintesis, yang menjunjung tinggi pendekatan integralistik,” jelas Saefur Rochmat.

Sementara itu, Prof Dr. Suranto Aw, MPd, MSi dalam pidato pengukuhannya lebih banyak menyampaikan tentang revolusi industri 4.0, dominasi teknologi internet, Industri Komunikasi, dan Evaluasi Program Komunikasi. “Respon paling logis yang perlu dilakukan masyarakat Indonesia saat ini adalah menyiapkan kemampuan masyarakat dalam menghindari berbagai dampak negatif revolusi industri 4.0,” kata Suranto.

Pengalungan samir dan ucapan selamat dari Rektor UNY dan Ketua Senat UNY. (Nuning Harginingsih/ Bernasnews.com)

Para akademisi dan praktisi komunikasi perlu meningkatkan komitmen untuk berpartisipasi meningkatkan kualitas SDM, terutama dalam keterampilan mengelola informasi, baik dalam kapasitas sebagai individu maupun kelembagaan. Peningkatan kualitas SDM tersebut dapat dilakukan, antara lain dengan cara menyesuaikan kesadaran dan keterampilan berkomunikasi dengan kebutuhan era Industri 4.0.

Lebih lanjut Suranto juga menjelaskan, keterampilan yang dibutuhkan di era industri 4.0 adalah systems analysis and evaluation. Jika difokuskan pada substansi komunikasi,  keterampilan analisis dan evaluasi program komunikasi mencakup keterampilan dalam: (1) mengakses, mengolah, menilai, dan mengevaluasi informasi; (2) memproduksi dan menata informasi; (3) menganalisis dan mengevaluasi opini khalayak; (4) merencanakan program komunikasi dan menghasilkan media yang relevan; serta (5) menggunakan teknologi komunikasi secara efektif.

“Evaluasi program komunikasi merupakan langkah untuk mendapatkan informasi tentang tingkat keberhasilan program komunikasi. Selanjutnya informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penataan dan perbaikan, sehingga program komunikasi di era  industri 4.0 dapat dilaksanakan sesuai dengan dinamika perubahan sosial budaya di masyarakat,” kata Suranto. (nun/ ted)