News  

Tanah Tutupan Jepang Akhirnya Bersertipikat, Penantian 80 Tahun Warga Parangtritis Berbuah Manis

Warga Parangtritis menerima sertipikat tanah secara simbolis dari Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. (Ef Linangkung)
Warga Parangtritis menerima sertipikat tanah secara simbolis dari Menteri ATR/BPN Nusron Wahid (bertopi). (Dok. Pemkab Bantul)

bernasnews – Sabtu pagi, 10 Mei 2025, menjadi hari bersejarah bagi ratusan warga Kalurahan Parangtritis, Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul.

Setelah menanti lebih dari delapan dekade, mereka akhirnya menggenggam kepastian hukum atas tanah yang mereka garap secara turun-temurun sejak masa pendudukan Jepang.

Tangis haru pecah di Balai Kalurahan Parangtritis saat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, secara simbolis menyerahkan sertipikat hasil Konsolidasi Tanah seluas 70 hektare kepada masyarakat.

Penyerahan ini menjadi puncak dari perjuangan panjang para penggarap tanah yang selama ini hidup dalam ketidakpastian.

Masyarakat menyambut sertipikat itu dengan isak dan pelukan. Mereka menatap lembar-lembar sertipikat itu seolah tak percaya, tanah yang selama puluhan tahun hanya mereka kenal sebagai “tanah tutupan Jepang”, kini akhirnya punya nama, punya nomor, dan yang terpenting, punya kejelasan hukum.

Tanah Tutupan Jadi Lahan Sah Milik Rakyat

Menteri Nusron Wahid menjelaskan bahwa lahan yang dikonsolidasikan adalah tanah tutupan warisan pendudukan Jepang tahun 1943, yang sejak lama terabaikan, tak berpeta, tak bersertipikat, dan tak terjamah pembangunan.

Konsolidasi tanah ini adalah upaya merekayasa ruang agar masyarakat bisa mengakses dan memanfaatkannya secara legal dan produktif.

“Alhamdulillah, dari proses ini, kami berhasil konsolidasikan 70 hektare, lengkap dengan 17 hektare lahan untuk fasilitas umum,” tegas Nusron di hadapan warga.

Sejarah mencatat, tanah tutupan adalah sisa lahan yang dahulu dikuasai oleh pemerintahan Jepang untuk keperluan pertanian dan logistik militer.

Setelah kemerdekaan, tanah ini tak kunjung kembali ke rakyat. Bertahun-tahun kemudian, warga tetap menggarapnya, namun tanpa dasar hukum.

Mereka tak bisa menjualnya, tak bisa meminjam uang dengan agunan, dan terus dihantui rasa was-was akan penggusuran.

Kini, dengan terbitnya 811 bidang sertipikat, tanah-tanah itu resmi masuk dalam sistem hukum pertanahan nasional. Warga tak lagi menggarap tanah “tak bertuan”, melainkan lahan milik sah yang tercatat oleh negara.

Direktur Jenderal Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan, Embun Sari, mengungkapkan bahwa proses konsolidasi ini melibatkan seluruh elemen: dari pemerintah pusat, daerah, hingga masyarakat sendiri.

Pihaknya menata ulang tanah ini agar bisa digunakan secara optimal.

“Sekarang ada area pertanian, permukiman, hingga fasilitas sosial dan umum. Ini bukan hasil satu-dua bulan kerja, tapi akumulasi perjuangan sejak 1943,” ungkapnya.***