News  

Trotoar Jadi Ruang yang Tak Bertuan

Trotoar di kawasan Malioboro. (Foto: ayu)

bernasnews – Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, definisi trotoar adalah salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas. Pada pasal 131 UU No. 22 Tahun 2009, diatur bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain. Sayangnya trotoar kini tak lagi dapat digunakan sepenuhnya untuk berjalan kaki. Tak sedikit pedagang kaki lima (PKL) yang memanfaatkan lahan tak bertuan ini sebagai tempat berjualan.

“Karena PKL tahu atau peka melihat peluang atau tempat-tempat yang potensial untuk ‘menangkap pelanggan atau calon pembeli. Trotoar dilihat sebagai ruang-ruang tak bertuan, yang diasumsikan bisa digunakan semaunya,” ujar Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, MUP., M.Sc., Ph.D., Kepala Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional UGM, saat dihubungi melalui nomor pribadinya, Jumat (18/10/2019).

Di sisi lain, ia menilai, kondisi fisik dari trotoar yang ada di Yogyakarta belum sempurna. Hal ini dikarenakan penggunaan trotoar masih tumpang tindih. Selain itu, trotoar masih belum mengutamakan kepentingan pejalan kaki, terutama pejalan kaki yang memiliki hambatan gerak seperti pengguna kursi roda. Tak hanya itu, menurutnya tingkat kenyamanan trotoar di Yogyakarta juga perlu diperhatikan.

Keberadaan PKL di atas trotoar ini tentunya mengganggu para pejalan kaki untuk memanfaatkan trotoar. Ia pun membeberkan sejumlah alasan yang memungkinkan para PKL berjualan di atas trotoar. Salah satunya adalah lantaran belum adanya peraturan serta pengendalian yang tegas terkait pemanfaatan trotoar oleh pemerintah.

“(Peraturan soal trotoar yang tegas) bisa dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), yang diikuti dengan pengendalian atau pemantauan secara ketat. Petugas harus ‘berani’ untuk mengatakan tidak boleh secara persuasif, tidak harus dengan kekerasan,” katanya.

Ia menyontohkan salah satu daerah di Indonesia yang telah menunjukkan keberhasilannya terkait manajemen PKL. Adalah Surabaya. Kota yang dipimpin oleh Tri Rismaharini sebagai Wali Kota Surabaya ini, mampu memberikan ruang alternatif dalam bentuk kantong kuliner di dalam kampung.

“Sedangkan trotoar ‘bersih’ dari PKL,” lanjutnya.

Sayangnya,, Yogyakarta belum membuatkan ruang atau lokasi alternatif yang bisa digunakan untuk menampung para PKL. Berdasarkan pengamatannya, PKL yang ada di Yogyakarta sebagian besar bukan berasal dari penduduk asli Yogyakarta. Ia tak menutup mata bahwa permasalahan PKL ini bukan masalah yang sederhana.

“Mestinya masalah PKL dipikirkan secara menyeluruh, kalau sepotong-sepotong, seperti memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat yang lain. Jadi harus ada studi dan perencanaan PKL se Yogyakarta,” tuturnya.

Trotoar di sejumlah ruas jalan kolektor di Yogyakarta sebagian besar digunakan para PKL untuk berjualan. Sebut saja Jalan Solo, Jalan Gejayan, Jalan Sudirman, dan Jalan Diponegoro. Namun, beberapa diantaranya sudah berhasil dikendalikan. Menurutnya, selain di Malioboro, para pejalan kaki cenderung ‘dikalahkan’.

Hal ini membuat para pejalan kaki, mau tidak mau harus turun ke bahu jalan. Hal ini tentung meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan. Apalagi sekarang ini, perilaku pengendara sepeda motor dan mobil semaunya sendiri.

“Bayangkan sebagai pejalan kaki, ketika harus berjalan di trotoar dan ada PKL (warung makan), harus turun dari trotoar ke jalan, ini sangat berbahaya, karena bisa tersambar kendaraan bermotor,” katanya.

Menurutnya, tanggung jawab untuk mengembalikan fungsi trotoar untuk pejalan kaki tidak hanya tugas pemerintah saja. Tetapi juga swasta dan masyarakat. Pasalnya, masalah ini tidak hanya membahas luasan ruang fisik trotoar, namun juga masalah ekonomi dan pendapatan masyarakat.

“PKL diajak bicara, diuwongke, diminta pendapat dan masukan, diberi pemahaman bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak sesuai dengan fungsi trotoar, dicari solusi bersama mereka,” tuturnya.