bernasnews – Popularitas Arc’teryx di Indonesia semakin meningkat seiring dengan berkembangnya komunitas pecinta aktivitas outdoor di tanah air.
Namun, di tengah antusiasme ini, muncul berbagai perdebatan dan isu negatif yang mempertanyakan keaslian merek Arc’teryx di Indonesia.
Untuk meluruskan informasi yang beredar, berikut adalah pembahasan mengenai berbagai aspek hukum serta fakta-fakta terkait kepemilikan merek ini.
Siapa Pemilik Merek Arc’teryx yang Sebenarnya?
Salah satu kesalahpahaman yang sering terjadi adalah anggapan bahwa merek Arc’teryx hanya dimiliki oleh satu entitas di seluruh dunia.
Faktanya, merek Arc’teryx tidak dimiliki dan dimonopoli oleh satu entitas sebagaimana ramai yang diisukan, akan tetapi dimiliki beberapa entitas yang beroperasi di wilayah merek itu terdaftar.
Di Indonesia, Arc’teryx telah terdaftar secara sah sejak tahun 2019, yang berarti merek ini memiliki perlindungan hukum yang kuat karena resmi dan telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Apakah Merek yang Sama Bisa Dimiliki oleh Lebih dari Satu Pihak?
Menurut Deddy Firdaus Yulianto, selaku kuasa hukum PT ATX Asia Sports Product, merek dagang yang sama dapat dimiliki oleh lebih dari satu pihak dengan berbagai mekanisme hukum yang berlaku di tiap negara.
Berikut adalah beberapa faktor yang memungkinkan hal ini terjadi:
1. Kelas dan Kategori Merek
Merek yang sama dapat didaftarkan untuk kategori produk atau jasa yang berbeda.
Contoh: “Dove” digunakan sebagai merek sabun oleh Unilever dan sebagai merek cokelat oleh Mars.
2. Wilayah dan Yurisdiksi Hukum
Setiap negara memiliki aturan pendaftaran merek masing-masing. Jika sebuah merek hanya terdaftar di satu negara, maka pihak lain bisa mendaftarkannya di negara lain. Contoh: “Burger King” tidak bisa digunakan di Australia karena telah dimiliki oleh pihak lain, sehingga di sana merek ini beroperasi dengan nama “Hungry Jack’s”.
3. Lisensi dan Waralaba
Pemilik merek dapat memberikan lisensi atau waralaba kepada pihak lain untuk menggunakan mereknya di wilayah tertentu. Contoh: McDonald’s memiliki banyak pemilik waralaba di berbagai negara, tetapi tetap berada di bawah satu merek global.
4. Sengketa Merek dan Perjanjian Koeksistensi
Dalam beberapa kasus, dua pihak dapat menggunakan merek yang sama di wilayah berbeda melalui perjanjian koeksistensi, yang mana memungkinkan mereka beroperasi tanpa konflik di pasar yang berbeda.
Dengan demikian, intinya, meskipun ada perlindungan hukum terhadap merek dagang, ada banyak situasi di mana merek yang sama dapat dimiliki atau digunakan oleh lebih dari satu pihak.
***